MUNGKIN tidak banyak yang ingat, atau tak banyak yang peduli, atau tak banyak yang ingin mengingat dan ingin peduli, bahwa pernah ada sosok Anies Baswedan dalam Pesta Kesenian Bali (PKB). Di PKB ia bahkan mengeluarkan sihir kata-kata yang dikutip dengan sangat gembira oleh wartawan.
Sabtu 11 Juni 2016, Anies Baswedan membuka PKB ke-38 di Panggung Ardha Candra Taman Budaya Denpasar. Ia yang saat itu menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan membunyikan kulkul dan berpidato, seperti biasa dengan sangat mengesankan.
Seperti dikutip antaranews.com, Anies mengatakan, “Ekspresi seni di Bali adalah bagian dari keseharian yang jarang ditemui tidak saja di Indonesia tetapi di belahan dunia manapun. Kesenian di Bali bukan semata untuk penghidupan tetapi kehidupan itu sendiri.”
Dengan tegas, saat itu, Anies mengatakan kesenian di Bali adalah wahana untuk menumbuhkan rasa cinta Tanah Air. Nilai-nilai luhur di Bali itu tidak saja ditumbuhkan, tetapi ada proses internalisasi, yang tidak bisa dilakukan di daerah lain. “Ajang seni budaya adalah ajang untuk membangun karakter kemandirian,” katanya.
Meski kata-kata itu bisa disebut klise, namun ketika diucapkan oleh seorang Anies Baswedan (saat itu) rangkaian kata bernada pujian itu seperti mendapatkan makna baru. Bali, di zaman modern ini, seakan kukuh senantiasa sebagai daerah yang lebih istimewa dari daerah lain, bukan hanya dalam sikap “berkesenian” namun juga dalam sikap “hidup keseharian”.
Banyak pejabat pusat, dari presiden, menteri, hingga semacam dirjen di kementerian, sudah memuji kesenian Bali, terutama mereka yang bersempatan membuka atau sekadar menyaksikan PKB. Pujian itu tentu menimbulkan lena, bahkan kadang membuat “masa tidur” jadi lebih panjang karena mimpi yang selalu terasa indah.
Maka itulah ada saja komentar bernada kecewa ketika PKB tidak dibuka oleh pejabat pusat yang diharapkan. Pada PKB ke-39 tahun 2017 ini, Presiden Jokowi tidak bisa membuka PKB padahal sudah disiapkan mobil hias yang mewah. Ada hal yang lebih penting dari sekadar urusan kesenian yang harus dihadiri oleh Presiden dan hal itu mesti dimaklumi.
Toh, dibuka oleh siapa pun, PKB pastilah dipuji-puji. Kehidupan seniman dan kehidupan kesenian Bali pasti diterbangkan dengan kata-kata indah seakan-akan kesenian Bali-lah yang bisa menyelamatkan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, bahkan di dunia.
Mendagri Tjahjo Kumolo yang akhirnya mewakili Presiden membuka Pawai Pembukaan PKB ke-39 tahun 2017 ini juga mengeluarkan harapan yang bisa dikata sebagai pujian. Seperti dikutip beritabali.com, Mendagri Tjahjo Kumolo mengatakan PKB harus mampu menjadi inspirasi tidak hanya masyrakat Bali tapi juga masyarakat lainnya untuk membangun destinasi pariwisata sekaligus menjaga budaya masing-masing.
Malam harinya, saat membuka pergelaran PKB di panggung Ardha Candra, Menko PMK Puan Maharani juga menyampaikan harapan dan memuji. Dalam sambutannya Puan mengatakan, Pesta Kesenian Bali merupakan wahana unjuk ekspresi, kreativitas, dan inovasi sekaligus prestasi dari para seniman Bali, untuk ditampilkan tidak hanya kepada masyakat Bali, tetapi juga masyarakat dunia. “Saya berharap dengan semangat cinta seni budaya, Pesta Kesenian Bali dapat memperteguh jiwa Bineka Tunggal Ika dalam berbangsa dan bernegara,” kata Puan.
Apa yang dikatakan Tjahjo Kumolo dan Puan Maharani dengan apa yang diucapkan Anies Baswedan setahun lalu bisa disebut mirip. Harapan dan puja-puji yang sesungguhnya sudah kerap diucapkan pejabat dalam berbagai kesempatan. Namun pada zaman kini, kata-kata bukanlah hal yang penting. Yang penting adalah siapa yang mengucapkannya.
Tjahjo Kumolo dan Puan Maharani tentu semua tahu adalah orang politik sehingga sambutan dan pujiannya bisa selalu dihubungkan dengan tujuan-tujuan politis. Sehingga sambutan itu terdengar biasa-biasa saja, bahkan bisa terasa seperti kampanye untuk menarik simpati, meski misalnya memiliki pesan yang original dan mendalam.
Setahun lalu, ketika Anies Baswedan mengatakan “kesenian di Bali bukan semata untuk penghidupan tetapi kehidupan itu sendiri”, yakinlah banyak yang tersihir. Apalagi kata-kata: “ekspresi seni di Bali adalah bagian dari keseharian yang jarang ditemui tidak saja di Indonesia tetapi di belahan dunia manapun”, pastilah banyak orang di Bali klepek-klepek.
Selain kata-kata itu disusun dengan diksi dan nyawa retorik sedemikian rupa, tentu karena Anies Baswedan-lah yang mengatakannya. Ucapan itu terasa sebagai bagian besar dari jargon luhur “tenun kebangsaan” yang kerap ia kumandangkan di berbagai tempat. Ucapan Anies adalah ucapan seorang seniman (yang dirasa terbebas dari tujuan politis) sehingga kata-kata itu langsung bisa masuk ke dalam hati sanubari para seniman di Bali.
Tapi kini, setelah “negara api menyerang”, rasa-rasanya semua bisa berubah, berbalik dan bertumpang-bertindih. Jika kalimat itu diucapkan saat ini, saat Anies Baswedan menjadi Gubernur DKI terpilih melalui proses politik yang riuh, yang memaksanya “banyak bicara” sebagaimana khasnya orang politik yang sedang menenun kekuasaan, tak ada yang tahu (meski bisa ditebak) apakah kalimat yang diucapkannya dalam PKB setahun lalu itu masih memiliki rasa getar yang sama, terutama di Bali?
Untuk itu perlu dipertimbangkan ide gila, bagaimana kalau PKB dibuka maestro seniman tradisional, misalnya oleh Luh Menek dari Tejakula, Bape Kranca dari Jagaraga, atau yang lebih muda semacam Dalang Wija dari Gianyar atau Dalang Narda dari Tabanan. Tentu banyak yang ingin mendengar sambutan original, polos, bisa juga lucu, yang terbebas dari ungkapan retorik dan klise, dan tentu saja terbebas dari ucapan politis untuk sekadar menarik simpati. (T)