PANGGUNG di Gedung Kesenian Gde Manik Singaraja ditutup kain hitam yang lebar. Sehingga main stage bukan lagi di atas, tapi berpindah ke bawah, tempat biasa ditempati kursi untuk tamu VIP.
Salah satu tiang di bagian penonton juga ditutupi kain hitam. Lalu ditempeli lampu dengan sinar yang sedemikian rupa sehingga tampak bulan yang sedang tergantung di sana. Di wing bagian kanan dan kiri diisi tiga lampu netral. Di bagian bawah tangga penonton diisi lampu yang mengarah ke atas.
Demikianlah cara anak-anak teater dari Unit Kegiatan Mahasiswa Teater 28 Siliwangi, Tasikmalaya, Jawa Barat, menyiasati panggung ketika mereka pentas teater, 13 Mei 2017, malam di di Gedung Gde Manik. Panggung yang memang tidak representative untuk pentas teater itu disulap menjadi panggung teater yang enak dan nyaman dipandang.
Hal menarik dari penataan panggung yang sedemikian rupa itu memperlihatkan seolah panggung menjadi sempait, namun sekaligus juga memperluas areal teatrikal sampai ke barisan tribun penonton. Penoton merasa berada di areal pementasan.
Unit Kegiatan Mahasiswa Teater 28 Siliwangi sudah dua kali melakukan pentas di Bali. Dua tahun sebelumnya, yakni pada tahun 2015 mereka datang ke Bali lebih tepatnya Denpasar yang kala itu bekerjasama dengan teater Orok Universitas Udayana.
Tahun ini mereka memilih mengunjungiSingaraja, di mana Unit Kegiatan Mahasiswa Teater Kampus Seribu Jendela (Undiksha) menjadi tuan rumah. Di Singaraja mereka mementaskan naskah Waktu Berlalu yang ditulis dan disutradarai oleh Bode Riswandi.
Begitu melihat panggung Gde Manik, mereka tampaknya langsung memutar otak untuk melakukan penataan panggung. Bermain di panggung Gde Manik, tampaknya menjadi tantangan bagi mereka. Jika kekuatan setiap aktor lemah, maka bisa dipastikan pementasan tidak akan berjalan sesuai harapan.
Tapi mereka memang jago menata artistik panggung. Begitu masuk Gedung Gde Manik, penonton seakan sudah disuguhi “pementasan rupa” yang menyihir. Sehingga ketika permainan benar-benar dimulai, penonton sudah memegang bekal untuk menikmati rupa yang keluar dari gerak para pemain.
Secara keseluruhan, apa yang Teater 28 tampilkan adalah campuran yang pas antara naskah, keaktoran dan tata artistik. Tidak ada yang sengaja ditonjolkan dan tidak ada yang sengaja menonjolkan diri. Mereka bermain sesuai porsi masing-masing. Hal ini tentu tidak lepas dari peran artistik, aktor dan sutradara.
Hal ini bisa dijadikan pelajaran dimana sebenarnya dalam setiap pementasan, setiap orang punya porsi masing-masing. Sehingga tidak akan ada rasa iri apalagi benci terhadap rekan satu tim.
Dari segi keaktoran, setiap aktor memang sudah memiliki proyeksi suara yang pas. Suara aktor terdengar sampai bagian penonton paling atas. Sayangnya, entah karena luasnya panggung, mereka seolah berteriak sehingga lontaran dialog terkesan agak monoton.
Beberapa adegan juga terasa lebih lambat khususnya pada dialog pada bagian-bagian permainan empat patung. Dialog-dialog tersebut terasa lamban dan menurunkan tempo permainan, padahal pada awalnya sudah tempo sudah terasa bergerak dengan sangat enak.
Beberapa aktor terlihat bermain sangat menarik, jauh lebih menonjol dari permainan aktor lainnya. Sehingga terjadi ketimpangan antar aktor. Satu hal yang patut digaris bawahi adalah setiap aktor telah bermain dengan sempurna terlepas dari monoton dialog dan ketimpangan antar aktor.
Waktu Berlalu
Naskah Waktu Berlalu sendiri bercerita tentang perjalanan panjang tentang dendam yang dipelihara puluhan tahun oleh dua kubu yang tak bisa berdamai. Pada awalnya naskah ini berjudul Fade Out namun karena sesuatu dan lain hal, naskah ini berganti menjadi Waktu Berlalu.
Mereka menyuguhkan teater tentang esai kelam masa lalu, yakni masa tragedi tahun 1965 yang masih membayang hingga kini. Kisahnya bukan lagi tentang hal klise semacam pembantaian orang tanpa pengadilan. Namun kisah itu menawarkan solusi cerdas dengan jalinan kata-kata yang memukau. Bidikan pada guru sejarah, pelaku dan korban sungguh puitis nan menyentuh perasaan.
Dalam perseteruan tentu ada dua belah pihak yang merasa benar, naskah ini dengan sangat manis mengambil posisi netral dimana naskah tidak membenarkan pihak manapun. Hal ini dibuktikan dengan salah satu dialog salah satu patung yang berkata “Ini hanya drama”.
Barangkali dialog tersebut sering terdengar dalam banyak pementasan, namun lain halnya dalam pementasan ini. Terlebih lagi perdebatan dalam naskah ini sebenarnya merupakan perdebatan yang terjadi dalam negeri ini sehingga tentu akan mendapat banyak kritikan dari berbagai kalangan.
Dialog itu seolah menetralkan perseteruan sehingga para penonton sadar bahwa apa yang terjadi hanyalah sebuah drama, tak usah diambil pusing. Hal menarik lainnya adalah salah satu adegan di mana sutradara masuk ke panggung untuk mengingatkan aktor yang “main-main” dalam permainan panggung.
Sebuah pementasan yang memukau, yang bisa dijadikan pelajaran dan bandingan bagi kelompok teater di Singaraja. (T)