SEBAGAI salah satu pecinta film, saya sering terkagum-kagum dengan film barat. Bukan hanya karena kecanggihan teknologi dan alur ceritanya, namun juga karena melihat para pemerannya. Apakah karena mereka cantik? Tampan? Ataukah telihat berwibawa? Tentu saja bukan.
Pemeran pada film barat biasanya multi-racial yang mana didominasi oleh pemain kulit putih dan hitam. Tengok saja beberapa tokoh seperti Bruce Wayne – Lucius Fox dalam The Dark Knight, lalu Steve Roger – Sam Wilson dalam Captain America.
Here is the thing, sadarkah bahwa tokoh utama diperankan oleh aktor kulit putih? Sedangkan wingman (tangan kanan)-nya adalah kulit hitam? Secara teori semiotika, ini menggambarkan bahwa para kaum kulit putih tidak bisa berjuang sendiri tanpa kaum kulit hitam kendatipun kedua ras ini di masa lalu pernah memiliki hubungan yang kelam. Namun, kini mereka bersama-sama membangun negaranya.
Memang hanya sebuah film fiksi, namun paham persatuan yang tekandung di dalamnya terasa sangat kuat. Sebuah paham yang memang sudah selayaknya diberlakukan oleh negara yang sudah merdeka dan mengalami evolusi, seperti Indonesia. Berkenaan dengan 72 tahun merdekanya NKRI, apakah perbedaan sudah mulai ditengok sebagai suatu keindahan? Gerakan-gerakan ekstrimist anti kebinekaan dan pro-persamaan masih terus bergerak dan menggeliat. Pada tahun 1945 – 1965 isu ideologi digunakan sebagai senjata pemecah bangsa, Kini di 2017 kejadian yang serupa mulai mencuat kembali dengan senjata baru, yakni “keyakinan”.
Makna keyakinan sangat luas, bukan hanya sebatas agama, namun juga perasaan. Seorang yang salah merasa yakin bahwa dirinya benar dan itu membuatnya menjadi seorang yang ekstrim. Fenomena ini sedang banyak terjadi di Indonesia yang mana oleh mata dunia disebut sebagai gerakan para “Street-vigilantes”.
“Street-vigilantes” yang dimaksud merupakan mereka yang bergerak atas asas-asas yang mereka anggap benar, merubuhkan apa yang mereka anggap salah meskipun saudara sebangsanya. Perang saudara mulai terjadi, pihak radikal memanfaatkan ini sebagai momentum memecah persatuan. Pola yang persis sama dengan kehancuran kerajaan-kerajaan di Nusantara terdahulu.
Sebut saja salah satu perang yg meruntuhkan kerjaan sebesar Majapahit, Perang Paregreg (saudara) pada 1404 – 1406 SM. Sesuai namanya perang tersebut terjadi antara pihak dari kerajaan majapahit sendiri dikarenakan perbedaan ideologi dan keyakinan mereka pada masa itu.
Finally, apa yang terjadi saat ini di negara kita sudah pernah terjadi sebelumnya. Perbedaan dipandang sebagai suatu hal yang harus diperangi. Ketika Negara lain membahas pembangunan infrastruktur baru, mengapa kita justru meributkan ideology yang telah disepakati 7 dekade silam? Haruskah sejarah kelam terulang kembali? Apakah setelah 72 tahun merdeka dari penjajahan dan 19 tahun lepas dari orde baru NKRI harus kembali menanggung pedih?
Dan apakah, evolusi negara ini berjalan mundur? Mari bersama kita renungkan. (T)