15 April 2021
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Register
No Result
View All Result
tatkala.co
tatkala.co
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result
Home Esai
Ketut Syahruwardi Abbas/ Foto: Mursal Buyung

Ketut Syahruwardi Abbas/ Foto: Mursal Buyung

Orasi Ketut Syahruwardi Abbas: Monolog dan Kehadiran Tokoh ke Atas Pentas

Ketut Syahruwardi Abbas by Ketut Syahruwardi Abbas
February 2, 2018
in Esai
8
SHARES

TELAH agak lama kita tidak terlalu peduli pada seni peran. Teater kita (di Indonesia) saat ini dipenuhi dengan gerombolan orang yang diarahkan di atas panggung untuk melakukan adegan-adegan berdasarkan konsep sutradara. Mereka dituntut memenuhi keindahan komposisi, levelling, blocking, dan berteriak (terkadang bersama-sama) saling lempar dialog. Maka, sesungguhnya, sudah agak lama teater kita terjerembab terlalu dalam ke bentuk teater sutradara.

Sutradaralah yang menentukan segalanya.

Pemain tinggal mengikuti arahan sutradara, bergerombol di sudut panggung atau bergerak berdasarkan irama yang dibuat oleh penata gerak.

Lalu di mana kedalaman penghayatan, pemahaman karakter, dan kemampuan berekspresi secara personal oleh pemeran? Hampir tidak ada. Karena itu saat ini kita tidak memiliki aktor atau aktris panggung sehebat Selamet Rahardjo Djarot, Niniek L. Karim, Rendra, dll. Kita kehilangan.

Padahal kita tahu belaka, kita membutuhkan aktor/aktris untuk memerankan karakter sebagai bagian terpenting dari sebuah pementasan. Kita membutuhkan aktor/aktris yang paham pada apa yang dimainkannya, yang mengerti secara menyeluruh tentang karakter yang dimainkannya, paham dengan sangat mendalam mengenai jiwa dan raga tokoh yang dimainkannya. Lalu, dengan bekal itu, sang aktor/aktris mengekpresikannya di atas panggung.

Untuk itu teater kita –apa pun bentuknya—membutuhkan ketelatenan mendidik aktor/aktris.

Kecenderungan menghilangnya peran aktor/aktris dalam pementasan teater belakangan ini sebagian besar disebabkan oleh pudarnya teater realis bersamaan dengan meninggalnya tokoh-tokoh teater realis seperti Usmar Ismail dan –terakhir—Teguh Karya dengan Teater Populernya.

Pada mulanya, di Indonesia teater realis dikenalkan oleh grup Teater Maya pimpinan Usmar Ismail yang berdiri menjelang lahirnya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia (sekitar tahun 1940-an). Seni pengadeganan (mise en scene) dan seni akting grup teater yang lahir di zaman Jepang ini berorientasi kepada aliran realisme, sebuah kecenderungan untuk “menjadi modern”.

Dan orientasi ini berarti menjadikan Barat sebagai sumber estetikanya, yang kemudian dipertegas oleh Asrul Sani (kolega dekat Usmar Ismail) dan kawan-kawan dalam menyusun kurikulum pendidikan teater yang diperuntukkan bagi Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) yang didirikan di Jakarta pada pertengahan 1950-an.

Drama-drama yang dipentaskan oleh ATNI pun lebih banyak merupakan terjemahan/saduran dari karya seniman Barat, antara lain karya William Saroyan, Rupert Brooke, WW Jacob, Anton Chekhov, August Strindberg, Nikolai Gogol dan Emmanuel Robles, selain karya penulis drama kita (Malam Jahanam karya Motinggo Boesye, Titik-titik Hitam karya Nasjah Djamin, Domba-Domba Revolusi karya Bambang Soelarto, Mutiara dari Nusa Laut karya Usmar Ismail dan Pagar Kawat Berduri karya Trisnojuwono (Ikranagara: Teater Nasional Indonesia, dalam Teater Indonesia, Konsep, Sejarah, Problem, Dewan Kesenian Jakarta, 1999).

Selain di Jakarta, di Yogyakarta muncul  Akademi Seni Drama dan Film Indonesia (ASDRAFI) yang diawali oleh Sri Murtono dan kawan-kawan. Lembaga ini memiliki peran besar dalam pengembangan teater realis. Karena, realisme, bagi kampus ini merupakan orientasi pendidikan teaternya. Lahirlah antara lain aktor-aktor seperti Koesno Soejarwadi, Maroeli Sitompoel, selain sutradara teater dan film Teguh Karya.

Selain ASDRAFI juga ada peran “Kelompok UGM” yang ditulang-punggungi Umar Kayam, Soebagyo Sastrowardoyo dan kawan-kawan yang diantaranya pernah mementaskan lakon Hanya Satu Kali garapan sutradara Umar Kayam dengan pemain utama Rendra.

Di luar ASDRAFI dan “Kelompok UGM” muncul pula Teater Indonesia (Kirjomulyo, Iman Soetrisno dan kawan-kawan) yang banyak mementaskan naskah realis karya Kirjomulyo (Senja dengan Dua Kelelawar, Penggali Intan, dan lain-lain) dan karya Nasjah Djamin (Sekelumit Nyanyian Sunda), karya Bambang Soelarto (Abu dan lain-lain).

Teater Muslim (pimpinan Mohammad Diponegoro) yang di dalamnya bergabung Arifin C Noer, juga memiliki kontribusi nilai yang signifikan bagi perkembangan teater realis, salah satunya adalah lewat pementasan lakon lblis karya Mohammad Diponegoro. Selain itu muncul juga  Teater Ramada (A Adjib Hamzah dan kawan-kawan) dan Teater Kronis (Aziz Sumarlo dan kawan-kawan) yang juga giat mementaskan drama-drama realis.

Sejak akhir 1980-an drama realis mulai sepi. Pentas teater lebih banyak diisi oleh pementasan gaya non-realis. Hanya satu-dua pementasan yang menampilkan drama realis.

Teater realis dipandang sebagai media estetik yang kurang strategis untuk mengekspresikan berbagai kegelisahan estetis dan non-estetis. Selain itu, ada hal lain muncul: yakni “matinya” tokoh. Yakni, bergesernya tokoh berjiwa, berdarah-daging (tokoh psikologis) ke tokoh sebagai penyosokan pikiran/ide. Hal ini antara lain tampak pada drama-drama Arifin C Noer (Kapai-Kapai, Mega-Mega, Umang-Umang dan lain-lain), Putu Wijaya (Aduh, Tai, Lho, Los, Front dan lain-lain)  yang punya pengaruh besar dalam pekembangan teater di Indonesia. “Matinya tokoh” tersebut berdampak pula pada disiplin latihan seorang aktor.

Para aktor tidak lagi berkutat pada persoalan seni peran yang njlimet seperti dalam teater realis (yang mementingkan detil dan kewajaran), melainkan lebih pada pola ungkap non-realis yang acuannya tidak hanya seni teater tapi juga seni tari Barat atau tradisional (Asia), teater tradisional (wayang, ketoprak, dagelan, tarling, lenong, srandul, cak, dan lain-lain),  pencak silat, dan lainnya. (Indra Tranggono, makalah pembukaan pameran “Jejak Realisme di Indonesia” oleh Perpustakaan Teater Garasi, pada tanggal 4 Oktober 2006, di Pendopo Teater Garasi Yogyakarta).

Tampaknya, terutama untuk konteks Bali, kita harus kembali menghidupkan tokoh berjiwa dan berdarah daging dalam teater kita. Untuk itu kita membutuhkan lahirnya aktor dan aktris yang terdidik. Akting harus kembali diajarkan sebagai ilmu pengetahuan, lengkap dengan perangkat-perangkat pendukungnya seperti ilmu psikologi, ilmu tentang gesture, dan seterusnya.

Jika kelompok teater telah berhasil mendidik aktor dan aktris dengan baik, maka kelompok itu telah memiliki “perangkat siap pakai” untuk segala jenis aliran teater, baik realis, surrealis, absurd, tradisional, dan seterusnya.

Momentum “Festival Monolog 100 Putu Wijaya” ini menjadi penting bagi kita untuk menghadirkan kembali aktor dan aktris di atas panggung. Monolog menuntut pemeran yang tangguh, yang mampu menghidupkan tokoh yang diperaninya. Monolog menuntut aktor dan aktris yang memahami semua unsur pada tokohnya, baik fisik maupun psikis.

Monolog, karena itu, menuntut pemerannya benar-benar mampu “menjadi” tokoh yang diangkatnya ke atas panggung dan menyatu dengannya. Apa pun jalannya untuk itu. Apakah akan melakukan peniruan atau berusaha masuk menjadi tokoh itu.

Sekali lagi, mari hidupkan kembali “tokoh” ke atas pentas. Mari hadirkan kembali aktor dan aktris ke atas panggung teater di Bali. (T)

Tags: baliFestival Monolog Bali 100 Putu WijayaMonologPutu Wijayaseni pertunjukanTeater
Ketut Syahruwardi Abbas

Ketut Syahruwardi Abbas

Wartawan senior, menulis puisi, esai dan cerpen. Pernah menjadi pemimpin redaksi di sejumlah media

MEDIA SOSIAL

  • 3.5k Fans
  • 41 Followers
  • 1.5k Followers

ADVERTISEMENT

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Features
  • Fiction
  • Poetry
Essay

Towards Success: Re-evaluating the Ecological Development in Indonesia in the Era of Anthropocene

Indonesia has long been an active participant of the environmental policy formation and promotion. Ever since 1970, as Dr Emil...

by Etheldreda E.L.T Wongkar
January 18, 2021

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Ilustrasi tatkala.co | Satia Guna
Cerpen

Utang | Cerpen Rastiti Era

by Rastiti Era
April 10, 2021
Youtube
Esai

Saat Fidget Spinner Menyerang, Orang Tua pun Rogoh Dompet Demi Mainan Tak Dipahami

SEBUAH mainan baru kini sedang naik daun. Namanya fidget spinner. Jika di-Bahasa Indonesia-kan nama mainan ini adalah “pemintal gelisah”. Seperti ...

February 2, 2018
Foto: Mursal Buyung
Esai

“Sembah Puyung” dan “Puyung Maisi” – Puji pada Esensi Keheningan Diri

SEMBAH Puyung adalah doa yang pertama (pembuka) dalam rangkaian Panca Sembah (5 puja-doa) yang bersifat “standar” dalam persembahyangan masyarakat Hindu-Bali. ...

February 2, 2018
Esai

Tibet, Poliandri dan Pandemi

“Teman-teman lama pergi, teman-teman baru datang. Hal ini sama seperti hari. Hari yang lama berlalu, hari baru tiba. Yang penting ...

September 26, 2020
Esai

Suradira Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti

"Satu mata untuk satu mata hanya akan berakhir membuat seluruh dunia buta." (Sang Jiwa Agung, Mahatma Gandhi) . Satu perkelahian ...

May 23, 2019
Balap sepeda Porprov Bali 2019 di Desa Apuan, Baturiti, Tabanan. (Foto: dok penulis)
Khas

Dari Balap Sepeda Porprov Bali 2019: Lintas Desa dan Nenek yang Tiba-tiba Menyeberang

Pinge yang sedang menggeliat. Menata diri sebagai desa wisata yang berpotensi menarik pengunjung. Ditunjuknya banjar kecil di Desa Baru, Marga, ...

September 16, 2019

PERISTIWA

  • All
  • Peristiwa
  • Kilas
  • Khas
  • Perjalanan
  • Persona
  • Acara
Anak-anak di Banjar Ole, Marga, Tabanan, mengikuti workshop yang digelar CushCush Galerry
Acara

Burung Menabrak Pesawat, Lele Dipatuk Ayam | Charcoal For Children 2021: Tell Me Tales

by tatkala
April 13, 2021

ESAI

  • All
  • Esai
  • Opini
  • Kiat
  • Ulasan
Esai

Gejala Bisa Sama, Nasib Bisa Beda

by Putu Arya Nugraha
April 13, 2021

POPULER

Foto: koleksi penulis

Kisah “Semaya Pati” dari Payangan Gianyar: Cinta Setia hingga Maut Menjemput

February 2, 2018
Istimewa

Tradisi Eka Brata (Amati Lelungan) Akan Melindungi Bali dari Covid-19 – [Petunjuk Pustaka Lontar Warisan Majapahit]

March 26, 2020

tatkala.co mengembangkan jurnalisme warga dan jurnalisme sastra. Berbagi informasi, cerita dan pemikiran dengan sukacita.

KATEGORI

Acara (68) Cerpen (163) Dongeng (13) Esai (1456) Essay (7) Features (5) Fiction (3) Fiksi (2) Hard News (11) Khas (352) Kiat (20) Kilas (203) Opini (481) Peristiwa (83) Perjalanan (53) Persona (10) Poetry (5) Puisi (108) Ulasan (343)

MEDIA SOSIAL

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Sign Up

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In