TELAH agak lama kita tidak terlalu peduli pada seni peran. Teater kita (di Indonesia) saat ini dipenuhi dengan gerombolan orang yang diarahkan di atas panggung untuk melakukan adegan-adegan berdasarkan konsep sutradara. Mereka dituntut memenuhi keindahan komposisi, levelling, blocking, dan berteriak (terkadang bersama-sama) saling lempar dialog. Maka, sesungguhnya, sudah agak lama teater kita terjerembab terlalu dalam ke bentuk teater sutradara.
Sutradaralah yang menentukan segalanya.
Pemain tinggal mengikuti arahan sutradara, bergerombol di sudut panggung atau bergerak berdasarkan irama yang dibuat oleh penata gerak.
Lalu di mana kedalaman penghayatan, pemahaman karakter, dan kemampuan berekspresi secara personal oleh pemeran? Hampir tidak ada. Karena itu saat ini kita tidak memiliki aktor atau aktris panggung sehebat Selamet Rahardjo Djarot, Niniek L. Karim, Rendra, dll. Kita kehilangan.
Padahal kita tahu belaka, kita membutuhkan aktor/aktris untuk memerankan karakter sebagai bagian terpenting dari sebuah pementasan. Kita membutuhkan aktor/aktris yang paham pada apa yang dimainkannya, yang mengerti secara menyeluruh tentang karakter yang dimainkannya, paham dengan sangat mendalam mengenai jiwa dan raga tokoh yang dimainkannya. Lalu, dengan bekal itu, sang aktor/aktris mengekpresikannya di atas panggung.
Untuk itu teater kita –apa pun bentuknya—membutuhkan ketelatenan mendidik aktor/aktris.
Kecenderungan menghilangnya peran aktor/aktris dalam pementasan teater belakangan ini sebagian besar disebabkan oleh pudarnya teater realis bersamaan dengan meninggalnya tokoh-tokoh teater realis seperti Usmar Ismail dan –terakhir—Teguh Karya dengan Teater Populernya.
Pada mulanya, di Indonesia teater realis dikenalkan oleh grup Teater Maya pimpinan Usmar Ismail yang berdiri menjelang lahirnya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia (sekitar tahun 1940-an). Seni pengadeganan (mise en scene) dan seni akting grup teater yang lahir di zaman Jepang ini berorientasi kepada aliran realisme, sebuah kecenderungan untuk “menjadi modern”.
Dan orientasi ini berarti menjadikan Barat sebagai sumber estetikanya, yang kemudian dipertegas oleh Asrul Sani (kolega dekat Usmar Ismail) dan kawan-kawan dalam menyusun kurikulum pendidikan teater yang diperuntukkan bagi Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) yang didirikan di Jakarta pada pertengahan 1950-an.
Drama-drama yang dipentaskan oleh ATNI pun lebih banyak merupakan terjemahan/saduran dari karya seniman Barat, antara lain karya William Saroyan, Rupert Brooke, WW Jacob, Anton Chekhov, August Strindberg, Nikolai Gogol dan Emmanuel Robles, selain karya penulis drama kita (Malam Jahanamkarya Motinggo Boesye,Titik-titik Hitamkarya Nasjah Djamin,Domba-Domba Revolusikarya Bambang Soelarto,Mutiara dari Nusa Lautkarya Usmar Ismail danPagar Kawat Berdurikarya Trisnojuwono (Ikranagara:Teater Nasional Indonesia,dalamTeater Indonesia, Konsep, Sejarah, Problem, Dewan Kesenian Jakarta, 1999).
Selain di Jakarta, di Yogyakarta muncul Akademi Seni Drama dan Film Indonesia (ASDRAFI) yang diawali oleh Sri Murtono dan kawan-kawan. Lembaga ini memiliki peran besar dalam pengembangan teater realis. Karena, realisme, bagi kampus ini merupakan orientasi pendidikan teaternya. Lahirlah antara lain aktor-aktor seperti Koesno Soejarwadi, Maroeli Sitompoel, selain sutradara teater dan film Teguh Karya.
Selain ASDRAFI juga ada peran “Kelompok UGM” yang ditulang-punggungi Umar Kayam, Soebagyo Sastrowardoyo dan kawan-kawan yang diantaranya pernah mementaskan lakonHanya Satu Kaligarapan sutradara Umar Kayam dengan pemain utama Rendra.
Di luar ASDRAFI dan “Kelompok UGM” muncul pula Teater Indonesia (Kirjomulyo, Iman Soetrisno dan kawan-kawan) yang banyak mementaskan naskah realis karya Kirjomulyo (Senja dengan Dua Kelelawar, Penggali Intan, dan lain-lain) dan karya Nasjah Djamin (Sekelumit Nyanyian Sunda),karya Bambang Soelarto (Abudan lain-lain).
Teater Muslim (pimpinan Mohammad Diponegoro) yang di dalamnya bergabung Arifin C Noer, juga memiliki kontribusi nilai yang signifikan bagi perkembangan teater realis, salah satunya adalah lewat pementasan lakonlbliskarya Mohammad Diponegoro. Selain itu muncul juga Teater Ramada (A Adjib Hamzah dan kawan-kawan) dan Teater Kronis (Aziz Sumarlo dan kawan-kawan) yang juga giat mementaskan drama-drama realis.
Sejak akhir 1980-an drama realis mulai sepi. Pentas teater lebih banyak diisi oleh pementasan gaya non-realis. Hanya satu-dua pementasan yang menampilkan drama realis.
Teater realis dipandang sebagai media estetik yang kurang strategis untuk mengekspresikan berbagai kegelisahan estetis dan non-estetis. Selain itu, ada hal lain muncul: yakni “matinya” tokoh. Yakni, bergesernya tokoh berjiwa, berdarah-daging (tokoh psikologis) ke tokoh sebagai penyosokan pikiran/ide. Hal ini antara lain tampak pada drama-drama Arifin C Noer (Kapai-Kapai, Mega-Mega,Umang-Umangdan lain-lain), Putu Wijaya (Aduh, Tai, Lho, Los, Frontdan lain-lain) yang punya pengaruh besar dalam pekembangan teater di Indonesia. “Matinya tokoh” tersebut berdampak pula pada disiplin latihan seorang aktor.
Para aktor tidak lagi berkutat pada persoalan seni peran yang njlimet seperti dalam teater realis (yang mementingkan detil dan kewajaran), melainkan lebih pada pola ungkap non-realis yang acuannya tidak hanya seni teater tapi juga seni tari Barat atau tradisional (Asia), teater tradisional (wayang, ketoprak, dagelan, tarling, lenong, srandul,cak, dan lain-lain), pencak silat, dan lainnya. (Indra Tranggono, makalah pembukaan pameran “Jejak Realisme di Indonesia” oleh Perpustakaan Teater Garasi, pada tanggal 4 Oktober 2006, di Pendopo Teater Garasi Yogyakarta).
Tampaknya, terutama untuk konteks Bali, kita harus kembali menghidupkan tokoh berjiwa dan berdarah daging dalam teater kita. Untuk itu kita membutuhkan lahirnya aktor dan aktris yang terdidik. Akting harus kembali diajarkan sebagai ilmu pengetahuan, lengkap dengan perangkat-perangkat pendukungnya seperti ilmu psikologi, ilmu tentang gesture, dan seterusnya.
Jika kelompok teater telah berhasil mendidik aktor dan aktris dengan baik, maka kelompok itu telah memiliki “perangkat siap pakai” untuk segala jenis aliran teater, baik realis, surrealis, absurd, tradisional, dan seterusnya.
Momentum “Festival Monolog 100 Putu Wijaya” ini menjadi penting bagi kita untuk menghadirkan kembali aktor dan aktris di atas panggung. Monolog menuntut pemeran yang tangguh, yang mampu menghidupkan tokoh yang diperaninya. Monolog menuntut aktor dan aktris yang memahami semua unsur pada tokohnya, baik fisik maupun psikis.
Monolog, karena itu, menuntut pemerannya benar-benar mampu “menjadi” tokoh yang diangkatnya ke atas panggung dan menyatu dengannya. Apa pun jalannya untuk itu. Apakah akan melakukan peniruan atau berusaha masuk menjadi tokoh itu.
Sekali lagi, mari hidupkan kembali “tokoh” ke atas pentas. Mari hadirkan kembali aktor dan aktris ke atas panggung teater di Bali. (T)