JUMAT 14 April 2017, tepat pukul 14.00 wib, Gedung Pendopo Pratanu menjadi saksi perayaan Festival Puisi Bangkalan 2. Para tamu yang terdiri dari penyair, siswa, guru, mahasiswa, dan sejumlah Pejabat Kab. Bangkalan hilir bergantian memenuhi kursi-kursi yang disediakan panitia.
Sementara panggung utama yang dilatari banner besar warna oranye bertuliskan “Lebih Baik Putih Tulang daripada Putih Mata”, sisi sekelilingnya diapit gambar-gambar banner dan stan puisi penyair. Fantastik. Lalu dibukalah acara pembukaan FPB 2 oleh MC berparas kostum rapi, dengan senyum gagah ia sambut khalayak yang berkumpul di pelataran gedung, sambil memandu rangkaian acara yang dibacakan.
Sebuah musikalisasi puisi berjudul “Perempuan-Perempuan Perkasa” karya Hartoyo Andang Jaya oleh Sanggar Pelangi tampil sebagai menu pembukaan FPB 2. Disusul tampilan kèjhung puisi berjudul “Akor Apolong (rukun berkumpul)” karya Anwar Sadat dari Sanggar Kopi Lembah Arosbaya, seolah hadirin (para tamu) benar-benar sedang memasuki hamparan suasana alam bumi Madura yang seutuhnya.
Dihadiri ketua DPRD, KPUD Bangkalan, dan sejumlah pejabat tinggi di lingkungan Pemkab Bangkalan, serasa momentum gelaran sastra bertajuk “Lebih Baik Putih Tulang daripada Putih Mata” sempurna di segala harapan. Sejumlah apresiasi sambutan meriah tak terbendung, terlontar dari sejumlah tokoh yang kala itu hadir.
Instalasi Puisi
Di penutup acara pembukaan FPB 2, lagi-lagi penonton dibuat takjub oleh suguhan tampilan musikalisasi puisi berjudul “Madura, Akulah Darahmu” karya D. Zawawi Imron dari Sanggar Kisah Cinta SMK Negeri 1 Bangkalan. Setelah acara ditutup doa, MC tak memperkenankan tamu lekas meninggalkan gedung. Mereka diarahkan dan dipandu keliling area untuk menikmati wisata instalasi puisi.
Wisata Instalasi puisi ini terbagi dua kriteria.
Pertama, Instalasi puisi umum. Di mana, kita disuguhkan pada pemandangan yang tak lazim, tapi menarik. Puisi diekspresikan ke dalam benda-benda seperti batu, botol, pintu, atau barang bekas lain yang kemudian memunculkan esensi ruang imajinasi bagi penikmat. Tidak seperti pada umumnya, puisi diketik atau ditulis pada selembar kertas, dipublikasikan di facebook, blog, tweeter, dsb. Beragam ekspresi dapat kita temui langsung bagaimana puisi diperlakukan istimewa. Sehingga nilai yang tertangkap dari benda-benda tersebut memiliki kesan penuh makna.
Kedua, Instalasi puisi individu. Kreasi stan puisi yang beraneka ragam dari 23 penyair Bangkalan, adalah bentuk pemvisualan karakter masing-masing penyair bersama buku antologi puisi yang dipamerkan.
Puisi Ada di Mana-mana
Malam harinya, acara bertajuk “Mancing Sastra” dengan menghadirkan sastrawan Tia Setiadi (Yogyakarta) dan Iman Budhi Santosa (Yogyakarta) kian menyemangati animo peserta yang mayoritas didominasi Mahasiswa dari berbagai kampus di Bangkalan.
Dalam penyampaiannya, Pak Iman Budhi Santosa menjelaskan: “Belajar menulis puisi harus perhatikan makna. Jangan main-main. Harus tahu apa yang ingin disampaikan dan bagaimana menyampaikannya.”
Ia lanjutkan lagi, “Menghargai puisi sebetulnya menghargai manusia. Puisi bagian dari kebudayaan peradaban. Puisi tidak hanya bisa mengambil, meniru. Kita tidak bisa mencipta. Puisi sesungguhnya ada di mana-mana. Kita hanya bisa memungut dari sekeliling,” imbuhnya lagi.
Satu sisi beliau juga meluruskan ihwal karya sastra yang gagal dimuat di sebuah antologi puisi atau koran. Apa pun wujudnya, karya tetaplah karya dari hasil intuisi penyair. Dan di akhir pembahasan, Pak Iman Budhi Santosa menyisipkan kalimat yang cukup intuitif: “Saat dia menjadi penyair, saat itulah dia menjadi dirinya sendiri,” tuturnya menggairahkan peserta semangat menulis.
Sedangkan Tia Setiadi yang sejak awal selalu tampak berpenampilan segar dan murah senyum meladeni peserta, dalam pemaparannya, juga tak kalah heboh memberi umpan pancingan tentang puisi. Jiwa muda yang dimiliki Tia Setiadi tampak paham betul pada skema kebutuhan komunikasi yang digandrungi peserta. Ia lebih menggunakan teknik analogi cerita penggambaran terhadap konsep sebuah proses menulis puisi.
Wisata puisi
Sabtu siang di tempat Penginapan penyair Nusantara. Setelah paginya jalan-jalan menyusuri udara pagi Kota Bangkalan. Mereka (para penyair dari berbagai kota) turut andil mengambil momen FPB 2 dengan gelaran ngumpul bersama di Pendapa Pusdiklat. Obrolan renyah, santai, dan tidak pernah lepas dari kopi, tampak mewarnai sisi yang lain dari meriahnya FPB 2 tahun ini.
Sesekali dalam suasana keakraban tersebut, mereka isi dengan apresiasi baca puisi secara bergiliran membaca. Mereka, nama saya sebut adalah Sofyan RH. Zaid (Sumenep/Bekasi), Gemi Mohawk (Jakarta), W Haryanto (Blitar), Kim Al Ghazali (Bali), Suyitno Ethex (Mojokerto), Abidin Wakur (Makassar), L Surajiya (Kulonprogo), Puput Amiranti (Blitar), Mahendra (Sumenep), Alfa Anisa (Blitar), Hermin Setyoningsih (Magetan), Moh. Gufron Cholid (Sampang), Rakai Lukman (Gresik), Sugik Muhammad Sahar (Pamekasan), Ahmad Subki (Bangkalan), Rosi Praditya (Sampang), Zammil Hamzah (Sumenep), Masdon O (Sumenep).
Jauh-jauh meluangkan waktu hadir ke FPB 2, sepertinya tak cukup hanya dengan duduk diskusi dan menikmati tampilan-tampilan yang disuguhkan dalam acara. Para penyair dipandu panitia mengunjungi tempat-tempat wisata religi di Bangkalan yang menyimpan nilai kultur sejarah.
Kunjungan pertama, yakni bertamu ziarah ke Makam Syaikhona Kholil. Seorang Ulama Besar Karismatik di Pulau Madura yang juga dikenal sebagai Waliyullah. Sedangkan kunjungan kedua, ke Pesarean Aer Mata Ebu “air mata ibu” di Arosbaya. Lokasinya sekitar 25 km arah utara kota Bangkalan. Di mana tempat tersebut merupakan kediaman makam silsilah keluarga raja-raja di Madura.
Tibalah pada Malam Puncak Perayaan Festival Puisi Bangkalan 2, sekaligus diluncurkannya buku Antologi Puisi Nusantara “Lebih Baik Putih Tulang daripada Putih Mata”, di dalamnya memuat 100 penyair yang lolos seleksi karya terpilih oleh Dewan Kurator.
Para peserta, penyair, masyarakat, dan beberapa tokoh petinggi di Bangkalan kembali berkumpul di Gedung Pratanu (Pendopo II) Bangkalan menghabiskan suasana malam puncak gelaran FPB 2. Pak Iman Budhi Santosa dan Tia Setiadi dalam suasana kemeriahan tersebut hadir duduk menyaksikan berbagai suguhan tampilan yang ada.
Sebelum menginjak pada acara inti Launching Buku Antologi Puisi Nusantara, sambutan dewan kurator yang kala itu diwakili oleh sastrawan Bangkalan M. Helmy Prasetya, beliau tak urung mengungkapkan rasa terima kasih kepada para penyair dari berbagai kota yang telah hadir mengapresiasi gelaran FPB 2 secara luar biasa. Sehingga pada kepentingan itu pula, Bangkalan, di mata publik sastra patut diperhitungkan eksistensinya dalam membangun iklim sastra yang maju, yang bergerak di suatu wilayah kecil di Madura.
Tampilan musikalisasi puisi dari Sanggar Mutiara berjudul “Gerimis Pagi” karya Lennon Machali dan pertunjukan teater berjudul “Tubuh Hilang” karya dan Sutradara Soul Esto dan Aulina Umaza dari SENDRATASIK UNESA tampil menghangati suasana pra acara serunya malam puncak perayaaan gelaran FPB 2.
Di bagian yang tak kalah memukau dari tampilan musikalisasi dan teater, adalah kehebohan parade baca puisi oleh para penyair Nusantara yang secara bergiliran membacakan puisinya. Tidak tanggung-tanggung, salah seorang penyair bernama Rosi Praditya (Sampang Madura) rela membuka bajunya hanya demi tuntutan totalitas diri dalam mengapresiasi baca puisi. Darinya, penonton sontak menggemuruh dan aplaus untuk penyair Rosi Praditya dari Sampang.
Di menu penutup rangkaian acara malam puncak FPB 2, sesi diskusi membahas kelahiran Buku Antologi Puisi Nusantara “Lebih Baik Putih Tulang daripada Putih Mata” memperkenankan tiga sastrawan ditunjuk sebagai pembicara. Mereka: W Haryanto (Blitar), Gemi Mohawk (Jakarta), dan Sofyan RH. Zaid (Sumenep/Bekasi).
Ketiganya saling sambung beri penjelasan yang variatif tentang kehadiran buku Antologi Puisi Nusantara “Lebih Baik Putih Tulang daripada Putih Mata” yang diterbitkan oleh Penerbit Komunitas Masyarakat lumpur. Dari W Haryanto, beliau memaparkan tentang sejarah peta pergerakan sastra dan karya sastra Jawa Timur, kemudian pentingnya dibuatkan sebuah pusat dokumentasi karya di setiap wilayah.
Gemi Mohawk dalam tuturannya menyarankan pentingnya ke-istiqomah-an diri dalam menulis puisi. Sedangkan Sofyan RH. Zaid, bicara kaitan tentang proses kreatif, ia mengingatkan pada sebuah prinsip orang Madura:” “Cong, jâ’ pangghâmpang makaluaran sadhâ’ dâri sarongah, tapè bile arè’ jiya èpakaluar dâri bâddhâna, haram èpamaso’ polè mon tadâ dârâ” (jangan mudah mengeluarkan celurit dari sarungnya, tapi kalau celurit itu sudah keluar, haram dimasukkan kembali kalau tidak ada darah).
Hubungannya dengan proses kreatif adalah kita sebagai pekerja teater, puisi, esai, dll, jangan sesekali mengeluarkan sebuah karya, kalau karya itu tidak bisa melukai. Lebih baik kita tidak produktif daripada produktif mengeluarkan banyak karya tapi tidak melukai.” Begitulah diskusi anteng digelar hingga berakhir sekitar pukul 00.15 wib.
Pada wacananya, gelaran festival sastra ini adalah agenda program tahunan yang diselenggarakan oleh Komunitas Masyarakat Lumpur Bangkalan. Setelah sebelumnya festival yang pertama sukses berlangsung pada bulan Mei tahun 2016 yang lalu. Dan tahun depan akan berjumpa pada gelaran perayaan Festival Puisi Bangkalan 3. (T)
Bangkalan, 22 April 2017