ADA lelucon yang bikin kuping saya sebagai “orang Tabanan” panas.
“Jika kamu berada di jalan desa, dan ingin tahu batas antara desa yang masuk Kabupaten Badung dan desa yang masuk wilayah Tabanan, lihat saja kondisi jalannya. Lewat di jalan desa yang masuk Badung, seeerrr, mulus, namun begitu masuk jalan desa di wilayah Tabanan langsung glejuk-glejuk, kratak-krotok, gedubraaak!”
Lelucon itu tentu tak sepenuhnya benar. Tapi, tak perlu malu untuk mengatakan: memang banyak benarnya juga. Mari kita cek sejumlah desa di Tabanan yang berbatasan dengan desa-desa di Kabupaten Badung.
Desa Selanbawak
Desa Selanbawak di Kecamatan Marga, Tabanan, adalah desa yang berbatasan dengan Desa Sembung dan Desa Kuwum di Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung. Dari Jalan Raya Denpasar-Bedugul, jika hendak ke Desa Selanbawak atau ke Desa Marga, kita bisa masuk lewat sejumlah jalan perbatasan.
Antara lain, kita bisa masuk lewat jalan di sebelah selatan Pasar Sembung, lurus ke barat, sekitar 500 meter, bertemulah kita dengan jembatan di atas sungai kecil yang ditutupi rimbun pohon. Sungai itulah yang jadi batas antara wilayah Sembung-Badung dan Selanbawak-Tabanan.
Beberapa tahun lalu, kira-kira sebelum Pilkada Tabanan, ketika saya pulang kampung ke Desa Marga, jalan perbatasan itu memang sangat kentara beda karakternya. Dari Sembung ke barat mulus, lalu begitu sampai perbatasan, menanjak sedikit, jalan bolong-bolong pun menghadang. Artinya, maklumlah saya, bahwa saya sudah memasuki kabupaten tempat saya lahir, yang tentu sangat saya cintai.
Tapi tahun-tahun belakangan ini, jalan itu sudah mulus. Artinya jika lewat dari Sembung ke barat, kita bisa lempeng melewati perbatasan tanpa halangan. Meski kualitas aspal sebelah timur dan sebelah barat mungkin masih berbeda.
Nyelati-Selanbawak
Selain masuk lewat Sembung, kita juga bisa masuk ke Desa Selanbawak lewat jalan kecil dari Desa Kuwum. Dari Jalan Raya Denpasar-Bedugul, begitu tiba di pertigaan sekitar Kantor Desa, kendaraan bisa belok ke Banjar Nyelati. Kita akan melewati wilayah banjar yang masih asri dengan suasana kampung yang kental, tapi jalannya berkualitas kota, mulus.
Begitu lewat kuburan Nyelati yang amat teduh, kita siap-siap memasuki wilayah perbatasan. Jika jalan itu mulus hingga ke Desa Selanbawak, kita tak akan tahu batas antara wilayah Badung dan Tabanan di jalur yang masih hijau royo-royo itu. Tak ada tanda khusus yang bisa dijadikan penanda bahwa ruas jalan dari utara ke selatan itu dibagi oleh dua desa dari dua kabupaten yang berbeda.
Jadi, jangan salahkan jika sejumlah orang menggunakan jalan rusak itu sebagai pengingat bahwa mereka sudah tiba di wilayah Tabanan. Bayangkan, jalan mobil yang sudah cespleng dari utara, lalu tiba-tiba harus main rem dan gas sedikit-sedikit, karena masuk jalan yang kondisinya susah ditebak.
Saya termasuk sering lewat di jalan itu, terutama ketika dari Singaraja hendak pulang kampung ke Marga. Seingat saya, jalan itu pernah diperbaiki, dan sempat dilewati dalam kondisi bagus. Tapi entah kenapa, belakangan jalan itu kembali rusak.
Nah, jalan yang sedang kita bicarakan itulah yang beberapa hari ini ramai dibicarakan di facebook. Sejumlah pemuda dari Desa Selanbawak bagian utara, tepatnya di Banjar Dinas Selanbawak Kaja, berfoto dengan aksi telanjang dada sambil membawa poster bertuliskan “Kapan Jalan Kami Diperbaiki?”
Tak tahulah siapa yang memasang foto itu untuk pertamakali. Yang jelas foto itu menyebar ke sejumlah akun dan grup facebook. Apalagi kemudian aksi itu dilanjutkan dengan pemberitaan di media online. Maka, tak usah heran, masalah jalan pun kembali jadi pembicaraan hangat di Tabanan,
I Wayan Agus Mahendra, pemuda dari Selanbawak, sebagaimana ditulis www.suaradewata.com menyebutkan kondisi jalan di Banjar Selanbawak Kaja masih rusak parah. Lucunya, kata dia, jalan yang rusak tersebut hanya sebagian di utara Banjar Selanbawak Kaja sepanjang 400 meter yang belum diperbaiki.
Sedangkan, sebagian di selatan yang masih di wilayah Banjar Selanbawak Kaja sepanjang 600 meter sudah diperbaiki. “Setelah diaspas setahun lalu, kami duga kualitasnya rendah, karena setelah diaspal ada sekitar 3 bulannya pas ada air hujan aspalnya hanyut, sedangkan jalan di bagian selatan sudah dihotmix,” kata Mahendra.
Aduh, Malunya!
Kabupaten Badung, semua tahu, adalah kabupaten paling kaya di Bali. PAD-nya rata-rata di atas 3 triliun, sementara PAD Tabanan masih dalam hitungan ratusan miliar. Jadi, maklum saja Pemerintah Kabupaten Tabanan tak bisa memperbaiki jalan dengan gerak cepat, apalagi sampai masuk ke wilayah jauh di pedesaan.
Tapi harap maklum juga warga Tabanan yang desanya berbatasan dengan desa di Kabupaten Badung tak tahan untuk protes. Mereka mungkin malu sekaligus jengah melihat jalan di desa tetangga yang bagai paha artis Korea, sedangkan jalan di desa sendiri jalannya seperti paha klesih alias terenggiling. Iya, seperti pemuda di Selanbawak itu. Mungkin bukan soal jalan rusak semata yang mereka keluhkan, tapi soal ketidakadilan.
Jalur Lucu Sembung-Caubelayu-Sangeh
Saya ceritakan sekali lagi jalur lucu terkait batas antara desa di wilayah Tabanan dengan desa di wilayah Badung. Yakni, jalur jalan antara Desa Sembung, Desa Caubelayu, dan wilayah Sangeh. Sembung masuk wilayah Badung, Caubelayu masuk wilayah Tabanan, dan Sangeh kembali masuk wilayah Badung.
Jalur ini jalur baru. Jalur itu tercipta setelah jembatan yang menghubungkan Sangeh dengan Caubelayu dibangun beberapa tahun lalu. Jembatan itu tepatnya berada di sebelah utara obyek wisata hutan Sangeh atau di sebelah selatan obyek wisata Tanah Wok.
Jalur ini lucu, karena dari wilayah Badung, kita harus melewati wilayah Tabanan, untuk menuju wilayah Badung kembali. Artinya Tabanan dijepit Badung. Sembung milik Badung, lalu terselip di tengahnya Caubelayu milik Tabanan, kemudian Sangeh kembali milik wilayah Badung.
Setelah jembatan dibangun, orang yang sedang berada di Jalan Raya Denpasar-Bedugul bisa menempuh jalur pendek menuju Sangeh, tidak harus memutar lewat Petang, atau lewat Mengwi. Kendaraan bisa dibelokkan ke timur dari wilayah Sembung, lalu memasuki wilayah Caubelayu, lewat jembatan, maka tibalah di Sangeh. Begitu juga sebaliknya.
Beberapa hari setelah jembatan kelar, jalur itu langsung ramai. Apalagi di sebelah timur jembatan berderet dagang sate babi yang selalu diserbu pecinta kuliner dari berbagai daerah, salah satunya Warung Sate Bledor. Namun, setelah jembatan usai, meski langsung ramai, jalur itu tampaknya tidak otomatis jadi lancar.
Dalam rentang waktu yang cukup lama, jalur itu cacat. Pengendara selalu tersendat ketika memasuki wilayah Caubelayu Tabanan. Mobil bisa digas kenceng mulai dari wilayah Sembung ke timur karena jalannya mulus. Namun begitu masuk cekungan di atas sungai kecil, yang menjadi batas antara Badung dan Tabanan, mobil langsung menyerobot jalan berlubang-lubang. Jika mengajak teman dalam satu mobil, kerap saya dengar teman itu nyeletuk, “Kita memasuki wilayah Tabanan, Bro!” Tentu saja maksudnya menyindir saya.
Jalan rusak itu memang pendek, mungkin sekitar 100 meter, namun cukup berbahaya. Setelah lewat jalan rusak itu, mobil kemudian memasuki jembatan menuju Sangeh yang jalannya kembali mulus.
Awal tahun 2017, jalan rusak itu sudah diperbaiki. Meski tak semulus jalan-jalan di sebelah barat dan timurnya, namun jalur itu kini sudah bisa dilalui dengan hati yang lapang tanpa disertai perasaan was-was. Yang mau beli sate di wilayah Sangeh, langsung bisa pesan sate dengan cepat.
Pemerintah tak Esa
Meski jalan di wilayah Caubelayu itu kini sudah diperbaiki, namun tetap menyisakan pertanyaan-pertanyaan. Salah satu pertanyaannya, apakah pemerintah yang berada di dua wilayah yang berbatasan, seperti Badung dan Tabanan, tak boleh bekerjasama dalam mengurus jalur penting di perbatasan?
Artinya, jika jembatan Sangeh-Caubelayu itu dibangun, seharusnya kedua pemerintah daerah sudah otomatis bekerjasama dalam merancang jalur antarkabupaten. Toh, orang yang lewat di jalur itu bukan hanya orang Badung, bukan hanya orang Tabanan.
Apakah Pemkab Tabanan tak siap dengan pembukaan jalur itu sehingga lambat mengalokasikan anggaran perbaikan jalan di jalur itu? Jawabannya, mungkin soal anggaran, mungkin juga soal koordinasi. Atau hal lain yang rakyat tak usah paham.
Jika Tabanan kesulitan anggaran, apakah Pemkab Badung yang kaya tak boleh membantu Tabanan untuk ikut memperbaiki jalan yang pendeknya hanya 100 meter itu, agar hubungan antardesa (masuk wilayah kabupaten apa pun desa itu) bisa berlangsung mulus?
Jawabannya saya tahu: tidak boleh. Jika Pemkab Badung ikut memperbaiki jalan di wilayah Tabanan, meski nilai kegunaannya sangat tinggi, itu tetap menyalahi aturan. Pejabat Dinas PU bisa dicokok KPK. Memangnya pemerintah daerah yang satu dengan pemerintah daerah yang lain itu saudara kandung, bisa saling memberi dan saling meminjami dengan mudah.
Tidak. Pemerintah itu tidak esa. Mereka berbeda-beda (APBD dan PAD) padahal sama-sama disebut pemerintah.
Jadi, harap ngerti, warga yang desanya berada di wilayah perbatasan, harus rela menahan malu karena desa tetangga yang warganya sering diajak ngobrol dan minum-minum di penggak tepi jalan, ternyata lebih kaya, jalannya lebih mulus, bansosnya lebih gede, tunjangan kesehatannya lebih besar.
Harus dimaklumi, Pemerintah Daerah itu bukan hanya beda besaran APBD, tapi juga beda karakter, berbeda tingkat kecepatannya sebagaimana berbeda juga tingkat kemalasannya (baca: ketidakpeduliannya terhadap rakyat). Dalam posisi itulah, sebagai warga, yang kebetulan tinggal di kabupaten lebih miskin, akan merasa mendapat ketidakadilan.
Apakah pemerintah mau memperhatikan hal-hal bersifat “kejiwaan” semacam itu? Dari jauh seseorang yang sedang belajar berpolitik mungkin akan menjawab dengan suara lantang: “Makanya, pilih Bupati yang bener!” (T)