DULU, petani-petani kopi di desa saya, di Desa Munduk, Buleleng, Bali, hanya mengenal dua jenis kopi: kopi jawa dan kopi bali. Keduanya diterima sebagai pengkategorian satu-satunya.
Kopi jawa sebutan untuk robusta yang tumbuh ideal di dataran lebih rendah. Sedangkan kopi bali untuk jenis arabika yang (dulu) tersebar di sekujur punggung bukit lesung dan di beberapa titik kawasan hutan di sekitar Danau Tamblingan. Sederhana. Kebetulan pula hanya dua jenis itu adanya.
Tidak penting apa itu taksonomi (klasifikasi biologis mulai kingdom, familia sampai sub spesies). Bagi petani di desa saya, di dunia ini, pendek kata, hanya ada dua identitas kopi: kopi jawa dan kopi bali. Titik!
Dengan begitu adakah kedua jenis kopi yang saya sebut barusan itu spesies endemik? Pribumi? Galur murni? Spesies cikal bakal yang secara genetis tidak/belum mengalami mutasi sepanjang keberadaannya? Saya tidak yakin.
Pelan-pelan, identitas ‘kopi jawa’ dan ‘kopi bali’ kabur. Sekitar tigapuluh tahun terakhir bermunculan varian-varian baru. Varian yang secara kualitatif memiliki kelebihan-kelebihan.
Fisik lebih tahan terhadap hama dan penyakit, postur dan perakaran lebih kokoh, tandan lebih panjang, komposisi letak buah lebih rapat dan biji lebih besar.
Untuk arabika sebut saja S26, S28, gedur, polsa, kobra, kartika, dan lain sebagainya. Untuk robusta ada varian BP, BP 48, BP 56, sarinam, pelung, celsa, tugusari, dan lain sebagainya.
Belum termasuk kopi lanang dan kopi nongko yang baru dikenal belakangan, yang meskipun tidak semasyhur arabika atau robusta, yang ganjil secara ‘gender’, namun soal rasa tetap memiliki loyalis yang tak kalah militan.
Saya kira, varian-varian baru itu muncul bisa karena proses persilangan alami di alam, bisa pula oleh sebab tindakan rekayasa genetika atau teknik kultur jaringan di lab-lab biologi pertanian.
Kembali ke soal galur murni, yang di jagat manusia dipadankan secara semena-mena dengan kata ‘pribumi’. Spesies mana sebetulnya yang layak dilabeli cikal bakal, yang bergalur murni, yang pribumi?
Ketika identitas gen sudah terlanjur bercampurbaur — sesuatu yang berlangsung alamiah, niscaya dan terus-menerus — mustahil yang ‘murni’, yang otentik, yang pribumi itu diidentifikasi.
Jika kopi bali dan kopi jawa disebut kopi pribumi, bisakah varian-varian baru di desa saya itu disebut kopi peranakan, kopi keturunan? Saya tidak yakin juga.
Kenyataannya, hari ini petani-petani kopi di desa saya lebih fasih menyebut arabika atau robusta (lengkap dengan nama masing-masing variannya) ketimbang menyebut kopi bali atau kopi jawa yang berpuluh-puluh tahun dianggap pribumi serta diyakini sebagai anak kandung tanah sendiri.
Kopi bali dan kopi jawa ‘mati sebutan’ sebagai identitas dan dilupakan sebagai riwayat.
“What terrifies you most in purity,” I asked?
“Haste,” William answered.
— The Name of the Rose, Umberto Eco.