MANUSIA melahirkan tradisi untuk memenuhi hastratnya dalam memahami dan mengontrol rahasia alam. Kemudian, terlahirlah tradisi ritual Galungan di Bali. Sebuah tradisi yang memberikan pemahaman konsep rasa menjaga, keikhlasan, dan rasa bersyukur kepada alam Sang Pemberi Hidup. Lalu, berkembang sebagai hari perayaan terciptanya alam semesta jagat raya beserta semua isinya. Sampai akhirnya berkembang sebagai perayaan kemenangan kebaikan (dharma) melawan kejahatan (adharma) dengan melakukan persembahan pada Sang Pencipta.
Kisah kekalahan Mayadenawa pun diceritakan dari generasi kegenerasi sebagai kekalahan adharma. Lalu, bagaimana dengan semua isi alam semesta ini? Apakah sudah terjaga semua isi alam semesta jagat raya ini?
Jika isi alam semesta tak lagi ada, alam akan mempersembahkan kita sebagai persembahan pada Sang Kehancuran. Penjor-penjor hanya merunduk sedih tertancap pada tanah pertiwi yang gersang. Tanah yang terpasung pada adharma-nya manusia, tetapi tanpa disadari hal itu diyakini sebagai dharma. Sebab, dharma yang dicari selama ini hanya untuk menampik adharma yang disembunyikan.
Ah, berhenti dulu di sini. Kalau kata-kata itu terus dilanjutkan, kita akan terkesan hanya menggurui anak di setiap perayaan Galungan. Anak hanya mendengar rutinitas yang sama dalam dua kali setahun. Sepirit Galungan pun mulai terkikis dan hanya akan meninggalkan ritualnya saja.
Cerita Men Brayut
Oleh sebab itu, di hari raya Galungan, semestinya kita tidak melupakan kisah cerita Men Brayut. Men Brayut yang hidup tidak karuan karena melahirkan delapan belas anak. Namun, di sisi lain, justru Men Brayut dan suaminya mendapatkan pencerahan dharma-nya.
Menjelang hari Galungan, ketika Men Brayut terjaga oleh rasa gatal di seluruh tubuh dan kutu-kutu yang menggerayangi kepalanya, ia perlahan keluar kamar. Sampai di halaman, Men Brayut melihat sesajen. Sesajen yang sudah dipersiapkan oleh suaminya sejak kemarin untuk dipersembahkan kepada Sang Pencipta di hari Galungan.
Men Brayut mengambil sesajen itu dan membawanya ke dapur, tetapi melarang ke enam belas anaknya ikut masuk. Saat itu anaknya berjumlah 17 dan Men Brayut sedang hamil ke-18. Dengan perut hamil besar, Men Brayut menghabiskan sate calon, sate, dan iga goreng bersama anak bungsunya. Hanya anak bungsum sementara 16 anak lain anaknya merengek dan menangis.
Di luar dapur, sambil menangis, enam belas anaknya minta izin masuk dapur. Suaminya terkejut melihat keadaan anak-anaknya. Ia pun memaksa membuka pintu dapur, melabrak istrinya tetapi sang istri tetap asyik makan seolah tidak peduli.
Dengan penuh amarah, Men Brayut dicaci-maki oleh suaminya. “Jika diceraikan pun, siapa yang akan menerimamu? Tampang dan sikapmu kini sudah tidak karuan lagi,” ucap suami Men Brayut.
Usai makan sambil menyirih, Men Brayut membela diri. Maka terjadilah dialog panjang antara Men Brayut dan suaminya. Terjadilah saling menyalahkan antara Men Brayut dan suaminya. Mereka bersikukuh mempertahankan ego yang merasa paling dharma.
Namun, agak lama mereka seakan bertengkar, sampai kemudian dialog lebih banyak diisi percakapan mengenai kesadaran tentang hidup dan kehidupan.
“Dulu, saat muda, aku ahli memasak, ahli menenun bahkan mampu mengerjakan perkerjaan laki-laki dengan baik. Kini, aku tidak bisa melakukan semua itu. Sebab, aku harus melahirkan anak-anak dan tidak mungkin menggugurkannya,” kata Men Brayut dengan nada tinggi.
“Jadi, kau menuduh anak-anak itu yang menyebabkan keluarga kita terpuruk?” sergah suami Men Brayut.
“Siapa bilang seperti itu? Anak-anak itu anugerah. Seluruh kekuatan tenaga kita, taksu kita, bakat kita, di masa muda dulu, kini masuk ke tubuh dan jiwa anak-anak kita. Kita harus mengarahkan mereka agar tenaga, taksu dan bakat mereka dipergunakan dengan baik demi mencapai dharma,” jawab Men Brayut.
Mereka terdiam, merenung. Mereka kemudian menyadari telah memiliki anugerah luar biasa dengan kelahiran anak-anak yang kuat dan sehat di saat kondisi ekonominya terpuruk, di saat tenaga orang tuanya perlahan-lahan mengendur.
Usai pertengkaran itu, Men Brayut dan suaminya mulai bangkit memperbaiki diri dan sikap. Sekolah keluarga pun dibentuk dengan delapan belas murid. Mereka menjadi orangtua sekaligus guru terbaik bagi ke delapan belas anaknya. Mereka mencintai anak-anak yang sekaligus juga murid-murid mereka.
Mereka mulai menelusuri setiap bakat anak-anaknya walaupun mereka berdua tak memiliki kemampuan untuk menjadi pencari bakat yang baik. Tapi, mereka menjadi guru yang memahami gaya belajar anak-anaknya. Bakat anak-anaknya pun terasah dan berkembang dengan sangat menakjubkan.
Kini, anak-anak pasangan Men Brayut dan suaminya tumbuh cantik dan gagah. Anak-anak mereka menjadi anak cerdas, penuh tanggung jawab, dan bekerja dengan tekun sesuai bakat masing-masing. Perekonomian mereka pun bangkit dari keterpurukan. Para tetangga takjub melihat perubahan kuluarga Men Brayut. Keluarga yang dulunya tidak karuan, kini menjadi kuluarga yang sejahtera.
Ketika dharma keluarga dimenangkan, Men Brayut bersama suaminya mencari spirit keabadian dharma dengan jalan budhapaksa. Keduanya dengan sepenuh hati menyepi dan bertapa di bawah pohon kepuh dalam gua. Mereka pun menyatu dengan alam Sang Pemberi Hidup.
Bagaimana dengan Kita?
Itulah kisah pasangan Men Brayut dan suaminya yang memahami peran sebagai orangtua sekaligus guru bagi anak-anaknya sehingga mencapai jalan dharma. Mereka bukan keluarga yang hanya bisa tenggelam pada keterpurukan dan ratapan akibat melahirkan banyak anak, tetapi mengubah kondisi itu menjadi pondasi dasar yang kuat. Lengkaplah sudah kemenangan dharma, maka di hari raya Galungan berikutnya bukan sekadar menjadi sekadar seremonial kemenangan dharma.
Lalu, bagaimana dengan kita? Apa yang sebenarnya kita maknai di hari raya Galungan ini? Apakah hanya sekadar memperingati kemenangan dharma yang sesungguhnya dimenangkan oleh para leluhur kita atas anugerah Sang Pencipta? (T)