10 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Abrakadabra! Apakah Soekarno Langsung jadi Hebat? – Mendidik Anak Lewat Rupiah Baru

Yoyo RaharyobyYoyo Raharyo
February 2, 2018
inEsai

Net

16
SHARES

ORANG Indonesia, khususnya para penghuni dunia maya, memang cerewetnya minta ampun. Segala hal dikomentari dengan kemampuan analisis seadanya. Kalau disuruh menganalisis lebih dalam, bisa berujung emosi, mungkin karena “ususnya juga memang pendek”.

Ini berkebalikan dengan minat baca yang sangat menyedihkan. UNESCO tahun 2011 lalu sudah merilis, minat baca orang Indonesia hanya 0,001 alias dari 1000 orang hanya seorang saja yang memiliki minat baca. Ditambah hasil survei Central Connecticut StateUniversity, sebuah perguruan tinggi di Amerika Serikat, mengganjar Indonesia di ranking 60 dalam minat baca, dari 61 negara yang disurvei.

Memang, cerewet itu perlu. Sejak Orde Baru, memang kita terlalu banyak dilarang ini dan itu, termasuk dilarang cerewet. Bahkan, cerewet sedikit bisa dibilang subversif, dan bisa-bisa dikarungi tentara, salah satu mesin Orde Baru. Akibatnya, di kala tirani tumbang, kebebasan terbuka lebar, semua bisa bebas berekspresi. Salah satunua menyampaikan pendapat. Sayang, dengan minat baca yang minim, pendapat itu akan tampak begitu dangkal.

Contoh saja kebijakan Bank Indonesia menerbitkan pecahan uang baru Republik Indonesia akhir 2016 lalu. Semua bebas bergunjing. Ramainya bukan main. Dari di media sosial, hingga warung-warung kopi ngomongi sebelas pecahan rupiah terbaru. Tapi, sayang sekali, keriuhan itu hanya berkutat pada hal-hal yang tidak substantif. Misalnya, ada yang menjadi kompor bertanya mengapa banyak pahlawan yang kafir. Halo, hari gini masih omong kofar-kafir?. Mbok ya sadar, negeri ini didirikan bukan oleh segolongan orang saja. Melainkan dari berbagai suku, agama, ras dan antargolongan.

Mengenai logo BI juga ribut bukan main. Konon, katanya, mirip gambar palu arit, lambang partai komunis. Partai yang diharamjadahkan, meski tak kecil pula jasanya dalam memerdekakan republik ini. Padahal itu metode cetak rectoverso yaitu gambar saling isi. Bila dilihat biasa saja, terlihat tidak beraturan, sedang bila diterawang maka akan terlihat utuh. Menurut BI, ini sebagai cara pengamanan uang agar tak mudah dipalsu.

Dan yang tak kalah rusuh adalah ada pula yang memprotes mengapa pahlawan yang ini diganti dengan yang itu. Mengenai hal ini di Bali juga ikut virus latah. Mempertanyakan mengapa I Gusti Ngurah Rai, pahlawan asal Puri Carangsari, Desa Petang, yang muncul di pecahan Rp 50 ribu terdahulu diganti Djuanda Kartawidjaja di uang pecahan terbaru. Sedangkan, Mr. I Gusti Ketut Pudja, pahlawan asal Bali lainnya, yang pendatang baru, hanya muncul di pecahan Rp 1000. Dalam bentuk uang logam lagi.

Perdebatan seperti itu tidak penting-penting amat. Pun tak bermanfaat. Malah hanya menunjukkan betapa dungunya kita.

Soekarno dan Tokoh Pendahulunya

Kita patut bertanya, apakah dengan potret Sukarno pada uang pecahan Rp 100 ribu, lantas kita menganggap Putra Sang Fajar itu lebih hebat dari yang lain? Apakah lebih hebat dari Tan Malaka, misalnya, yang membuat risalah Massa Actie (Aksi Massa), yang di kemudian hari turut mempengaruhi pemikiran Sukarno? Atau Alimin, dkk yang turut melakukan pemberontakan bersenjata melawan penjajah Belanda di tahun 1926 yang turut mengilhami si Bung Besar mendirikan PNI? Mungkinkah lebih progresif dari Tirto Adhi Soeryo yang sekalipun hanya melawan menggunakan pena dan organisasi, yang ketika itu pena dan organisasi (secara historis) masih menjadi hal yang baru dan asing dalam membela sebangsanya?

Sukarno dan juga Hatta tidak ada apa-apanya, dan mungkin tak akan jadi apa-apa, bila tak ada pejuang-pejuang yang mendahuluinya. Dia tak akan menjadi radikal dan berpikiran maju begitu bila tak ada faktor-faktor eksternal yang ikut memupuk kesadarannya. Ya, Sukarno tak akan sekonyong-konyong menjadi radikal sekiranya hanya sekadar indekos di rumah juragan yang setiap hari menumpuk laba, dan tak ada persinggungan dengan literatur dan pergerakan progresif di luaran.

Kenyataannya, Soekarno indekos di rumah HOS Cokroaminoto, di Jalan Peneleh Surabaya. Rumahnya kaum pergerakan, yang menjadi tempat berdialektika para pejuang macam Semaoen, Darsono, Alimin, Tan Malaka, Musso, dan lainnya. Atau, apakah Sukarno akan menjadi presiden dan Hatta sebagai wakilnya seandainya tak ada anak-anak muda tukang kompor, macam Sukarni, DN Aidit, Wikana, Chaerul Saleh dan yang lain?

Singkatnya, Sukarno, termasuk Hatta dan pahlawan lainnya adalah konstruksi rumit dari hasil persinggungan banyak faktor. Dia tidak tiba-tiba muncul, seperti kun fayakun (jadi maka jadilah) atau abrakadabra laksana main sulap. Dia adalah produk gesekan dengan para pejuang yang mendahului maupun yang sezamannya, termasuk bahan bacaan (buku, koran, majalah) yang turut mempengaruhi pemikirannya. Dengan modal pemikiran, secara dialektik teraplikasikan dalam membaca dan menganalisa kondisi ekonomi, sosial, politik dan kultural yang dihadapi bangsanya di bawah penjajahan. Jadi, faktor-faktor itu tak terpisahkan. Saling menggenapi.

Walau demikian, kita juga patut jujur mengakui, Sukarno, dan para pahlawan yang mendahului atau mengikuti, adalah segelintir elemen termaju dalam perjuangan pembebasan nasional. Bahkan, tanpa para prajurit, buruh, tani, mahasiswa, pekerja kebudayaan, dan rakyat kebanyakan yang turut serta berjuang sesuai kemampuan dan kompetensi serta perannya, para pejuang yang diganjar dengan gelar pahlawan itu hanya akan menjadi “pengembara yang berteriak-teriak di tengah padang pasir”. Ini meminjam istilah Pramoedya Ananta Toer dalam roman Jejak Langkah (bagian tetralogi buru Bumi Manusia). Sebuah penggambaran betapa sulitnya dr. Wahidin Soedirohoesodo mengorganisir sebangsanya untuk diorganisasikan melawan keterbelakangan di tengah kemajuan bangsa-bangsa lain.

Sarana Pendidikan yang Menarik

Selalu ada hikmah dari polemik. Termasuk sinisme atas pecahan rupiah terbaru ini? Bagiku sendiri, uang rupiah terbaru maupun yang lama, yang memunculkan gambar para pahlawan adalah sebuah media edukasi. Bagi siapa saja, baik orang dewasa, dan lebih-lebih lagi untuk anak-anak. Uang pecahan dari yang terkecil Rp 100, hingga Rp 100 ribu, itu adalah sarana pendidikan yang menarik, yang paling dekat dengan dunia kita.

Ini teringat ketika Hari Pahlawan tahun lalu. Muncul pertanyaan dari anak-anak, apa itu pahlawan? Tidak mudah menjawab bila si penanya adalah anak TK. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pahlawan adalah “orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran; pejuang yang gagah berani”. Bisa saja pahlawan seperti yang dikatakan Lu Sun. “Biarlah aku jadi sapinya rakyat, yang makan rumput, tapi menghasilkan susu baginya; aku tundukkan kepala untuk menerima segala perintahnya, tapi pada musuh aku tak kenal menyerah!” (Pramoedya Ananta Toer, Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia, halaman 111: 2003). Memang, pengertian ini masih bisa diperdebatkan.

Kepada anak, jawaban atas pengertian pahlawan kadang tidak akan mencukupi. Butuh contoh untuk melengkapi. Bagi orang tua yang tak suka membaca, atau minimal mendengar, cerita-cerita pahlawan dan kepahlawannya, tentu ini menjadi masalah tersendiri. Apalagi, kepada anak, kepiawaian orang tua mendongeng amatlah penting, agar cerita tak kering. Syukurlah, hari ini ada internet yang memudahkan dalam beberapa hal, salah satunya pencarian dengan kata kunci nama-nama pahlawan.

Uang pecahan bergambar para pahlawan itu akan menjadi media edukasi sekiranya kita bisa menjelaskan siapa dia, dan nilai-nilai kepahlawanan seperti apa yang membuatnya menjadi pahlawan. Mulai dari uang Rp 100 ribu bergambar Sukarno dan Hatta, Djuanda Kartawidjaja di pecahan Rp 50 ribu, Sam Ratulangi di pecahan Rp 20 ribu, Rp 10 ribu bergambar Frans Kaisiepo, KH. Idham Chalid di uang Rp 5000, MH Thamrin di Rp 2000, Mr. I Gusti Ketut Pudja di pecahan logam Rp 1000, dan kertas Tjut Meutiah, TB Simatupang di pecahan Rp 500, dokter rakyat Tjipto Mangunkusumo di pecahan Rp 200, hingga Herman Johanes di pecahan terkecil Rp 100.

Bahkan, gambar orang utan di uang pecahan Rp 500 terdahulu pun masih bisa dijadikan media pendidikan, betapa pentingnya perlindungan dan pelestarian terhadap satwa endemik Indonesia, yang terancam punah ini.

Harapannya, dengan cerita kepahlawanan ini, anak-anak terinspirasi, memiliki mimpi, menjadi pahlawan-pahlawan bagi negara dan bangsa Indonesia di masa mendatang. Dan sudah barang tentu kita akhiri polemik remeh-temeh bin mubazir atas munculnya uang rupiah pecahan terbaru. (T)

Tags: pahlawanPendidikanSoekarnouang
Previous Post

Orasi Putu Wijaya: Kekalahan Sekali pun adalah Peluang Terbaik untuk Menang

Next Post

Identifikasi Lontar di Payangan dan Ubud: Membuka Ilmu yang Dianggap “Tenget”

Yoyo Raharyo

Yoyo Raharyo

Wartawan dan penulis esai yang belakangan berminat nulis fiksi yang diolah dari kisah-kisah nyata. Tinggal di Bali

Next Post

Identifikasi Lontar di Payangan dan Ubud: Membuka Ilmu yang Dianggap “Tenget”

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

    Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ulun Pangkung Menjadi Favorit: Penilaian Sensorik, Afektif, atau Intelektual?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • ”Married by Accident” Bukan Pernikahan Manis Cinderella

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Duel Sengit Covid-19 vs COVID-19 – [Tentang Bahasa]

    11 shares
    Share 11 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Mendaki Bukit Tapak, Menemukan Makam Wali Pitu di Puncak

by Arix Wahyudhi Jana Putra
May 9, 2025
0
Mendaki Bukit Tapak, Menemukan Makam Wali Pitu di Puncak

GERIMIS pagi itu menyambut kami. Dari Kampus Undiksha Singaraja sebagai titik kumpul, saya dan sahabat saya, Prayoga, berangkat dengan semangat...

Read more

Kreativitas dan Imajinasi: Dua Modal Utama Seorang Seniman

by Pitrus Puspito
May 9, 2025
0
Kreativitas dan Imajinasi: Dua Modal Utama Seorang Seniman

DALAM sebuah seminar yang diadakan Komunitas Salihara (2013) yang bertema “Seni Sebagai Peristiwa” memberi saya pemahaman mengenai dunia seni secara...

Read more

Deepfake Porno, Pemerkosaan Simbolik, dan Kejatuhan Etika Digital Kita

by Petrus Imam Prawoto Jati
May 9, 2025
0
Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

BEBERAPA hari ini, jagat digital Indonesia kembali gaduh. Bukan karena debat capres, bukan pula karena teori bumi datar kambuhan. Tapi...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

May 8, 2025
Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

May 7, 2025
Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

April 27, 2025
Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

April 23, 2025
Menghidupkan Warisan Leluhur, I Gusti Anom Gumanti Pimpin Tradisi Ngelawar di Banjar Temacun Kuta

Menghidupkan Warisan Leluhur, I Gusti Anom Gumanti Pimpin Tradisi Ngelawar di Banjar Temacun Kuta

April 22, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
“Jalan Suara”, Musikalisasi Puisi Yayasan Kesenian Sadewa Bali dan Komunitas Disabilitas Tunanetra
Panggung

“Jalan Suara”, Musikalisasi Puisi Yayasan Kesenian Sadewa Bali dan Komunitas Disabilitas Tunanetra

SEPERTI biasa, Heri Windi Anggara, pemusik yang selama ini tekun mengembangkan seni musikalisasi puisi atau musik puisi, tak pernah ragu...

by Nyoman Budarsana
May 6, 2025
Mengenang Perupa I Gusti Made Peredi dan Karya-karyanya yang Membingkai Zaman
Khas

Mengenang Perupa I Gusti Made Peredi dan Karya-karyanya yang Membingkai Zaman

TAK salah jika Pemerintah Kota Denpasar dan Pemerintah Provinsi Bali menganugerahkan penghargaan kepada Almarhum I Gusti Made Peredi, salah satu...

by Nyoman Budarsana
May 6, 2025
“Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng
Khas

“Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

DULU, pada setiap Manis Galungan (sehari setelah Hari Raya Galungan) atau Manis Kuningan (sehari setelah Hari Raya Kuningan) identik dengan...

by Komang Yudistia
May 6, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [14]: Ayam Kampus Bersimbah Darah

May 8, 2025
Perempuan di Mata Mak Kaeh | Cerpen Khairul A. El Maliky

Perempuan di Mata Mak Kaeh | Cerpen Khairul A. El Maliky

May 4, 2025
Puisi-puisi Gimien Artekjursi | Tentang Harimau Jawa

Puisi-puisi Gimien Artekjursi | Tentang Harimau Jawa

May 4, 2025
Poleng | Cerpen Sri Romdhoni Warta Kuncoro

Poleng | Cerpen Sri Romdhoni Warta Kuncoro

May 3, 2025
Puisi-puisi Muhammad Rafi’ Hanif | Kenang-Kenangan Seorang Mahasiswa

Puisi-puisi Muhammad Rafi’ Hanif | Kenang-Kenangan Seorang Mahasiswa

May 3, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co