DALAM skena musik bawah tanah di Bali, kota Singaraja memang tak terlalu masyur namanya. Berbeda ketika membicarakan jalan kreativitas seni lain seperti teater atau sastra. Ketika melihat dunia teater di Singaraja, kita bisa merasakan salah satu dominasi yang kuat Bali utara ketimbang daerah kabupaten lain di Bali. Ini bisa dilihat dari banyaknya kelompok teater, penulis-penulis muda dan penulis terkenal serta geliat kegiatan-kegiatan sejenisnya yang dimiliki Bali utara.
Tapi ketika membicarakan skena musik bawah tanah di Singaraja kita akan dihadapkan tanda tanya besar. Apakah penyebabnya? Apakah tidak ada anak muda yang menyukai jenis musik ini? Atau apa musik ini tidak dipandang pentingk untuk meladeni anak band dengan gaya sembrautan dengan lagu kritik seperti ini?
Selama ini seakan anak-anak muda Singaraja lebih menyukai musik mainstream, hobi mengikuti pasar dan tidak memandang perlu untuk ikut dalam kerja bersama berjejaring untuk membuat gigs sendiri. Anak mudanya lebih suka untuk ikut audisi band. Diatur sesuai kehendak penyelenggara. Jam main dan lain sebagainya diatur.
Jika tidak sesuai dengan rundown acara akan di-cancel hingga tidak adanya celah untuk menyuarakan pendapat lewat lagu atau musik itu sendiri. Bahkan yang paling menyedihkan adalah eksploitasi pihak penyelenggara yang memberlakukan tiket masuk untuk menonton band audisi berlomba berpacu menjadi yang terbaik versi juri.
Bermusik tak perlu “polisi” macam juri seperti itu. Berpendapat kalau musikmu jelek dan tidak layak hanya karena kamu teriak-teriak nggak jelas. Musik mempunyai perannya sendiri. Sebagai media penyampaian pesan yang ingin kamu sampaikan. Juri tidak bisa menilai itu bahkan hanya dalam waktu 15 menit.
Dominasi kuat kampus. Adanya kampus yang mendatangkan artis-artis termasyur membuat banyak mata sangat tertuju ke sana dan tidak melihat skena musik kolektif bawah tanah ini sebagai gerakan progressif dunia musik.
Beruntung, Sabtu (25/2) malam, saya berkesempatan untuk datang di acara “Singaraja Movement” di Matrix Coffee, Jalan WR Supratman Singaraja. Senang rasanya ketika gempuran-gempuran band mainstream kian menjamur, kini di Singaraja ada gebrakan baru dalam bermusik. Dengan cara kolektif.
Bertemakan “Stay Together” acara ini seolah-olah menjadi tempat bagi mereka untuk berkumpul, bermusik dan menyampaikan pesan tanpa adanya intervensi oleh pihak penyelenggara karena dianggap membangkang dan/subversif.
Band yang bergabung dalam acara itu semua dengan visi misi yang hampir sama. Berasal dari berbagai daerah seperti Tabanan, Jembrana, dan Gianyar mereka datang hanya dengan kesamaan semangat dan passion mereka dalam bermusik. Tidak ada bayaran untuk band yang main.
Jangankan bayaran main, nasi bungkus pun tak dapat apalagi uang bensin. Malahan band yang main yang membayarnya. Uang kolekan sebutannya, untuk keberlanjutan acara dan skena musik itu sendiri. Tak ada model penyelenggara acara musik macam kapitalis yang menarik keuntungan dari orang lain hanya untuk kerakusan individu/kelompoknya. Murni karena semangat dan kecintaan yang sama.
Tidak hanya musik, acara tersebut juga diramaikan dengan lapak baca berjenis zine. Diambil dari kebudayaan punk dengan tujuan edukasi dan sebagai bentuk media informasi independent, membuat acara tersebut semakin seru.
Terlepas dari itu semua, menurut saya acara itu merupakan bentuk pembuktian bahwa skena musik mereka masih hidup, menggeliat layaknya proses menuju bentuk yang lebih baik. Sudah dipandang perlu adanya dukungan-dukungan dari kawan sepemahaman yang memandang jalur ini adalah jalur asyik dalam berkarya dan berjejaring.
Terakhir. Bermusik tak melulu soal lagu cinta dan mendayu. Bukan karena kuping kita Melayu jadi lebih suka yang sendu-sendu. Melainkan bagaimana kita menggunakan musik itu sendiri sebagai alat dan media penyampaian pesan dan tujuan yang ingin disuarakan. Itu kenapa peran skena musik bawah tanah perlu dibangkitkan. (T)