PADA Pilkada serentak, 15 Februari 2017, orang Bali, terkhusus di Kabupaten Buleleng, silih-berganti mendengar nama Agus. Sebagian besar dari mereka sejak pagi ingin mendengar cerita sekaligus nasib dua Agus itu, yakni Agus dalam Pilkada DKI Jakarta, dan Agus dalam Pilkada Buleleng.
Di DKI, Agus Harimurti Yudhoyono menjadi calon Gubernur berpasangan dengan Sylviana Murni. Sementara di Buleleng, Agus Suradnyana menjadi calon bupati bergandengan dengan Nyoman Sutjidra.
Mungkin ada juga nama Agus menjadi pasangan calon dalam 99 Pilkada lain di seluruh Indonesia. Saya hanya tahu dua saja, ya, itu, Agus di Jakarta dan Agus di Buleleng. Saya tahu Agus di Buleleng karena saya memang tinggal di Buleleng.
Saya tahu Agus di Jakarta, ah, tak perlu sebenarnya saya sebut alasannya. Semua sudah tahu: karena berita Pilkada DKI (tentu juga dengan berita Agus) di media nasional selalu muncul, bukan hanya setiap hari, tapi mungkin setiap jam.
Pada hari yang sama, 15 Februari, saya, dan orang di Buleleng lainnya, menunggu cerita tentang dua Agus secara bersamaan. Tentu saja dengan doa dan harapan yang berbeda-beda. Ada doa agar Agus yang satu menang dan Agus yang lain kalah. Ada doa agar Agus yang satu kalah dan Agus yang lain menang.
Cerita yang dihasilkan Rabu sore yang cerah di Buleleng adalah cerita tentang nasib dua Agus yang bertolak belakang. Berdasar hasil quick count sejumlah lembaga survey yang diberitakan media online dan TV, Agus di Jakarta kalah cukup telak. Dari hasil sejumlah quick count diketahui Agus hanya mampu mengumpulkan suara di bawah 20 persen.
Nah, di Buleleng, dari hasil penghitungan sementara Agus menang sekitar 67 persen. Melalui media sosial, Agus di Buleleng pun sudah menyampaikan terima kasih kepada warga Buleleng karena sudah melakoni pesta demokrasi dengan aman dan damai.
Apa arti kekalahan Agus di Jakarta dan kemenangan Agus di Buleleng?
Jangan serius-seriuslah. Hasil berbeda yang dituai Agus di dua tempat itu tak memberi arti apa-apa. Tapi dua Pilkada di tempat berbeda itu sudah membuat emosi orang-orang Buleleng menjadi lebih berwarna.
Misalnya, ada orang Buleleng yang senang karena Agus di Buleleng memang, dan kesenangannya bertambah karena Agus di Jakarta kalah. Orang itu sudah pasti pendukung Agus dalam Pilkada Buleleng, dan pendukung Ahok atau Anies di Pilkada DKI.
Ada juga orang yang senang Agus di Buleleng memang, tapi dalam waktu bersamaan kecewa karena Agus di Jakarta kalah. Ada juga yang kecewa Agus menang di Buleleng, tapi dalam waktu bersamaan senang karena Agus di Jakarta kalah.
Ada juga yang apes sekali nasibnya. Orang itu kecewa karena Agus di Buleleng menang, dan kekecewaannya bertambah karena Agus di Jakarta kalah. Orang seperti ini hampir dipastikan pendukung dari lawan Agus di Buleleng sekaligus pendukung Agus di Jakarta.
Nah, Anda termasuk yang mana?
Jika dicari-cari artinya, sungguhlah Pilkada serentak ini sudah berhasil membuat dua daerah yang beda jarak, yakni Buleleng sebagai kabupaten terpinggir di Bali dan DKI sebagai ibukota negara, terhubung menjadi satu dalam gumpalan emosi orang Buleleng.
Lihatlah, bagaimana sejumlah orang Buleleng membuat status tentang nasib Agus di Jakarta dan dalam waktu yang tak lama orang itu menulis status tentang Agus di Buleleng. Seakan-akan orang itu mengikuti dua pilkada sekaligus dalam waktu yang hampir bersamaan.
Eh, ngomong-ngomong ternyata nama Agus itu pasaran ya. Bukan hanya di Bali tapi di Indonesia. Nama Agus yang berhasil jadi Bupati banyak. Ada Agus Riyanto yang pernah jadi Bupati Tegal periode 2004-2011. Ada Agus Fatchurrahman Bupati Sragen 2011-2015, ada Agus Hamdani Bupati Garut 2013-2014 dan ada Bupati Purworejo Agus Bastian.
Agus yang tak jadi apa-apa juga banyak he he he… (T)