MASIH tentang pilkada DKI Jakarta. Nyatanya seluruh pasangan calon yang bertarung di sana punya nilainya tersendiri. Punya lebih kurangnya masing-masing. Dari latar belakang profesi, tingkat pendidikan, hingga karakter yang membedakan dirinya dengan yang lain. Termasuk baju hitam, kotak-kotak, dan putih. Itu semua menjadi barang jualan.
Sekali lagi, pada musim pilkada, semua barang halal dijual. Baik untuk meningkatkan citra diri, atau menjatuhkan lawan. Halal.
Pasca debat calon gubernur DKI Jakarta putaran pertama, saya melihat ada fenomena cukup unik. Senyatanya fenomena itu bukan hal baru, karena sebenarnya sudah terjadi sejak beberapa tahun lalu di media sosial. Fenomena itu terjadi di Bali, di laman-laman media sosial orang-orang Bali.
Media sosial yang ruang lingkupnya mendunia, kali ini saya batasi hanya untuk mengamati orang (yang tinggal) di Bali. Tentu karena saya tidak sanggup membahas semua. Terlalu luas. Kalaupun dicoba, kesannya akan sangat dipaksakan.
Begini. Mayoritas pemilik akun media sosial yang terkoneksi dengan akun media sosial saya memerlihatkan simpati, atau lebih tepatnya kesukaan, atau dukungan, pada satu tokoh. Ahok.
Timeline media sosial saya hampir selalu dipenuhi oleh postingan positif tentang Ahok. Para pengguna media sosial itu memosting status, foto, juga tautan berita. Hingga yang paling ekstrim ada kalimat “kalau Ahok tidak disukai di Jakarta, bawa dia ke Bali untuk jadi Gubernur Bali”. Anehnya, itu dibuat sebagian besar oleh orang Bali. Lebih khususnya anak muda Bali.
Kenapa Ahok?
Pertanyaan yang kemudian muncul, kenapa Ahok? Kalau dilihat lebih jauh, dan jika ingin berbicara kultur, Ahok bukan orang Bali. Pun bukan Hindu. Nyatanya dia juga tidak memiliki kedekatan emosional dengan orang Bali, seperti layaknya Bung Karno dan keturunannya yang memang punya darah Bali.
Jika dirunut lebih ke belakang, fenomena ini diawali ketika pasangan Jokowi-Ahok menang pada pilkada DKI Jakarta tahun 2012. Jokowi-Ahok tampil dengan gaya yang berbeda. Mereka membuang jauh kesan pemimpin priyayi. Gaya blusukan mengesankan mereka dekat dengan rakyat. Bukan pemimpin yang berjarak, yang selama ini mungkin dirasakan sebagaian masyarakat.
Belum lagi persoalan lelang jabatan, KJP dan berbagai kartu lainnya yang menjadi terobosan kala itu. Hingga Jokowi menjadi presiden dan Ahok menjadi gubernur DKI Jakarta. Jokowi tetap disukai, pun dengan Ahok. Ditambah peran media yang santer memberitakan. Hingga membuat segala yang terjadi di Jakarta diketahui dengan baik oleh orang-orang di Bali.
Aneh memang, mereka bekerja di Jakarta tetapi kesan baik yang ditimbulkan sampai ke Bali. Mungkin ini menjadi ciri bahwa masyarakat Bali sudah bercara pandang lebih terbuka. Ya, walaupun itu belum semua. Sisanya masih sibuk ngiriang pisaga dan megarang warisan. Mungkin.
Terlepas dari sebagian orang Bali masih sibuk ngiriang pisaga dan megarang warisan, saya melihat fenomena ini menggambarkan orang Bali merasa memiliki Jakarta. Tentu sebagai Ibu Kota Negara. Atau lebih besar merasa memiliki Indonesia. Bagaimana tidak, fenomena ini belum pernah terjadi, sepengetahuan saya.
Orang Bali meluangkan waktu, walaupun sekadar untuk menuliskan status atau berbagi informasi positif tentang Ahok. Memang bukan indikator kesukaan yang signifikan. Namun setidaknya, ini mencirikan mereka peduli tentang orang, sesuatu, atau peristiwa. yang berada jauh di Jakarta sana.
Hal lain yang bisa jadi menyebabkan kesukaan pada Ahok yaitu faktor kebosanan. Kebosanan masyarakat tentang politikus korup yang digerakkan partai. Mereka mungkin melihat sosok berbeda pada diri Ahok. Sosok yang berani, jujur, dan bersih. Pun tidak mudah dikendalikan partai. Mereka mungkin juga merindukan adanya pemimpin seperti itu di Bali.
Beberapa kali Ahok terlibat duel argumen dengan DPRD DKI Jakarta. Dengan Haji Lulung atau M. Taufik. Yang paling mengemuka tentu soal UPS. Ahok menduga ada anggaran siluman pengadaan UPS untuk sekolah di DKI Jakarta. Faktanya, dia berani menentang. Bahkan menantang. Walau harus berhadapan dengan DPRD. Meginstruksikan bawahannya menghapus anggaran itu. Selain karena tidak tepat sasaran, baginya nominal anggarannya tidak masuk akal. Membengkak.
Ahok berani mengambil jalan berbeda. Di tengah banyak deal bawah meja antara legislatif dan eksekutif, dalam hal UPS Ahok menjelaskan bahwa dirinya bukan bagian dari sistem yang busuk itu. Sistem yang menjunjung hukum di atas meja, namun memancungnya ketika bersepakat di bawah meja.
Belum lagi ketika Ahok keluar dari Gerindra. Dia menampilkan sosok pemimpin milik rakyat. Bukan milik partai. Dia berani keluar dari partai yang mengusungnya ketika mencalonkan diri menjadi wakil gubernur, dulu. Alasannya, Ahok berseberangan dengan Gerindra.
Gerindra dulu mendukung pemilihan kepada daerah melalui DPRD. Ahok dengan keras menentang. Dan memang, ketika itu gerakan penolakan pemilihan kepala daerah oleh DPRD dari akar rumput cukup tinggi. Ahok berada pada rakyat. Baginya, tidak masalah dikatakan kutu loncat di partai, asalkan setia pada konstitusi. Wajar saja, dulu Ahok Golkar, kemudian Gerindra, lalu sekarang masih belum berpartai. Sepertinya belum.
Sikap itu menunjukkan dia ada di sana tidak untuk kepentingan partai. Jarang bukan? Iya, memang jarang orang seperti dia. Kalau dilihat di seluruh Indonesia, seorang kepala daerah yang berani menentang keputusan partai karena bertentangan dengan idealismenya tidak lebih dari hitungan jari tangan kiri. Atau mungkin jari itu terlalu banyak. Itu mungkin satu alasan orang Bali suka dia, karena di Bali juga tak banyak politikus seperti itu. Mungkin saja tidak ada.
Bali Berada di Tengah
Orang Bali sudah selesai dengan dirinya sendiri. Itu alasan berikutnya. Orang Bali boleh jadi masyarakat yang paling toleran di Indonesia. Bergaul ke barat, oke. Pun ketika berbaur ke timur, tidak masalah. Hal ini pernah di-iya-kan oleh seorang dosen saya. Dia mengatakan bahwa orang Bali mudah bergaul ke Indonesia barat ataupun timur. Ada kultur yang berbeda antara barat dan timur. Bali memilih ada di tengah. Merangkul-dirangkul keduanya.
Tidak pernah memandang agama Ahok. Orang Bali tetap menyukainya. Mungkin, bagi kebanyakan orang Bali, itu bukan masalah. Lebih tepatnya bukan hal yang patut dipermasalahakan. Semasih dia menjalankan tugas dengan baik, jujur, dan berpihak pada rakyat, prihal beda agama bukan perkara.
Sejarah mencatat, Bali pernah memiliki gubernur beragama Islam. Namanya Soekarmen. Aman, Bali tetap harmonis.
Berbagai macam terpaan kasus dari tuduhan korupsi hingga penistaan agama menyerang Ahok. Nyatanya kesukaan itu tetap ada. Tidak berkurang. Justru tumbuh. Banyak orang Bali mungkin saja beranggapan saat ini Ahok sedang diserang. Sedang dikriminalisasi. Mereka percaya bahwa Ahok tidak begitu. Tidak korup, juga tidak berniat menista agama. Hal ini bagi saya bukan kesukaan buta.
Orang Bali memilih figur untuk dipercaya. Orang Bali mengemas rasa percaya dalam bingkai rasionalitas. Contoh: ketika Jero Wacik (orang Bali) dipanggil KPK dan ditetapkan sebagai tersangka, hampir tidak ada dukungan untuknya. Yang banyak hanya cibiran, bahkan makian, di media sosial. Tentu respon itu tidak sembarang muncul. Saya percaya ada alasan kuat dan masuk akal yang mendasarinya.
Ahok dapat respon berbeda. Ketika dipanggil KPK tentang kasus RS Sumber Waras, dia tidak dicibir atau dimaki. Dia justru mendapat simpati. Bahkan dukungan. Hal yang persis sama juga terjadi ketika Ahok ditetapkan sebagai tersangka kasus penistaan agama. Dia tetap disukai.
Rasa dan rasio orang Bali terbuka. Hari ini, fenomena terbalik terjadi. Ketika orang yang dianggap baik disudutkan. Dikriminalisasi. Bukan antipati yang dia dapat, tapi simpati. Kalaupun suatu saat Ahok terbukti bersalah, prediksi saya, orang Bali masih akan menyukainya. Orang baik, seberapa kuatpun dikesankan buruk, dia akan tetap baik di mata hati rakyatnya.
Saya merasa mulai muncul ikatan emosional orang Bali dengan Ahok. Seperti orang Bali dengan Sukarno.
Semoga, ketika pemilihan gubernur Bali nanti, orang Bali juga akan merasa memiliki Bali-nya sendiri. Memilih calon lebih dari sekadar partai. Menggunakan rasa dan rasio menakar calon gubernurnya sendiri.
Saya sering berpikir, kalau saja ada calon gubernur Bali yang menyerupai Ahok. Ketegasan, kejujuran, terobosan, dan gaya memimpinnya. Dia pasti menang mudah. (T)
Baca juga:
# Agus Terburu-buru, Anies Khas Akademisi, Ahok Seperti Bukan Ahok