Mari kita berbicara kepulangan dan rumah melalui jalan yang baru, jalan yang lain, yang di dalamnya mengandung kerinduan sekaligus keraguan untuk menatap kepergian ke depan.
KANDUNGAN hakikat itulah yang dimaknai seorang perupa: Hanafi. Memaknai pulang dan rumah menjadi jauh lebih kontemplatif dan berlapis-lapis.
Kepulangan Hanafi kali ini bukan ke Purworejo, tempat ia lahir pada 5 Juli 1960 silam. Atau ke Yogyakarta tempat ia mengasah kemampuan seni rupanya. Kali ini, Hanafi pulang ke Bali.
Kepulangannya ditandai dengan pameran tunggal, Coming Home: Home By a New Road (Pulang Melalui Jalan Baru). Pameran itu berlangsung selama sekitar sebulan, 7 Januari hingga 7 Februari 2017 di Komaneka Fine Art Gallery-Ubud Bali.
“Pameran ini menjadi saksi kepulangan saya. Bagi saya, tidak bisa membabat akar karena akar adalah bagaimana sebuah pohon bisa tumbuh terus menerus,” tuturnya pada pembukaan pameran.
Lebih implisit, Hanafi menjadikan Galeri Komaneka sebagai akar sekaligus rumah yang tak bisa ia lupakan.
Di galeri pameran yang lebih mirip disebut “rumah” itu ia melahirkan anak-anak rohani yang memenuhi seluruh dinding ruang. Pada salah satu karya di ruang yang berdekatan dengan pintu masuk, ia menawarkan gagasan tanpa kanvas. Dinding yang luas dilukisnya dengan garis, cahaya dan warna bertuliskan “Coming Home”. Karya itulah yang langsung menyambut pengunjung dari pintu masuk.
Pada dinding lain, sebuah lukisan abstrak berjuluk “Indecisive#1” ia tempatkan bersandingan dengan ranjang besar, sementara di karya lukisan lain “Indecisive# 4” bersandingan dengan piano.
Dengan memanfaatkan benda-benda yang sebelumnya telah ada di Komaneka Galeri, ia seperti ingin menciptakan ruang untuk memberikan kehangatan dan kenyamanan serupa rumah sebagai ruang privat sekaligus ruang favorit. Ruang yang dirindukan untuk tempat pulang.
Di tengah galeri diletakkannya karya instalasi meja panjang dengan tumpukan sekitar 150 lukisan yang dilukisnya dengan pensil dan crayon di atas karton berukuran 18,5×15 cm. Berbeda dengan karya-karya lukisannya yang matang secara intuitif menurut kurator seni rupa asal Prancis Jean Coeteau, terdapat sisi abstrak yang memiliki gagasan intelektualitas yang begitu khas kentara di karya meja panjang itu. Meja panjang yang menjadi metafora “meja keluarga”, di mana ia tumbuh dengan “ayah dan ibu kesenian”.
Segala hal tentang pikirannya dalam kacamata ia memandang kesenian dimuat di meja ini seperti, tutur dia: “piring-piring keluarga yang belum dicuci”. Di sisi lain, karya ini sebagai daya ungkapnya untuk mengkritisi piring-piring seni rupa kontemporer yang bertumpuk dalam wacana dan medan pertarungan seni rupa. Pertarungan yang semakin riuh namun kehilangan makna esensialnya.
Pada meja panjang ini pula, Hanafi mempersilahkan seluruh pengunjung untuk membolak-balik karyanya seperti memperlakukan lukisan itu sebagai milik pengunjung sendiri.
Hakikat Pulang Pada Diri dan Ruang
Seringkali, percakapan pulang dan rumah menjadi dangkal ketika dimaknai hanya sebagai aktivitas keseharian – dan rumah dalam arti fisik, tempat berlindung – serta keberadaan keluarga di dalamnya.
Ketika pulang dan rumah ini dimaknai secara dangkal, terlihat pada gejala era modern masa kini terutama di kota-kota besar ketika banyak orang yang enggan pulang ke rumah masing-masing. Meskipun memiliki kemewahan rumah luar biasa atau apartemen dengan pemandangan cahaya kota. Mereka memilih ruang lain dan menjadikan keluarga sebagai sekumpulan manusia yang sama sekali tidak memberikan kenyamanan.
Maka kesejatian rumah yang sebetulnya rumah bukanlah hanya fisik. Rumah yang sesungguhnya, seperti yang diungkapkan Kahlil Gibran, adalah “Rumahmu adalah tubuhmu yang lebih luas”.
Lebih lanjut dapat dimaknai rumahmu adalah jiwamu, ke mana dan di manapun, ia sebenarnya begitu dekat. Ruang yang transenden inilah yang seringkali dijalani dengan keraguan ketika sang pemilik rumah itu asing dengan rumahnya sendiri -dan seperti yang menjadi konsep Hanafi- ia memilih kembali pulang pada sebuah rumah dalam arti ruang karya secara fisik (galeri) dan batin (intuitif).
Maka, pulangnya Hanafi dengan jalan yang baru terbagi atas, pertama, pulangnya Hanafi pada dirinya yang personal sebagai seniman dalam kontemplasi karyanya. Kedua, pulangnya Hanafi kembali ke Bali sebagai rumah tempat proses kreatif ketika awal menjadi seniman.
Pameran bertajuk “Coming Home” dilaksanakan sebagai momentum 20 tahun Komaneka Fine Art Gallery. Komaneka, putera dari pemilik museum Neka yang akrab disapa Bli Koman ini memanggil kembali para perupa terpilih yang pernah menitikkan sejarah pada awal berdirinya Komaneka Galeri dalam serangkaian pameran.
Hanafi adalah perupa ketiga setelah sebelumnya pameran “Coming Home” memamerkan karya-karya I Wayan Sujana Suklu dan Nyoman Sujana Kenyem.
“Saya memberi mereka tempat untuk mengingat kembali,” ungkap Koman.
Pameran ini juga menggunakan konsep tanpa kurator, dan menjadikan para perupa menjadi kurator bagi dirinya sendiri. ”Mereka itu sudah menjadi diri sendiri, jujur aja gak usah macam-macam dan berpikir yang aneh-aneh,” tuturnya.
Kilas Balik
Pulangnya Hanafi ke Komaneka Galeri dapat dirunut dengan mengkilas balik kedekatan Hanafi dan Koman yang di mulai sejak tahun 1997. Awal mulanya Koman tertarik melihat karya Hanfi dari sebuah katalog yang ditunjukkan oleh seorang kolektor. Koman lalu mendatangi Hanafi ke Depok yang pada saat itu belum sepenuhnya menjadi pelukis dan masih bekerja di bidang grafis.
Kedekatan mereka terus berlanjut hingga ketika Hanafi berkunjung ke Bali, ia diberikan tempat untuk tinggal di salah satu rumah Koman di Sayan-Ubud hingga lahirlah pameran “Keheningan Sayan (2001)”. Sejak itulah interaksi Hanafi dan Koman menjadi lebih kuat dan interaktif hingga berlanjut dengan beberapa pameran. “UR (you are) URBAN ROOM Project” (2004), “Saat Usia Lima Puluh” (2010) dan “Migrasi Kolong Meja #2” (2013).
“Pelukis yang saya pamerin harus punya hubungan ikatan emosionalnya, bukan hanya jual lukisan aja, tapi karena saya suka lukisannya,” jelas Koman.
Dan setelah 10 tahun kedekatan dengan Hanafi, ia memandang dengan sederhana bahwa karya Hanafi tak berbeda dengan kehidupan yang dijalani dengan berbagai dinamikanya namun memiliki inti komunikasi yang tetap sama.
Koman tidak lagi melihat karya Hanafi secara fisik, tidak mau memakai kacamata dan pendapat orang lain untuk melihat lukisannya karena ia tetap merasakan kenyamanan saat menikmati lukisannya, sekalipun bentuknya berbeda karena sudah menjadi keniscayaan bahwa setiap karya termasuk laju kehidupan senimannya tentu berbeda.
Hanafi yang telah melanglang buana berpameran di berbagai ruang, kini kembali pulang ke rumahnya untuk “mengendapkan” pengalaman-pengalaman proses berkeseniannya di Komaneka dan segala kenangan Hanafi di Bali. Bukan saja sebagai bentuk bangunan, tetapi rumah yang juga membuat hatinya nyaman dan kerasan. Sesuatu yang sudah menjadi ikatan kuat dalam dirinya. Karena dari situlah ia pernah menemukan jati diri keseniannya untuk kembali dengan jalan yang baru. (T)