JUMAT, 13 Januari 2017, menjadi hari yang cukup istimewa bagi negeri ini. Tapi ini bukan hari nasional, bukan juga hari demo besar-besaran seperti 4/11, 25/11 atau 2/12. Dan tentunya bukan hari libur yang biasanya menggembirakan bagi semua orang.
Hari itu adalah hari dilaksanakannya debat resmi pertama antarpasangan calon Gubernur DKI Jakarta. Kalian pasti sudah nonton.
Hari itu, sejak hari-hari sebelumnya, dinanti-nantikan seperti menantikan satu tontonan besar yang tak akan pernah ada lagi di dunia ini. Hari itu adalah panggung adu visi-misi dan argumentasi pasangan calon Gubernur DKI Jakarta yang akan mempengaruhi tingkat elektabilitas, dukungan, dan juga mempengaruhi serta menarik dukungan para swing voters.
Hari itu juga dinanti-nanti bukan hanya oleh warga ber-KTP Jakarta tapi oleh hampir seluruh warga Indonesia. Karena hari itu seakan-akan warga melihat satu episode dari drama bersambung Pilkada DKI Jakarta yang “diputar” sejak beberapa bulan lalu, dan entah kapan akan berakhir.
Drama itu menjadi perhatian warga melalui berbagai media karena tentu kita tidak lupa bahwa di penghujung tahun 2016 lalu, Indonesia digemparkan dengan kasus penistaan agama oleh salah satu calon gubernur DKI Jakarta. Lalu ada demo, ada tokoh ditangkap karena kasus makar.
Ditambah dinamika lain, maka lengkaplah drama bersambung Pilkada DKI jadi tontonan warga Indonesia. Salah satu episode adalah debat pasangan calon Gubernur yang disiarkan TV nasional.
Tapi di balik perhatian yang begitu besar terhadap proses demokrasi di Jakarta dari seluruh rakyat Indonesia, saya merasakan ada yang terlupakan. Kita dan saya khususnya lupa bahwa Pilkada 15 Februari 2017 itu bukan cuma di Jakarta. Saat semua orang membicarakan Pilkada DKI, saya bertanya-tanya apakah kita sudah mendapatkan informasi yang cukup kalau daerah kita juga akan ada pesta demokrasi yang sama?
Di saat warga Indonesia dari Sabang sampai Merauke ikut berkomentar tentang visi dan misi pasangan calon dalam debat itu, sudahkah kita ingat menguji visi-misi calon Gubernur, Bupati, atau Walikota kita sendiri? Jangan-jangan kita, kalian atau kamu, tak tahu ada Pilkada di daerahmu? Atau jika pun tahu, jangan-jangan tak tahu siapa calon bupati atau calon gubernur di daerahmu?
Tahun 2017 ini ada 7 provinsi, 76 kabupaten, 18 kota, dan totalnya 101 daerah di Indonesia akan melaksanakan Pilkada secara serentak tanggal 15 Februari ini. Termasuk Buleleng (daerah kelahiran saya) yang merupakan satu-satunya kabupaten di Bali yang melaksanakan Pilkada bersamaan dengan Pilkada DKI.
Tapi orang, termasuk media sosial dan media massa, sepertinya hanya membicarakan Pilkada DKI. Begitu menarik ketika saya melihat di media sosial, orang luar Jakarta juga berkomentar tentang visi misi calon gubernur DKI bahkan dengan sengit dan marah.
Bayangkan saja, orang Buleleng berdebat dengan temannya yang juga tinggal di Buleleng tentang keunggulan calon gubernur DKI setelah menonton debat, bahkan menyatakan diri sebagai pendukung salah satunya. Apakah ini salah? Tentu saja tidak jika kita mendukung ide atau gagasan tokoh-tokoh itu, toh mereka sudah menjadi idola nasional.
Tapi akan menjadi kurang pas, ketika kita ribut membicarakan nasib daerah di provinsi sebelah yang jaraknya lebih dari 1.100 km itu. Padahal di hari yang sama kita akan sama-sama ke TPS untuk memilih kepala daerah kita masing-masing.
Eh, bicara soal Pilkada Buleleng, jangan-jangan kita tak tahu siapa saja calon bupatinya. Kalau pun sudah tahu, sudahkah kita berdebat tentang visi-misi calon kepala daerah kita masing-masing? Jujur, kalau saya, belum.
Maaf kalau saya menggunakan diri saya sendiri sebagai parameter. Sebagai mahasiswa, saya memiliki waktu terbatas untuk hadir dalam kegiatan-kegiatan di masyarakat, misalnya simakrama atau kampanye pasangan calon untuk mendengar visi-misinya.
Sebagian besar informasi saya dapatkan dari media. Sehingga ketika saya ingin tahu apa program dan visi misi calon bupati saya, saya berharap bisa menemukannya di media massa atau media sosial. Tetapi saat saya search di mesin pencari, cukup sulit ternyata menemukan konten itu hingga detik ini. Entah karena aturan Pilkada ataukah memang tidak dibuat oleh para calon, saya pun tidak mengerti. Tapi setidaknya saya sudah berusaha mencari tahu.
Mendapatkan informasi dari masyarakat sekitar pun bukan tanpa kelemahan, karena kadang sayup-sayup pembicaraan tentang para calon sangat sedikit yang berbicara program yang bisa saya mengerti sebagai orang yang belum terjun aktif dalam masyarakat. Istilahnya, saya belum tahu lapangan sehingga akan canggung untuk berkomentar di tengah pembicaraan sesepuh desa apalagi menyangkut paut bagaimana nasib perkembangan desa atau lingkungan saya di tangan para calon nantinya. Penggambaran yang diberikan sudah tidak netral lagi sehingga tidak ada ruang bagi kita untuk menilai dan menentukan pilihan sendiri.
Tentunya ini tidak aneh, karena esensi pemilihan adalah memberikan dukungan kepada satu calon dan tidak mendukung calon yang lain dengan berbagai pertimbangan kita masing-masing. Hal itu sah-sah saja dalam sebuah pesta demokrasi asalkan tanpa tekanan dan penyalahgunaan kekuasaan.
Pada akhirnya, Pilkada DKI Jakarta akan tetap menyedot perhatian publik seluruh Indonesia dan dapat dipastikan lembaga survey akan berlomba-lomba mengadakan proses hitung cepat yang akan ditayangkan tidak sedikit stasiun televisi. Pilkada DKI juga akan terus diperbincangkan di media sosial bahkan bisa sampai pada tahap ‘perang media’ dan hasilnya mungkin akan jadi trending topic.
Warga Indonesia yang tidak ber-KTP Jakarta pun mungkin akan ikut meramaikan dan berkomentar tentang perkembangan ibukota dengan pesta demokrasinya. Tapi, semoga kita tidak lupa bahwa di hari yang sama 100 daerah di Indonesia yang menjadi peserta Pilkada serentak juga berhak mendapat perhatian Indonesia, salah satunya bisa jadi daerah anda.
Semoga kita tidak hanya sibuk berkomentar tentang pemimpin dan nasib daerah yang nun jauh di sana, tapi lupa memperhatikan nasib dan calon pemimpin di rumah sendiri. Kita berharap yang terbaik untuk ibukota, tetapi jangan sampai setelah 15 Februari 2017, rakyat Jakarta tertawa dan bahagia bersama pemimpin barunya, sedangkan kita sendiri mendongkol dengan pemimpin sendiri karena kelalaian kita saat pemilihan.
Bertanyalah sekali lagi, sudahkah kita kenal calon pemimpin daerah kita masing-masing? Jika belum, mulailah pikirkan daerah masing-masing, walau tak ada yang melarang untuk melirik nasib Jakarta. Jakarta memang ibukota Indonesia, tapi Indonesia bukan hanya tentang Jakarta. (T)