KOTA Denpasar kini memiliki Badan Kreatif (Bekraf), sebuah lembaga resmi yang dikukuhkan Walikota IB Rai Dharma Wijaya Mantra, di Pendopo Inna Bali Hotel, Denpasar, Jumat, 30 Desember 2016. Dengan begitu, lembaga kreatif di tingkat kabupaten/kota, kini ada dua di Indonesia, setelah sebelumnya hanya Kota Bandung yang memilikinya.
Dari nama saja tahulah kita “species” apa lembaga itu. Tugasnya pasti tak jauh-jauh dari dunia kreatif, semisal industri fesyen, animasi, kerajinan, fotografi, video dan film, musik, seni pertunjukan, dan program komputer.
Saya pikir, dengan dibentuknya Bekraf di Denpasar, kabupaten lain termasuk Buleleng (tempat saya tinggal) dan Tabanan (kampung halaman saya) boleh iri dan “tersinggung”. Denpasar, sebagai ibukota Provinsi Bali dan pemerintahan kota satu-satunya di Bali, punya alasan penting kenapa badan itu dibentuk resmi dan formal. Kabupaten lain seharusnya juga punya alasan tersendiri untuk membentuknya, meski bukan sebagai pemerintahan kota.
Tujuan Bekraf Denpasar
Dasar pikiran pembentukan Bekraf tentu saja karena mendesaknya keinginan besar untuk menjadikan Denpasar sebagai Kota Kreatif dengan memberdayakan seluruh potensi kreatif warga di dalamnya. Apalagi, di ibukota Provinsi Bali itu belakangan banyak bermunculan potensi-potensi kreatif sekaligus ikut menggerakkan berbagai sektor ekonomi. Ya, seperti disebut tadi, mulai dari fesyen hingga program komputer.
Bocoran yang diperoleh menyebutkan secara rinci tujuan Bekraf Denpasar itu. Yakni, membangun budaya kreatif, ide kreatif, dengan memberikan pertimbangan kepada Walikota Denpasar untuk dapat dijabarkan ke dalam program-program pemerintah. Juga memberikan masukan dan pertimbangan atas ijin Walikota kepada SKPD terkait dalam penyusunan program-program dan kegiatan yang berbasis kreatif dan budaya lokal.
Selain itu, melakukan sosialisasi dan pemahaman kepada masyarakat bersama SKPD terkait, untuk akselerasi proses kreatif. Lalu, melakukan kerja sama dengan pihak-pihak terkait diluar Pemerintah Kota denpasar dalam rangka mendorong akselerasi proses kreatif di tengah masyarakat Kota Denpasar dan mengembangkan jejaring dan ikut mempromosikan produk-produk kreatif Kota Denpasar.
Sasaran Bekraf Denpasar adalah terwujudnya akselerasi proses kreatif berbasis budaya lokal yang sinergis antara pemerintah, swasta, perguruan tinggi dan masyarakat, guna menumbuhkan jiwa kewirausahaan (entrepreunership).
Untuk mencapai tujuan itu, usaha-usaha yang dilakukan Bekraf Denpasar terdiri dalam dua kelompok besar:
Kelompok Internal bekerja untuk mewujudkan dan mengembangkan kreativitas melalui pendidikan, pembelajaran, pembinaan, dan pelatihan. Selain itu juga membentuk dan membina masyarakat untuk kreatif dan inovatif berbasis budaya lokal guna memiliki daya saing, terutama generasi muda, serta mengusahakan dan menyelenggarakan kebutuhan fasilitas-fasilitas untuk teralisasinya hal-hal di atas.
Kelompok Eksternal bertugas menjalin hubungan kerja sama dengan berbagai pihak, baik di dalam maupun di luar negeri. Juga membangun jejaring untuk memperluas wawasan dan pengetahuan tentang kreatifitas, teknologi, dan produk-produk kreatif. Lalu, mengadakan dan mengikuti event-event baik di tingkat lokal, regional, nasional maupun internasional.
Peserta (participant) Bekraf Denpasar adalah insan kreatif, baik secara individu maupun komunitas, dari unsur pemuda, masyarakat, swasta, perguruan tinggi maupun pemerintah dan terlibat di dalam aktivitas Bekraf Denpasar.
Kesangsian dan Keyakinan
Begitu ada berita Kota Denpasar membentuk Badan Kreatif (Bekraf), tentu banyak juga yang menyangsikan, apakah lembaga semacam itu bisa membuat iklim kreativitas menjadi cerah. Kita tahu kreativitas sulit dilembagakan, orang-orang kreatif sulit “diatur” dan lebih kerap berjalan secara personal.
Tapi, jika dilihat dari tujuan dan sasaran yang sudah didedahkan di atas, tampaknya Bekraf bukan lembaga pengatur semata. Ia justru bertugas membuat jalan untuk mewujudkan terjadinya akselerasi proses kreatif melalui sinergi dengan pemerintah, swasta, perguruan tinggi dan masyarakat.
Apalagi jika dilihat pengurusnya yang memang dikenal sebagai orang-orang professional dan tentu saja kreatif. Saya kenal beberapa orang, misalnya Maria Ekaristi (sekretaris), Arief Budiman (Kepala Bidang Riset Edukasi & Pengembangan) dan A. A. Gede Rai Putra Bawantara (Kepala Bidang Data, Infrastruktur, dan Humas).
Maria Ekaristi dan Bawantara dikenal sebagai penggagas Denpasar Film Festival (DFF) dan Arief Budiman pendiri Matamera Communication yang dikenal sebagai penggagas banyak acara kreatif di Denpasar. Orang-orang ini juga kerap menyebarkan pengaruh kreatif ke daerah lain di Bali maupun di Indonesia.
Secara subyektif saya punya keyakinan jika Bekraf ini akan berjalan sesuai dengan tujuan dan sasarannya, setidaknya lembaga ini bisa menciptakan kegairahan orang kreatif untuk tetap berada di jalur kreativitas. Orang-orang yang saya kenal itu saya yakin akan berjuang sekuat daya kreatifnya untuk menjadi Bekraf bukan sekadar lembaga administratif yang mati gaya, tapi membuat lembaga itu punya roh dan jiwa untuk menghidupkan dunia yang sudah mereka kenal sejak lama.
Berandai Bekraf ini Sukses
Jadi, berandailah Bekraf ini sukses. Jika tak sukses atau gagal mencapai tujuan dan sasarannya, lembaga ini paling-paling bubar. Tapi dunia kreatif tak akan pernah mati. Tapi pertanyaan yang saya pikirkan adalah bagaimana kalau Bekraf ini sukses?
Sebagai orang yang tinggal di pinggiran Bali, artinya bukan di Denpasar, saya agak “cemas” juga jika Bekraf ini sukses. Bolehlah “kecemasan” saya dianggap sebagai “kecemasan” orang pinggiran yang rendah diri dan introvert. (Kata cemas dan kecemasan sengaja diisi tanda kutip agar kata itu tak melulu diartikan sebagai kata negatif)
Saya “cemas”, jika Bekraf Denpasar sukses, anak-anak muda kreatif yang tinggal di kabupaten-kabupaten lain di Bali akan pindah ke Denpasar demi bisa mengembangkan daya dan upaya kreatifnya. Pemusik, desainer, pembuat film, dan sejenisnya, yang berasal dari daerah di luar Denpasar akan bermimpi untuk tinggal di Denpasar.
Jika ini terjadi, Denpasar bisa menjadi overkreatif (mudah-mudahan istilah ini bisa dipahami), sebaliknya kabupaten-kabupaten akan kesepian. Seperti yang terjadi ketika era 70-an, di mana Jakarta diserbu pemusik, pembuat film, aktor dan penyanyi. Seakan-akan, dulu, orang tak bisa main musik, tak bisa nyanyi, tak bisa main film, jika tak hidup di Jakarta.
“Kecemasan” saya mungkin berlebihan dan terkesan ngae-ngae. Maklumlah orang pinggiran. Tapi, sesungguhnya saya punya harapan besar agar orang-orang kreatif (terutama anak-anak muda) bisa tinggal menyebar di seluruh Bali, agar lampu-lampu ide bisa menyala dari tempat yang paling pencil.
Kabupaten Lain Boleh Iri
Dengan “kecemasan” seperti itu, saya berharap kabupaten-kabupaten lain punya rasa iri dan ikut membentuk lembaga serupa. Jika perlu, bentuk secepatnya, jangan menunggu Bekraf Denpasar sukses dulu, baru kemudian diikuti dan ditiru. Sebab sejumlah kabupaten lain juga punya potensi-potensi kreatif yang besar bahkan sangat khas.
Buleleng misalnya. Saya amati beberapa tahun belakangan mulai diisi oleh pelaku kreatif pulang kampung, artinya mereka sempat tinggal di kota-kota besar lalu pulang membangun dunia kreatif di daerah kelahiran. Semisal pemusik Gede Kurniawan yang sempat bolak-balik Denpasar-Jakart dan kini membangun kantong kreatif di daerah Pantai Penimbangan.
Atau sebut juga Putu Kusuma Wijaya, pembuat film yang pernah mukim di Jakarta dan menghasilkan banyak film-film populer. Kini ia pulang kampung dan membangun tempat pemutaran film “Sang Karsa” di kawasan Lovina. Bahkan jauh-jauh tahun sebelumnya, Putu Satria Kusuma, pulang dari Denpasar ke Buleleng, kemudian membangun komunitas pertunjukan teater.
Buleleng juga termasuk satu daerah yang memiliki riwayat kreativitas lumayan panjang. Produksi film pertama di Bali dipercaya terjadi di Buleleng dengan kreator Anak Agung Panji Tisna dan Anak Agung Ngurah Sentanu. Panji Tisna juga penulis novel modern pertama di Bali yang sezaman sastrawan angkatan Pujangga Baru lain semacam Sutan Takdir Alisyahbana.
Bagaimana dengan Tabanan? Kabupaten lumbung beras ini (jika sebutan ini masih layak) juga sebaiknya “iri” dan layak membentuk badan kreatif. Banyak teman-teman kreatif saya yang dulu “berjualan” di Denpasar sudah mulai membuka “warung kreatif” di daerah kelahirannya. Sejumlah komunitas kreatif juga ada. Sebut misalnya Talov (Tabanan Lover) yang pernah beberapa kali melakukan kegiatan kreatif di Taman Kota.
Meski sebagai daerah agraris yang terkesan “cinta damai” dalam berkarya, namun banyak orang Tabanan memiliki lompatan kreatif yang bisa dibilang ekstrem. Sebut saja Putu Wijaya (sastrawan), Nyoman Nuarta (pematung) dan Made Wianta (pelukis). Sayangnya, ketiga kreator itu tinggal di luar Tabanan.
Kabupaten lain, seperti Gianyar dan Jembarana, juga punya potensi besar untuk mengembangkan dunia kreatif. Itu bisa dilihat begitu banyak kreator kreatif muncul di daerah itu.
Sejauh ini, potensi-potensi itu bergerak sendiri dan digerakkan secara personal. Dinas-dinas milik pemerintah sebelumnya seakan tak memiliki semacam job description untuk menggerakkan orang-orang kreatif di daerahnya.
Dinas perindustrian seakan hanya mengurus pedagang semata, seakan tak memiliki tugas untuk merangsang suburnya iklim penciptaan desain dan bentuk-bentuk baru. Akibatnya, barang kerajinan diproduksi besar-besaran tapi sulit dipasarkan karena bentuknya begitu-begitu saja.
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata seakan memandang kesenian dan kebudayaan dalam bentuk seni tradisional yang sudah ada sejak zaman dulu kala. Ketika muncul produk-produk kesenian baru, seperti film dan teater modern, dinas itu kebingungan memasukkan dalam program kerja karena tak paham masuk katagori apakah produk film dan teater modern itu.
Mungkin itu penyebabnya penghargaan Darma Kusuma atau Wija Kusuma jarang (mungkin tak pernah sama sekali) menghampiri orang-orang film, desainer, sastrawan modern, apalagi programmer computer.
Jadi, untuk pikiran saya yang sederhana itu, bolehlah kabupten lain iri dengan adanya Badan Kreatif di Denpasar. Iri dulu sebelum menyesal kemudian. Iri dulu, sebelum daerah lain terlalu maju melangkah dan kita sulit mengejarnya. (T)