MARILAH kita hubungkan fenomena “Om Telolet Om” dengan pariwisata Buleleng, Bali Utara, dan banjir yang kerap terjadi di sejumlah wilayah, seperti di kawasan Pancasari.
Apakah fenomena itu memang berhubungan? Ya, marilah kita hubung-hubungkan.
Dulu, selalu ada wacana, semacam keluhan, yang dihembuskan oleh sejumlah tokoh bahkan oleh pejabat di daerah ini. Bahwa, pariwisata Buleleng tidak berkembang, karena wilayah itu tak dilewati bus besar yang mengangkut rombongan turis, domestik maupun mancanegara.
Bus hanya lalu-lalang di wilayah Bali bagian selatan. Jika pun ada bus yang lewat di wilayah utara, ya, mereka hanya lewat saja. Jika berhenti, paling hanya berlabuh kencing atau berhenti karena ada penumpangnya yang mabuk darat. Jarang turun untuk belanja atau beli oleh-oleh, karena duit bekal mereka sudah habis di kawasan Joger, Luwus, dan di Bedugul.
Maka, gencarlah pejabat di Buleleng mengusulkan agar bus-bus yang mengangkut turis domestik dari luar Bali, terutama dari Jawa, dialihkan jalurnya. Bila perlu, begitu masuk Gilimanuk, bus dialihkan belok kiri di wilayah Cekik, Jembrana. Lalu bus menyusur pantai utara (pantura) Bali, masuk Pemuteran, lalu Lovina, kemudian Singaraja, baru kemudian belok kanan menuju Bedugul untuk diteruskan ke Bali bagian selatan.
Bupati Buleleng Putu Agus Suradnyana dalam serasehan yang digelar Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Bali di Lovina, September tahun 2013, mengatakan pariwisata Buleleng terpuruk karena dihadapkan pada sejumlah persoalan. Misalnya Buleleng hanya bisa menikmati kedatangan tamu selama sekitar 2,5 bulan. Sementara selama 9,5 bulan hotel dan restoran sepi.
Untuk itulah ia terus berjuang ke sejumlah pihak di Provinsi Bali untuk menetapkan jalur bus pariwisata dari Gilimanuk melawati jalur pantura. Jika jalur bus dialihkan ke jalur pantura, ia yakin pariwisata Buleleng yang terpuruk bisa bangkit kembali.
Usul itu rupanya diakomodasi. Sejak dua tahun lalu, bus-bus besar yang mengangkut turis domestik, terutama rombongan pelajar dan mahasiswa, mulai masuk ke jalur pantura. Hanya saja, bus itu bukan masuk lewat pantura, melainkan pulang lewat pantura.
Begitu turun dari kapal di Gilimanuk bus tetap lempeng di jalur selatan menuju Tanah Lot, Kuta, Denpasar dan sekitarnya. Setelah turisnya puas, baru pulang melewati jalur Denpasar-Bedugul-Singaraja. Seperti biasa, mereka singgah di Joger, Bedugul, lalu ke Singaraja. Dari Singaraja, bus melewati pantura untuk balik ke Jawa.
Jika dulu, turis lokal itu menghabiskan bekal di Joger dan Bedugul, kini tampaknya mereka mulai menyisakan bekal untuk dibelanjakan di Bali utara. Ini karena bos kita, Cok Krisna, sudah membangun pasar oleh-oleh, tempat makan, dan arena permainan di wilayah pantura, tepatnya di Temukus.
Jadi, sejak itu juga sebenarnya telolet sudah terdengar di jalur rumit Denpasar-Singaraja dan di jalur pantura Bali. Sejak sekitar dua tahun lalu, sopir bus sudah sangat kerap membunyikan klakson uniknya itu, meski tak ada anak-anak bergerombol sambil meneriakkan “Om Telolet Om” di tepi jalan.
Jalur yang berliku, turun-naik yang ekstrem dan belokan yang tak terduga, di jalur Bedugul-Singaraja, membuat si sopir memang harus berkali-kali membunyikan “telolet” meski tak ada permintaan dari anak-anak iseng tepi jalan.
Jika Anda sedang mendakikan mobil di jalur itu, dan tiba-tiba terdengar telolet di balik tebing di satu belokan, saya yakin Anda akan dengan cepat menurunkan gas, over ke gigi rendah, dan menepikan mobil. Telolet seakan jadi tanda bahwa tikungan itu akan sepenuhnya dikuasai bus dengan badan yang lebar. Telolet, di jalur itu, adalah tanda bahwa yang kecil sebaiknya bersabar.
Sabar juga berlaku bagi mobil yang berada di belakang bus, apalagi di belakang lima bus yang bergerak beriringan. Jadi, telolet, adalah tanda bahwa yang di belakang juga sebaiknya sabar. Jadi, sekali lagi, telolet bukan barang baru di jalur Denpasar-Singaraja dan jalur pantura Bali.
Dengan demikian, kini, ketika dunia dilanda demam “Om Telolet Om”, demam itu sampai juga di jalur itu. Di sejumlah tepi jalan di kawasan Bedugul, Pancasari, Singaraja, Lovina, Seririt, hingga Gerokgak, anak-anak dan orang dewasa, ikut-ikutan meniru trend: berdiri di tepi jalan dan ketika bus datang mereka berteriak “Om Telolet Om” sembari mereka ikut bergoyang. Bayangkan jika tak ada bus lewat di jalur itu, tentu anak-anak tak bisa ikut-ikutan teriak di tepi jalan.
Sayangnya, ketika demam telolet sedang panas-panasnya, eh, terjadi banjir di Pancasari dan kawasan Bedugul. Ancaman banjir juga kerap terjadi di jalur pantura, seperti di Seririt, Penyabangan dan Pemuteran. Di Pancasari, bahkan terjadi banjir parah, Rabu 21 Desember malam hingga Kamis 22 besoknya. Jangankan bus besar, mobil ramping pun tak bisa lewat di jalur itu.
Saya lihat, teman-teman wartawan yang liputan di kawasan banjir mengunggah video di facebook. Di sela cari berita, foto dan gambar video, mereka tampak ikut mengacungkan tangan meminta telolet ke arah bus yang lewat di atas aspal berlumpur bekas banjir. Si sopir bus tentu bermurah hati, dan telolet pun terdengar.
Tapi suara telolet terdengar aneh, seperti suara cemas dan suara lelah si sopir bus. Si sopir yang cemas dihadang banjir dan lelah dihimpit macet total. Apalagi setelah itu ia akan membawa bus dengan super hati-hati di jalur turunan berkelok menuju Singaraja. Mungkin dalam hati, si sopir berbisik, “Ya, Tuhan, mudah-mudahan hanya sekali ini saja gue bunyikan telolet di jalur ini.”
Jadi, intinya, jika ingin terus-terusan mendengar telolet di jalur Denpasar-Singaraja dan jalur pantura, dan jika ingin anak-anak selalu bisa meneriakkan “Om Telolet Om” di tepi jalan itu, maka siapa pun yang berwenang harus mengatasi banjir di jalur rumit itu, terutama di jalur banjir langganan seperti Pancasari, Lovina, Seririt, Penyabangan dan Pemuteran.
Kalau banjir berulang-ulang itu tak segera diatasi, maka jangan salahkan sopir bus jika telolet tak akan terdengar lagi di jalau-jalur pariwisata di Bali Utara. Dan teriakan “Om Telolet Om” tak terdengar juga di tepi jalan.
Jika telolet tak terdengar lagi, ya, siap-siaplah pariwisata Bali Utara gulung tikar. (T)