Mahasiswa, kau ingin jadi apa? Pengacara, untuk mempertahankan kaum kaya, yang secara inheren tidak adil? Dokter, untuk menjaga kesehatan kaum kaya, dan menganjurkan makanan yang sehat, udara yang baik, dan waktu istirahat kepada mereka yang memangsa kaum miskin? Arsitek, untuk membangun rumah yang nyaman untuk tuan tanah? Lihatlah sekelilingmu dan periksa hati nuranimu. Apa kau tidak mengerti bahwa tugasmu adalah sangat berbeda: untuk bersekutu dengan kaum tertindas, dan bekerja untuk menghancurkan sistem yang kejam?
(Victor Serge, Bolshevik)
BANYAK mahasiswa tidak mengerti hakaket seorang mahasiswa. Mereka hanya bangga mendapatkan sebutan mahasiswa. Secara sederhana mereka memaknai dirinya sebagai mahasiswa, sebagai wujud transformasi diri dari seorang siswa menjadi seorang mahasiswa.
Selain itu kebanyakan seorang mahasiswa hanya berfikir bagaimana lulus secara cepat tanpa tahu bagaimana berproses menjadi agent of change dan agent of control sebagai tonggak perubahan suatu bangsa.
Mahasiswa menurut Knopfemacher (dalam Suwono, 1978) merupakan insan-insan calon sarjana yang dalam keterlibatannya dengan perguruan tinggi, dididik dan diharapkan menjadi calon-calon intelektual.
Jadi dapat kita artikan bahwa Mahasiswa adalah status yang disandang oleh seseorang karena hubungannya dengan perguruan tinggi yang diharapkan dapat menjadi calon-calon intelektual.
Namun fakta sosial yang ada sekarang di mana seorang mahasiswa hanya mengejar IP (indeks prestasi) yang tinggi, karena IP baginya adalah candu. Seharusnya mereka sadar kampus berbeda dengan SD di mana yang mendapat nilai tertinggi selalu mendapatkan pujian. Sudah banyak kepercayaan bahwa IP yang tinggi tidak menjamin segalanya.
Apa yang seharusnya dilakukan seorang mahasiswa? Pergi ke kampus selalu tepat waktu atau bergelut dengan buku? Seorang mahasiswa harus mempunyai idealisme di mana berani memprotes aparat yang korup, menentang keputusan yang tidak adil serta membangkang pada kebijakan yang merugikan, dan mempunyai semangat untuk mencurigai kepalsuan.
Terlalu banyak mahasiswa yang tidak menyadari siapa dirinya. Mereka hanya beranggapan kuliah hanya dijadikan alat untuk mendapatkan gelar dan berharap mendapatkan pekerjaan dan menjadi jutawan. Jika kita belajar kepada sejarah dalam peristiwa Trisakti 1998, kita tahu negeri ini pernah “dikuasai” oleh mahasiswa karena mereka menganggap permerintahan saat itu sudah timpang dan tidak memberikan keadilan serta kesejateraan kepada rakyat.
Di mana wajah-wajah mahasiswa kritis? Sekali lagi jangan mau ditipu propaganda, yang bilang kiri itu atheis, yang mengatakan kiri itu bahaya. Mahasiswa harus lebih peka terhadap fenomena sosial yang ada, berani mendobrak tatanan sosial yang menindas dan meruntuhkan tembok kapitalisme yang mencekik rakyat kecil.
Seorang mahasiswa harus lepas dari keadilan yang berbentuk kebohongan, harus berani menjadi barisan terdepan mengawal pemerintahan seperti Tan Malaka yang memberi ilham tentang kemerdekaan 100% tanpa kompromi, Soekarno meneguhkan budi hutang bangsa pada kaum marhein dan Semaoen meneguhkan hikayat kaum terpelajar yang menolak berhamba pada kaum feodal.
Haruskah suara mahasiswa terserak di jalanan? Bukan merupakan suatu hal yang aneh jika terdapat mahasiswa yang berdemostrasi sebagai bentuk protesnya terhadap pemerintah, dengan cara membakar ban bekas, memblokade jalan raya. Bahkan selalu anarkis. Mereka melakukan hal itu sebagai bentuk rasa kekecewaannya karena aspirasinya tidak didengar.
Namun ada hal yang lebih indah sebagai seorang mahasiswa, sebagai kaum akademis dan intelektual yaitu menulis. Menulis untuk apa? Sudah sepatutnya kita bisa bersikap kritis trehadap segala kebijakan pemerintahan yang dirasa tidak berpihak untuk kedaulatan rakyat, kita bisa bersuara dengan pena. Misalnya menulis petisi, artikel, bahkan dalam bentuk karya sastra.
Sehingga jalanan bukan lagi menjadi ajang anarkisme yang cenderung merusak fasilitas umum serta mengganggu lingkungan sekitarnya. Mahasiswa harus lebih cerdas lagi membedah karakternya sendiri menjadi pribadi yang bermoral dan mempunyai semangat persatuan. Menjadi amunisi bangsa untuk meruntuhkan ketakutan demi menyudahi tatanan negeri yang usang. Hidup Mahasiswa! (T)