TEMANKU, guru honorer yang juga sama dengan diriku pernah mengeluh padaku. Saat itu, aku baru saja menjadi guru honorer juga. “Sebulan, cuma dapet gaji enam puluh ribu, bagaimana caranya hidup dengan uang enam puluh ribu?”
Aku kira dia berkata bohong untuk menakut-nakuti diriku, tetapi nyatanya tidak. Dia mengeluarkan slip pembayaran gajinya—potongan kertas kecil. Ketika aku lihat, astaga, memang benar.
Di sekolah tempatnya ngonor, dia cuma dapat lima jam, setiap jam dia dibayar Rp 15.000. Jadi kalau dapat lima jam, sebulan dia harusnya dapat gaji Rp 75.000, tetapi di slip gajinya tertera potongan uang suka duka Rp 15.000, maka jadilah gaji bersihnya Rp 60.000. Sungguh ironis dan menyedihkan.
“Rugi kuliah menghabiskan banyak uang, tapi ujung-ujungnya setelah tamat jadi guru honorer hanya dapat gaji enam puluh ribu,” dia nyeletuk lagi.
Aku tersenyum. Tersenyum getir lebih tepatnya. Untungnya temanku ini ngonor di dua sekolah, sorenya ngajar bimbel, dan dia juga merangkap kerja di BUMDES. Aku kira, bukan temanku saja yang mengalami nasib seperti ini. Masih banyak lagi, guru honorer yang bernasib sama dengan temanku.
Di jaman sekarang jadi guru honorer memang sulit. Mencari tempat ngonor saja sulitnya bukan main, dan kalau sudah dapat tempat ngonor gajinya pun tidak seberapa. Apalagi kalau ngonor di desa, karena uangnya tak ada1.
Menjadi guru honorer itu ibarat ngayah. Kalau tidak mau ngayah, terpaksa harus makan hati. Apalagi orang yang ingin sukses. Ya, kalau tempat ngonor-nya di sekolah swasta yang banyak uangnya, atau di sekolah yang ada di kota yang SPP-nya gede, masih mending.
Tapi bagaimana kalau ngonor di sekolah yang ada di desa, dan parahnya lagi siswanya mau sekolah saja sudah bersyukur apalagi sampai bisa membayar SPP?
Akan tetapi, guru ya tetap guru. Mau dia honorer atau PNS, tugasnya sama saja: membelajarkan siswa agar kelak menjadi orang berguna bagi bangsa dan negara. Selain membelajarkan siswa, juga membuat administrasi yang ribetnya bukan main dengan segala tuntutan ini itu.
Begitulah pada intinya orang ngayah. Tuntutannya luar biasa, tetapi tidak dapat apa-apa. Seperti kata orang-orang saleh, “Lakukanlah semua pekerjaanmu dengan tulus ikhlas, dan jangan sekali-kali mengaharapkan hasil, karena semua sudah diatur oleh Tuhan.”
Guru honorer yang berjiwa besar mungkin harus berpegangan pada kata-kata bijak itu, walaupun ketika makan harus berhutang di warung tetangga.
Bagi yang ingin sukses dan kaya, mungkin perlu berpikir beribu-ribu kali untuk menjadi guru honorer, dan mungkin lebih baik mengambil pekerjaan yang lain, berwirausaha misalnya, atau masuk politik saja dan nyalon jadi anggota DPR.
Jadi guru honorer itu terlalu istimewa. Butuh jiwa pengabdian yang besar, dan hanya orang-orang terpilih yang mampu bertahan, karena memang tak ada pilihan lain. Jadi orang istimewa tuntutannya sangat sulit. Maka jadilah orang yang materialistis kalau mau sukses dan kaya.
Kemarin, saat aku makan dengan temanku itu di kantin, dia nyeletuk lagi: “Semester depan mungkin aku akan berhenti jadi guru honorer, aku sudah capek.” Aku berharap dia berkata bohong. (T)
1) Kutipan puisi W.S. Rendra yang berjudul “Pesan Pencopet pada Pacarnya.”