SETIAP kali saya diminta mengisi pelatihan menulis, atau workshop sejenis itu, saya selalu menolak untuk membicarakan “teori”. Saya selalu bilang, “Saya akan datang jika saya diberi waktu cukup dan membiarkan saya mengajak peserta langsung menulis dan mendiskusikan hasil tulisan mereka.”
Saya memerlukan waktu “hanya” sehari untuk memberi keterampilan dasar.
Belajar menulis, bagi saya, tak ada bedanya dengan belajar bahasa. Belajar bahasa (asing) tidak akan efektif jika dilalui dengan “hanya” belajar teori dan grammar. Bagi saya, semua orang bisa menulis.
Sama seperti setiap orang bisa berbicara. “Jika engkau bisa bicara, seharusnya engkau bisa menulis. Engkau tinggal menuangkan ucapanmu menjadi tulisan. Selesai. Semudah itu.” Masalahnya, sering kali orang membiarkan ketakutannya, membiarkan keraguannya, membiarkan pikiran aneh-aneh (seperti mulai dari mana, kata apa yang dijadikan pembukaan, dst) menghambat.
Tulis saja. Just do it.
Nah, proses selanjutnya adalah editing. Pada titik inilah kita bisa berdiskusi. Pada proses inilah kita mengkritik tulisan kita sendiri. Pada proses inilah kita berdiskusi dengan tulisan kita. Pada proses inilah kita mempertimbangkan kata yang cocok atau kalimat yang yang harus diperbaiki.
Pada proses inilah kita merenungkan isi tulisan kita, apakah cukup logis, misalnya. Pada proses ini pula kita melongok penggunaan ungkapan-ungkapan yang sesuai, termasuk logika dan rasa berbahasa. Pada proses inilah kita lebih banyak memeriksa agar kita lebih cermat lagi menggunakan bahasa.
Pada titik inilah saya ingin menyorotkan tulisan ini.
Belakangan kita agak sering lupa dengan logika dan rasa berbahasa. Saya ingin mulai dengan ini: “Begitu bijaknya Kahlil Gibran bicara cinta di lembar-lembar catatan hidupnya. Salah satu petikan yang saya pinjam ini akan saya kembalikan dengan pembuktian dari apa yang kini terjadi.”
Begitulah penyair dan pemain teater sangat berbakat, Desi Nurani, membuka tulisannya “Pidato Cinta untuk Guru di Hari Guru” (tatkala.co 25 November 2016).
Perhatikanlah kalimat “Begitu bijaknya Kahlil Gibran …” Kata “bijak” dibubuhi “nya”, sebuah kata ganti kepunyaan untuk orang ketiga. Kita paham belaka, kata yang dibubuhi kata ganti kepunyaan harusnya berupa kata benda. Contoh: bukuku, rumahmu, tangannya, kebahagiaannya, kebijakannya. Kata “bijak” adalah kata sifat. Maka menjadi aneh jika ia dibubuhi “nya”.
Kita paham, fenomena ini dipengaruhi oleh kebiasaan menggunakan Bahasa Bali, seperti luwungne, bagusne, jegegne. Bahasa Jawa juga: ayune, gantenge, enake … Dalam kedua bahasa daerah itu, imbuhan “ne” dan “e” juga digunakan untuk kata ganti kepunyaan. Contoh: umahne, limanne, kupingne. Jawa: omahe, tangane, kupinge. Tidak sama dengan Bahasa Indonesia.
Seharusnya kalimat di atas ditulis dengan “Begitu bijak Kahlil Gibran …”
Lalu ada tulisan dari Ida Bagus Weda Wigena berjudul “Jangankan ‘Online’, Laptop pun Tak Punya – Realitas Guru Pembelajar Daring” (tatkala.co 25 November 2016). Sebuah esai yang menarik dari seorang calon guru. Tapi ada yang ingin saya “kilik-kilik”.
“Generasi yang cerdas dan berakhlak mulia terwujud dari adanya guru yang cerdas dan berkompetensi. Sebuah ungkapan sederhana namun memiliki banyak makna dan usaha.” Begitu tulis Ida Bagus Weda Wigena pada alinea pertama. Tidak ada yang salah. Namun mari kita cermati kalimat “Sebuah ungkapan sederhana namun memiliki banyak makna dan usaha.”
Ungkapan sederhana sangat wajar jika memiliki banyak makna. Tapi apakah mungkin ungkapan sederhana memiliki banyak usaha? Saya pikir, ini hanya masalah logika berbahasa. Mungkin yang dimaksud, untuk merealisasikan ungkapan sederhana itu diperlukan banyak usaha (oleh kita).
Maka –mungkin—lebih enak dibaca jika kalimat itu ditulis dengan “Sebuah ungkapan sederhana namun memiliki banyak makna dan membutuhkan usaha besar untuk mewujudkannya.” Semacam itulah.
Logika bahasa. Sangatlah penting kita mengingatnya kembali setiap kali hendak menulis. Segala hal akan bermakna jika diungkapkan secara logis, termasuk dalam kegiatan tulis-menulis. Segala hal mesti diungkapkan sesuai logika berbahasa sehingga setiap pembaca mendapatkan pemahaman yang sama untuk setiap maksud yang ingin diungkapkan (kecuali puisi, mungkin).
Logika berbahasa berhubungan dengan pelogikaan seseorang terhadap bahasa yang diungkapkannya. Selain itu, berhubungan pula dengan pemahaman terhadap bahasa yang diterima dari orang lain sebagai hasil dari proses berpikir atau berlogika.
Secara sederhana dapat diungkapkan, logika tidak dapat dikesampingkan dalam menulis. Sebab, untuk menulis kita membutuhkan bahasa. Jika logika tidak turut campur, maka akan banyak penalaran yang keliru.
Saya jadi ingat pada sebuah iklan sabun antiseptik. Konon setelah menggunakan cairan sabun yang diiklankan itu, maka “Kita terasa segar.” Bandingkanlah jika kalimat itu diganti dengan “Kita akan merasa segar.” Yang ini berkaitan dengan rasa bahasa. Rasanya, kalimat pertama menunjukkan tubuh kita berada di luar diri kita, seperti apel yang baru dikeluarkan dari kulkas dan terasa segar setelah dikunyah.
Sekali lagi, rasanya.
Hal lain yang sering sangat menjengkelkan adalah penggunaan kata “kita”. Mari cermati sebuah iklan produk kosmetika di TV. Diceritakan, seorang gadis galau karena harus mempertimbangkan permintaan orangtuanya untuk segera menikah, sementara ia ingin menyelesaikan pendidikannya di tingkat S-2.
Walhasil, sang gadis pun menemukan jalan keluar. Ia datang kepada ayahnya dan menyatakan kesediaannya untuk menikah. Tapi, dia harus menyelesaikan S-2 terlebih dahulu. “Sesudah itu baru kita menikah …” kata sang gadis. Kepada ayahnya ia berkata “kita menikah.” Saya yakin yang dimaksudkan adalah “Sesudah itu baru kami menikah.”
Betapa sering kita menyaksikan pernyataan pejabat yang salah menggunakan kata “kita”. Betapa sering, misalnya, polisi berkata, “Kita melakukan pengejaran hingga ke luar kota …” Kita? Emang puluhan wartawan yang diajak bicara ikut melakukan pengejaran, Pak Polisi?
Banyak lagi yang lain. Ayo kita berbahasa dengan lebih cermat. (T)