PEMBANGUNAN transportasi publik lazimnya menjadi urusan Dinas Perhubungan dan Pekerjaan Umum. Kecuali delman. Mungkin karena sudah menjadi kendaraan antik, delman kini hanya tampil sesekali dalam program jawatan pemerintah bidang urusan barang antik juga, yaitu yang berada di bawah jawatan pariwisata.
Contohnya dalam parade delman, festival pusaka kraton dan yang sejenis itu. Pendek kata, walaupun belum sepenuhnya ditinggalkan publik, delman dipastikan sudah tak hadir dalam peta dan pesta pembangunan transportasi publik kontemporer kita.
Pemerintah malahan kerap mewacanakannya secara negatif. Misalnya dianggap potensial menebar virus. Sebagaimana kuda delman di kawasan Monas, sejak Maret 2016 lalu, seluruh kuda delman yang biasa beroperasi di kawasan itu dikirim ke Ragunan. Ya, dianggap potensial menebar virus.
Masuk akal mungkin alasannya. Apalah delman jika diukur dari ambisi pemerintah untuk mewujudkan sarana transportasi rel canggih berbasis komputer. Apalah delman jika dibanding lrt (light rail transit), mrt (mass rapid transit), cl (commuter line), bus transjakarta dan kereta bandara yang projeknya sedang dikeroyok pemda DKI dan pemerintah pusat itu.
Selain dipandang tidak efisien, romantik, dan membawa penyakit, delman tak mungkin pula mampu melayani kebutuhan transportasi masyarakat pekerja Jakarta hari ini. Terlebih pula, jikapun dilakukan pengadaan delman, besar anggarannya pastilah tidak semenakjubkan besaran anggaran pengadaan mega projek di atas.
Hingga cukup alasan bagi pemerintah megapolit untuk memuseumkannya. Walaupun kita juga ragu apakah betul transportasi publik berbasis mesin dan komputer yang menggantikannya itu tidak membawa virus? Jangan-jangan malah jauh lebih berbahaya.
Namun sudahlah, mitos tentang sistem hidup berbasis ilmiah – dengan mesin dan komputer sebagai lokomotifnya – terlanjur diimani oleh masyarakat modern. Tak kecuali bidang transportasi yang dalam sejarah memang menjadi simbol hegemoni modern itu.
Dalam model ini, percepatan menjadi ide tunggal yang melandasi tindak-tanduk manusia. Dan yang bergerak untuk satu tujuan saja: mencapai target! Sedangkan soal kenapa manusia harus mencapai target, apakah target itu dibawa mati? Percepatan tidak menyediakan jawabannya.
Delman, bukanlah kendaraan target. Dalam wujud tuanya yang sepi, letih, ditinggalkan, delman adalah sebuah nasehat. Begitulah pikiran budaya kita meyakininya. Di antara kendaraan umum lain yang pernah ada dalam sejarah manusia, hanya delman yang mengandung gagasan kehidupan sebagai sebuah “kendaraan”.
Artinya, dalam pikiran budaya kita, sebuah kendaraan tidak eksis semata karena tampilan fisiknya saja. Melainkan juga hal-hal non fisik, yang dapat membantu kita memahami diri kita, dan memahami tujuan-tujuan hidup yang lebih jauh, lebih hakiki.
Kurang lebih seribu tahun sebelum masehi –sejak delman masih bernama kereta kuda – kitab Upanishad sudah menyatakan hal tersebut. Dalam sloka ke 3 dan 4 Katha Upanishad diterangkan perumpamaan manusia itu laksana kereta kuda dengan kusir yang mengendalikannya.
“Ketahuilah Atman adalah sebagai tuannya kereta, jasmani adalah badan kereta. Ketahuilah bahwa Budhi itu adalah kusirnya kereta, sedangkan pikiran adalah tali kekang. Indria disebut kudanya kereta, sasaran indria adalah jalan. Atman dihubungkan dengan badan, indria dan pikiran…”( terjemahan I Ketut Wiana, Bali Post, 31 Oktober 2009)
Untuk memahami konteks ayat ini dalam budaya transportasi kita, marilah kita ingat lagu “Naik Delman” gubahan Ibu Sud. Sebuah lagu bersahaja yang membungkus ajaran senada Upanishad itu dalam sebuah kejadian kecil yang gembira: naik delman.
Kisahnya terjadi… pada hari Minggu/ kuturut ayah ke kota/ naik delman istimewa/ kududuk di muka/…
Fokus ceritanya jelas: penumpang dan kereta tumpangannya. Yang di dalamnya ada aku si bocah, ayah, dan delman istimewa. Mengapa disebut delman istimewa?
Jawabnya karena dalam sebuah delman terkandung tiga subjek sekaligus. Mereka adalah kuda, kereta, dan Pak Kusir (3in1). Mengingat sistem lalu lintas jalan protokol ibukota baru mengenal sistem 3in1 pada tahun 2003, patut kita puji, lagu Naik Delman yang diciptakan pada era 80-an itu memang sebuah terobosan. Dengan kata lain, sebutan delman istimewa itu adalah sebuah gagasan.
Apa kaitannya dengan Upanishad? Pertama, karena sama seperti Upanishad, ia mengumpamakan manusia seperti kereta dan tumpangannya. Ada pergerakan, wajib ada pengendalian yang dalam eksistensi seorang manusia diperankan oleh daya yang dinamai Budhi.
Bait selanjutnya dari lagu Naik Delman menegaskan fungsi dan peran Budhi yang dilambangkan dengan Pak Kusir :” Kududuk samping Pak Kusir/ yang sedang bekerja/ mengendali kuda/ supaya baik jalannya/…
Jelas di situ bahwa peran Pak Kusir yang terutama rupanya bukan untuk sekadar mengantar penumpang ke Monas. Melainkan untuk mengendali kuda supaya baik jalannya.
Kalau dikaitkan dengan ayat Upanishad di atas, mengendali kuda sama artinya dengan mengendalikan indria. Artinya Pak Kusir itu adalah seorang pembimbing, seorang guru dalam melatih indria. Tanpa bimbingan, tanpa pengendalian, kereta kehidupan dalam bahaya.
Maka orang Minangkabau mengatakan kita wajib bertongkat batang Budhi. Ada badan hidup saja, tapi tak ada budi, kita sama dengan kuda liar. Apakah seekor kuda liar mengenal target dengan betul? Itulah pertanyaan yang patut kita ajukan. Baik kepada diri sendiri, maupun kepada budaya target yang tengah membawa kita dengan mimpi-mimpi mengenai kereta-kereta canggih bertenaga listrik dan navigasi komputer itu.
Kalau kita tidak bertanya, saya mencemaskan satu hal: bukan hanya kita yang tidak tau akan kemana dan darimana. Jangan-jangan navigator kita juga tidak tau, mengapa dia harus membawa kita kepada targetnya. Halo projek…. (T)
Jakarta, 24-11-2016