TIDAK banyak yang mengira bahwa kini masyarakat Eropa ternyata malas dalam mempelajari bahasa asing. Meski perkembangan pendidikan di Eropa sangatlah pesat, siapa sangka bahwa mereka merasa itu tidak penting.
Salah satu contoh di Perancis, masyarakat beranggapan dengan menguasai bahasa nasionalnya saja mereka sudah dapat pekerjaan layak sehingga belajar bahasa asing hanyalah buang-buang energi dan biaya. Sikap fanatik dengan bahasa nasional ini juga didukung oleh banyaknya sistem terjemahan di negara tersebut. Bahkan film-film dan tayangan televisi asing banyak yang di-dubbing dengan bahasa Perancis sehingga memperkecil peluang bahasa asing untuk terekspos di negeri tersebut.
Berbeda dengan ASEAN yang memiliki bahasa pengantar berupa Bahasa Inggris, Uni Eropa mempekerjakan banyak sekali penerjemah untuk 23 bahasa dari seluruh 27 negara. Hal ini dikarenakan adanya kebijakan unit kerja bahwa setiap negara berhak mendapatkan surat atau pemberitahuan dalam bahasa nasionalnya masing-masing sehingga hal itu menjadi sebuah panen raya bagi para penerjemah.
Bagi Phillipe Grangé, seorang pakar bahasa dari Universitas La Rochelle di Perancis, biaya pengadaan penerjemahan ini bisa saja terkesan pemborosan tapi jika ditelusuri dari segi pajak, masing-masing masyarakat Uni Eropa hanya menghabiskan 2,3 euro dari seluruh pajak yang mereka bayarkan.
Lalu, kenapa masyarakat Eropa masih malas mempelajari bahasa asing meski peluang bekerja sebagai penerjemah sangat besar di sana? Melalui Forum Ilmiah XII tentang “Peranan Bahasa pada Era Masyarakat Ekonomi ASEAN” yang diselenggarakan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), 26 Oktober 2016, Philippe Grangé menjawab semua keanehan dan keunikan eksistensi bahasa daerah dan bahasa asing di Uni Eropa. Naasnya, bahasa daerah sudah hampir punah, khususnya di Perancis.
Dalam sambutan pembukaan, Dekan Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni UPI, Didi Suherdi menegaskan agar masyarakat Indonesia bisa “mengutamakan Bahasa Indonesia, melestarikan bahasa daerah dan menguasai bahasa asing”.
Namun, hal ini sangat berbeda dengan sejarah revolusi Perancis yang meletus pada tahun 1789. Menurut Grangé, yang terjadi di sana adalah “utamakan Bahasa Perancis, musnahkan bahasa daerah dan abaikan bahasa asing.” Buruknya, revolusi besar-besaran tersebut melahirkan keegoisan rasa nasionalisme yang terlalu tinggi sehingga mendorong masyarakat untuk membenci negara lain.
Membenci negara lain berarti membenci bahasanya. Tidak hanya di Perancis, negara seperti Italia, Jerman, Inggris, Rusia dan lainnya juga cenderung fanatik dengan bahasa nasionalnya saja. Inilah yang mendorong kemalasan akan mempelajari bahasa negara tetangga di Uni Eropa.
Apakah sampai sekarang mereka masih benci-bencian? Tentu tidak, hanya saja masih malas untuk memahami bahasa satu sama lain.
Bahasa Daerah, Bahasa yang kotor
Jika di Indonesia seorang anak dengan fasihnya bisa menguasai bahasa daerah, bahasa nasional dan bahasa Inggris, di Perancis banyak masyarakatnya yang monolingual seumur hidup. Sebenarnya ada banyak sekali bahasa daerah yang tersebar di Perancis sebelum revolusi pecah, salah satunya adalah bahasa latin.
Meskipun sekitar 200 tahun yang lalu pendidikan sangat rendah, masyarakat masih banyak yang bilingual dan menggunakan bahasa latin. Justru menginjak zaman globalisasi, terjadi penurunan kemampuan berbahasa. Ini juga sebuah keanehan karena sistem pendidikan di Perancis sudah jauh berkembang dibanding dengan era sebelum revolusi.
“Bahasa nasional Perancis adalah bahasa daerah yang punya tentara,” ungkap Grangé yang sangat fasih berbahasa Indonesia ini. Bisa juga dikatakan sebagai bahasa kerajaan yang digunakan oleh bangsawan elit Perancis. Dikatakannya punya tentara, untuk menekankan betapa kuatnya bahasa itu dikawal.
Anehnya lagi, ketakutan akan perpecahan menimbulkan anggapan bahwa bahasa daerah adalah sebuah ancaman besar sehingga dikeluarkannya peraturan resmi dari pemerintah untuk melarang penggunaan bahasa daerah. Salah satu dampaknya adalah banyak tulisan-tulisan berbahasa latin yang diubah menjadi bahasa Perancis.
Yang paling aneh adalah pemerintah juga membentuk sebuah bahasa rekayasa yang merupakan gabungan dari beberapa bahasa daerah. Konyolnya, masyarakat menganggap itu bukanlah sebuah bahasa karena terkesan sangat manipulatif dan dipaksakan. Sementara di sekolah-sekolah, berbahasa daerah dianggap kotor layaknya meludah.
Perumpaaan ini adalah sebuah doktrin bagi anak-anak agar mereka paham betapa buruknya berbahasa daerah. Jika ada anak yang diketahui berbahasa daerah, maka ia berhak diberi hukuman fisik. Jadi, hanya ada satu bahasa yang bertahan hidup yakni Bahasa Perancis.
Apakah bahasa daerah bisa dimekarkan lagi di Perancis? Tampaknya ini sangat sulit karena jumlah penutur bahasa daerah yang sudah berkurang. Selain itu, masyarakat tidak pernah merasa itu sebuah kekhawatiran yang besar karena mereka merasa tenang-tenang saja selama ini tanpa mengenal bahasa daerahnya.
Salah satu fenomena unik adalah saat Grangé menanyakan mahasiswanya tentang seberapa dalam mereka memahami bahasa daerah di kampungnya masing-masing. Sayangnya, kurang dari 2% yang tahu bahasa daerah dan itu pun tidak bisa dibilang fasih karena mereka hanya bisa mengucapkan 3 sampai 4 patah kata saja.
Lemahnya pertahanan bahasa daerah di Perancis membuat Grangé merasa iri terhadap nasib bahasa-bahasa daerah di Indonesia.
Beruntungkah Bahasa Indonesia?
Ada negara yang terbentuk karena kesamaan bahasa tuturnya. Ada juga yang terbentuk karena kesamaan suku dan agama. Di Perancis, bahasa sangat dipertimbangkan sebagai pembentuk negara. Namun, Indonesia adalah negara yang terbentuk karena kebhinekaannya dan tidak banyak negara yang mampu berdiri dalam sebuah kebhinekaan.
Meski penutur bahasa daerah di Indonesia juga mengalami penurunan, untungnya kita tidak pernah merasa keberadaan bahasa daerah adalah sebuah ancaman. Justru keberagaman budaya adalah fakta yang patut dirayakan.
Menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), bahasa Indonesia berpeluang tinggi untuk menjadi bahasa pengantar di ASEAN. Dilihat dari jumlah penuturnya, 1/3 penduduk ASEAN adalah penutur Bahasa Indonesia dan jika digabungkan dengan ragam bahasa Melayu lainnya yakni bahasa Malaysia dan Brunei Darusalam, maka berkisar 45% penduduk ASEAN adalah penutur Bahasa Melayu.
Lalu, kenapa masih saja menggunakan Bahasa Inggris? Padahal sudah tahu bahwa Bahasa Inggris hanyalah bahasa yang digunakan oleh kalangan pejabat dan birokrat saja, dan tidak bisa mengakrabkan komunikasi masyarakat ASEAN. Mungkin penduduk di Indonesia sendiri belum tentu semua sadar akan dirinya adalah warga ASEAN.
Maka, bercermin dari bahasa unit kerja Uni Eropa, mungkin ASEAN tidak perlu menerapkan aturan ekstrim yang menyulut fanatisme akan bahasa nasional masing-masing. Akan tetapi, alangkah indahnya jika bahasa dan budaya negara ASEAN masing-masing dapat saling dipelajari di negara lainnya sehingga timbul kolaborasi yang kokoh dalam melestarikan bahasa dan budaya, termasuk bahasa-bahasa daerah di masing-masing negara. (T)