PERAWAKANNYA tinggi besar dan tentu saja tampak luar ia 100% bule. Namun siapa sangka ketika mulai bercakap tata bahasa alus singgih-nya jauh lebih baik dari saya sendiri yang lahir di Bali. Saya mengenalnya sebagai Made Wijaya – seorang ahli budaya Bali yang mengkhususkan dirinya pada bidang arsitektur bangunan Bali.
Dan ia telah berpulang ke alam sunya tanggal 29 Agustus 2016. Sebuah kehilangan besar bagi Bali.
Lahir di Australia dan pertama kali datang ke Bali di tahun 1973 dengan nama asli, Michael White. Pertemuannya dengan Bali membuatnya secara instan jatuh cinta kepada budaya Bali yang akhirnya membawanya tinggal bersama keluarga angkatnya, Brahmana dari Kepaon.
Sepuluh tahun kemudian ia memantapkan dirinya menjadi orang Bali dan berganti nama menjadi Made Wijaya, melalui proses Suddhi Wadani yang ketika itu dipuput oleh Ida Pedanda Ida Bagus Anom, dari Griya Kepaon, Denpasar.
Made Wijaya di masa hidupnya merupakan seorang landscape designer yang mengkhususkan pada desain taman dengan gaya Bali. Karyanya dipakai oleh banyak hotel-hotel di Bali, salah satunya adalah Four Season Jimbaran.
Namun tentu yang paling fenomenal adalah ketika ia membuatkan desain taman bergaya Bali untuk mendiang David Bowie. Desain taman bergaya Bali-nya juga menghiasi beberapa Botanical Garden di mancanegara. Dan bagi saya melihat langsung kediamannya di Sanur sudah memberikan gambaran betapa cinta dan ahlinya beliau akan arsitektur Bali. Di sana pula ia bersama beberapa orang terbaiknya di Wijaya Tribwana International meramu dan meracik design landscape tersebut.
Saya sendiri bertemu Made Wijaya untuk pertama kalinya di akhir tahun 2009, saat ia menjadi salah satu pembicara di North Bali Cultural Conference. Made Wijaya membawa topik mengenai keunikan arsitek langgam Bali utara ketika itu, bagaimana seni bangunan di Bali utara sangat berbeda dengan wilayah Bali lainnya. Kebebasan seniman dalam berkreasi menentukan letak ukiran, besar patung, dan desain bangunan secara keseluruhan adalah nafas dari langgam Bali utara ini.
Namun tidak hanya bidang arsitektur yang menjadi perhatiannya. Melalui bukunya berjudul “The Best of Stranger In Paradise”, 1996-2008, kejeliannya akan perubahan-perubahan sosial dan budaya yang terjadi di Bali. Buku ini secara singkat saya tulis dalam review di blog saya sebagai “An Unusual Expatriate Diary, Stranger in Paradise” dalam bahasa Indonesia berarti “Catatan Unik Seorang Expatriat, Stranger in Paradise”.
Jika kebanyakan ekpatriat hanya menikmati kulit luar Bali, Made Wijaya tidak. Sebuah artikel yang membekas dari buku ini adalah feature yang memperlihatkan sebuah foto seorang anak muslim berjualan canang di sekitaran Keramat Raden Ayu Siti Khotijah – putri Raja Pemecutan yang dipinang Pangeran Cakraningrat IV dari Bangkalan Madura. Ini sebagai pengingat bahwa kerukunan beragama telah terukir di Bali sejak jauh lamanya.
Dalam artikel itu juga dibahas bagaimana Keramat Raden Ayu Siti Khotijah dihormati baik Muslim maupun Hindu di wilayah Puri Pemecutan – sekarang bagian dari Denpasar Barat. Semua dinamika, intrik, dan esensi dari budaya Bali itu dicermati sehingga wajar saja jika Jakarta Post kemudian menyebutnya lebih Bali dari orang Bali itu sendiri. Fakta ini juga akan semakin nanar dimata ketika telah bertemu orangnya secara langsung. Siapapun yang bertemu dengannya akan pasti terkesima.
Kesenian Bali itu sendiri pula telah membawanya untuk menggali alter ego-nya sebagai Condong Muani. Ia menamai karakter itu sebagai Miss Widji. Di waktu senggangnya, Made Wijaya dalam alter ego-nya sebagi Miss Widji sering membuat meme akan isu isu nyetrik dan terkini di Bali dan Indonesia.
Bagi mereka yang berteman dengannya di Facebook tentu akan sangat amat familiar akan tingkah polahnya ini. Keluesannya dalam bergaul dan pengetahuannya akan budaya Bali juga membuatnya begitu dekat dengan keluarga Puri-Puri di Bali.
Saya justru banyak mendapat cerita-cerita sejarah itu dari celotehannya di Facebook, foto-foto bahkan yang tidak pernah saya lihat dalam buku sejarah manapun tentang Bali.
Made Wijaya juga seoarang guru yang hebat dengan caranya sendiri. Saya menyaksikannya langsung ketika menjadi translator bagi anak didiknya yang berasal dari Vietnam. Phat, datang dari Vietnam Botanical Garden dan bermaksud mengemban ilmu pada Made Wijaya mengenai landscaping design.
Made Wijaya tahu kapan berkata tegas yang terkadang menurut saya agak sedikit menohok. Saya pribadi bahkan pernah mengatakan padanya saat itu “You are too hard on Phat” – Kamu terlalu keras terhadap Phat. Ia hanya menjawab komentar saya itu dengan “Hidup itu keras, dia harus belajar itu untuk mampu bertahan”.
Phat memang pada awalnya kesulitan mengikuti gaya didikan Made Wijaya, namun diakhir masa kunjungannya ia bahkan mampu membuat sebuah sktesa taman yang membuat Made Wijaya terkesima. Saya pun belajar banyak, bahwa bakat tanpa kemauan untuk bekerja keras tidak akan membawa kita kemana-mana. Karena itulah yang dilakukan Made Wijaya hingga akhir hidupnya.
Bakatnya dan kerja kerasnya, membuat Bali dalam skala kecil ada disetiap jengkal Botanical Garden di mancanegara. Dia dengan cara uniknya mengkritisi perubahan sosial dan budaya Bali.
Saya telah kehilangan teman, inspirasi, dan An Unusual Expatriate. Berdasarkan informasi dari akun Facebook, Made Wijaya meninggal saat berada di Sydney. Jenasahnya sedang diusahakan untuk pulang ke Bali dan akan diupacarai secara Hindu, sesuai dengan keinginan terakhirnya.
Made Wijaya, kamu memang tidak lagi menata taman di bumi, tapi taman yang jauh lebih indah di Surga Loka sana.
You will be missed Sir. Dumogi labda permagine ke Sunya Loka. (T)