PADA zaman maya saat ini, seorang remaja tanpa menyentuh gadget atau handphone selama satu hari saja sudah termasuk hebat. Tapi di Desa Bungaya, Karangasem, Bali, ratusan remaja putra-putri dan pemuda lajang lain lebih dari sekadar hebat.
Para remaja putri yang biasa disebut daha dan remaja putra yang disebut teruna yang jumlahnya ratusan orang itu tahan untuk tidak memegang gadget selama hampir tiga hari. Padahal, seperti remaja lain di seluruh dunia, sehari-hari mereka juga punya pergaulan di dunia maya. Lebih hebat lagi, selama hampir tiga hari mereka kuat menahan rasa kantuk dan lelah, kadang juga menahan lapar dan dahaga.
Itu terjadi ketika daha dan teruna di Desa Bungaya begitu suntuk mengikuti upacara Usada Dangsil yang dipusatkan di Pura Bale Agung dengan rangkaian ritual yang cukup panjang. Resminya upacara diselenggarakan 28-29 Agustus 2016. Namun beberapa hari sebelumnya mereka juga ikut melaksanakan berbagai macam persiapan.
Big apreciate dulu untuk para daha dan teruna Bungaya yang punya peran besar dalam prosesi adat yang jarang sekali terjadi ini. Prosesi Usaba Dangsil yang baru digelar tahun ini sebenarnya sudah pernah digelar tahun-tahun sebelumnya. Terakhir diselenggarakan tahun 2002. Memang tidak seperti usaba biasanya yang datangnya hampir tiap tahun, Usaba Dangsil digelar jika suatu kali ada pawisik.
Tokoh-tokoh utama dalam upacara ini adalah para daha-teruna Desa Bungaya. Setelah melakukan berbagai persiapan, remaja dengan wajah-wajah yang murni dan alami itu mengikuti prosesi manda, 28 Agustus. Rangkaian prosesi dimulai sejak siang, sore, malam hingga pagi besoknya.
Seperti ditulis di tatkala.co sebelumnya, rangkaian tarinya bercerita tentang semangat pasukan Rsi Markendya merabat hutan dari wilayah Gunung Raung di Jawa hingga ke Gunung Agung di Bali. Sampai kemudian masuk Desa Bungaya.
Mereka tidak tidur. Sejak pagi, 29 Agustus, mereka mengikuti ritual mekales. Dalam ritual mekales ini, siapa pun yang melanggar peraturan dalam berpakaian, mereka akan dikales. Larangan itu ialah tidak boleh menggunakan perhiasan, tidak boleh menggunakan jam tangan atau gelang. Tidak boleh memakai baju, dan larangan-larangan lainnya.
Contohnya larangan membawa barang yang digantungkan di tubuh. Semua yang mengikuti upacara Usada Dangsil ini patut hukumnya menggunakan pakaian adat layaknya yang digunakan oleh desa setempat. Jika tidak, siap-siaplah untuk dikales oleh ambu-ambu (janur muda) yang sudah disiapkan oleh para teruna Bungaya ini. Barang yang dilarang itu akan ditarik dengan menggunakan ambu.
Ambu yang digunakan dalam ritual mekales tak boleh menyentuh tanah. Jika menyentuh maka ambu tidak boleh dipergunakan untuk prosesi. Mekales artinya menarik salah satu bagian tubuh pelanggar apabila nantinya ditemukan pelanggaran-pelanggaran. Seperti contohnya memakai alas kaki, jam tangan, perhiasan, tas atau sejenisnya, bahkan motor lalu lalang juga akan dikales.
Setelah itu, daha-teruna bersiap mengikuti puncak upacara, yakni medangsilan. Dalam upacara itu, mereka akan mengusung bangunan sejenis meru yang dibuat dari kayu tertentu. Bangunan itu dihiasi berbagai pala gantung, seperti buah-buahan. Bangunan itulah yang disebut dangsil. Dangsil itu akan diusung dengan gembira, sambil berteriak, menari, dan saling sikut dengan riang-gembira.
Bisa dibayangkan para daha-teruna selama nyaris tiga hari harus kuat menahan kantuk, kadang lapar dan dahaga. Mereka tidak bermain gadget saat upacara. Sampai permisi buang air pun sama sekali tidak diperbolehkan. Apalagi pada saat ritual mailehan yang merupakan bagian dari prosesi manda, mereka dilarang memutus barisan yang panjang. Sehingga mau tidak mau walau kantuk, kaki pegal, tetap jalan saja. Salut. Benar-benar salut.
Salutnya lagi pada saat puncak upacara, warga dari desa-desa tetangga yang masih memiliki hubungan kekerabatan ikut bergabung dalam acara pengusungan dangsil ini. Desa itu di antaranya Tenganan dan sekitarnya mencakup Tenganan Pegringsingan, Dauh Tukad, Gumung, Bukit. Juga Desa Bugbug, Desa Asak, Timbrah, Batudawa, Ababi dan desa lain di sekitarnya.
Dangsil yang jumlah 7 bangunan itu dinaiki oleh keturunan Puri Karangasem. Ada juga yang dinaiki oleh keturunan Puri Semarapura. Sisanya hanya diarak begitu saja oleh warga.
Suasana sakral memang sangat terasa kala itu. Bayangkan saja, lautan manusia memenuhi desa ini dengan busana adat yang tak biasa. Pria yang mengikuti prosesi pengusungan dangsil ini menggunakan kain bercorak dan tanpa alas kaki.
Diawali dengan pengusungan jempana, barulah dangsil diusung menuju Pura Penataran. Warga telah siap untuk melaksanakan pengusungan dengan gembira. Lautan manusia sudah memenuhi desa ini sejak pagi. Suasana desa terasa sangat klasik, karena tak satu orang berani berpakaian modern.
Para wanita hanya memakai kamben dalam prosesi ini. Tamu mancanegara atau domestik pun harus mengikuti ketentuan ini. Jadi sepertinya kita berada pada zaman tempoe doloe yang kerap dilukiskan seni pertunjukan di Bali. Kebersamaan dan kekerabatan memang kental walau memang mereka para pengusung dangsil tidak pernah bertemu sebelumnya.
Walaupun terik matahari, angin kencang, kaki kepanasan di atas aspal, mereka tetap bergerak. Setelah dangsil diletakkan, acara usai sekitar pukul 14.30 wita. Keesokan harinya warga sudah bisa bersembahyang seperti biasa.
Usada Dangsil adalah tradisi yang dipelihara warga Bungaya secara turun-temurun. Seperti upacara sejenis lain di sejumlah desa tua di Bali, upacara itu lebih dimaksudkan untuk memohon kesuburan dan kesejahteraan. (T)