JIKA ingin melihat sejati-jatinya festival yang jujur, tanpa pesan ini-itu, tanpa pidato ini-itu, tanpa kampanye ini-itu, tanpa bau politik dan kekuasaan, tanpa EO dan panitia over acting, datang saja ke Desa Bungaya di ceruk alam agak ke dalam di Kabupaten Karangasem, Bali.
Di situ ada keramaian tanpa gaduh yang dilakukan warga tanpa aba-aba berlebihan. Ratusan pria dan wanita lajang (teruna dan daha) menari bersama. Tariannya unik. Tak ada tarIan seperti itu di daerah lain. Acara itu biasa disebut Usaba Dangsil.
Tahun ini, rangkaian acara itu digelar pada saat-saat memasuki akhir Agutus yang puncaknya digelar 29 Agustus 2016. Tarian unik sejenis rejang yang ditarikan sekitar 800 teruna dan daha itu dilakukan pada tahap-tahap awal ritual. Prosesi ini disebut proses manda.
Rangkaian tarinya bercerita tentang semangat pasukan Rsi Markendya merabat hutan dari wilayah Gunung Raung di Jawa hingga ke Gunung Agung di Bali. Sampai kemudian masuk Desa Bungaya. Prosesi unik yang dilakukan dengan amat bahagia itu dimulai ketika malam dan berakhir hingga pagi hari. Tarian itu diiringi tabuh selonding dengan denyar yang lamat-lamat seakan mengetuk-ngetuk telinga secara perlahan-lahan.
Selepas rangkaian manda, ada tahap disebut pailehan. Pada tahap ini desa menggelar ritual nyepi dengan sejumlah larangan, antara lain tidak boleh ada penerangan, tidak boleh ada suara yang terdengar pada saat upacara. Puncak Usaba Dangsil digelar 29 Agustus ini. Puncak upacara ini menyuguhkan ritual sangat unik.
Dangsil diarak warga ke suatu tempat. Pada upacara puncak ini diterapkan beberapa larangan. Yaitu tidak boleh menggunakan perhiasan, alas kaki, udeng/destar, dan tak boleh menggunakan baju. Pokoknya barang apa pun tidak boleh dibawa pada perayaan ini. Peserta atau pengunjung pria diharapkan menggunakan kain bercorak, tidak kain polos atau poleng. Saput-nya juga harus bercorak. Untuk wanita juga diharapkan menggunakan kemben bercorak. Tidak boleh menggunakan baju atau kebaya.
Berada di tengah ritual itu, kita seperti diajak masuk ke dunia lain, ke tengah alam dengan air warna-warni yang mengalir di daratan rendah dan terjun dari dataran tinggi. Kita seperti masuk ke dalam hutan dengan berbagai jenis pohon bercabang dan ranting serta dedaun warna-warni. Keceriaan menyeruak, warna mencerahkan, keikhlasan menyejukkan. Ini sejati-jatinya festival.
Usaba Dangsil merupakan upacara yang dilaksanakan 10 tahun sekali. Dalam upacara itu dibuat tujuh dangsil, yakni sebuah bangunan berbahan dasar kayu mirip meru. Biasanya pohon yang dipilih untuk membuat dangsil adalah pohon durian. Bangunan itulah yang diarak ke suatu tempat dengan penuh rasa gembira. Usai mengarak dangsil, di beberapa sudut desa terdapat ayunan untuk melengkapi kegembiraan para teruna dan para daha.
Ada beberapa teruna yang dikenal di desa ini. Ada teruna nyomanan yaitu teruna yang baru menginjak remaja, ada teruna wayanan (wayah) yang artinya teruna yang sudah menginjak dewasa. Namun jika teruna yang sudah dewasa tapi belum menikah ia akan dinamakan pemuit. Begitu pula daha. Daha juga dikenal dengan sebutan daha nyomanan dan daha wayanan.
Teruna akan meninggalkan pakaian khasnya jika mereka sudah berumah tangga. Jika sudah berumahtangga pakaian mereka akan mengikuti pakaian orang Hindu di Bali pada umumnya, baik saat ke Pura maupun pada perayaan Usaba Dangsil kali ini. (T)