MENYELENGGARAKAN ngaben megah menghabiskan banyak uang, diurus oleh beratus-ratus orang dengan uang ratusan juta rupiah, adalah salah satu contoh, betapa orang Bali senang sekali merawat kematian dengan sangat serius, seksama, hati-hati, penuh perhitungan.
Sering kali kematian dianggap lebih penting tinimbang hidup. Bagi orang Bali, jika kematian dirawat dengan apik, kelak roh akan menitis kembali lebih sempurna.
Namun, tiada mati jika tak ada hidup. Bagi kebanyakan orang Bali, bagaimana mengurus hidup, sering tidak ada kaitan dengan bagaimana mengurus kematian.
Seorang lelaki, ayah empat anak lanang, kakek belasan cucu, bisa menjadi contoh, alangkah buruk orang-orang terdekat mengurus hidupnya, namun mereka merawat kematian dirinya dengan sangat baik, megah, meriah.
Lelaki itu seorang petani, tak punya cukup uang untuk membiayai pendidikan anak-anaknya sampai ke sekolah tinggi. Yang diajarkan adalah, hidup harus diurus dengan ulet, teguh, bermartabat. Anak-anak itu kemudian menjadi pekerja keras.
Seorang jadi pegawai negeri, meneruskan sekolah setelah bekerja dengan biaya sendiri, jadi profesor. Seorang jadi politikus dengan banyak pengikut. Dua yang lain jadi pengusaha. Semua anak-anak itu sukses, jadi manusia-manusia terpandang.
Mereka tinggal berpencar di kota-kota di Jawa. Untuk menjalankan kewajiban-kewajiban sebagai krama (warga) banjar, laki-laki itu melakoninya sendiri sampai tua renta. Tak seorang pun di antara anak-anak itu sudi pulang kampung. Mereka mengaku, harus banting tulang mencari penghidupan, buat biaya sekolah anak-anak, cucu-cucu si kakek, agar mereka bisa menikmati sekolah lebih baik dibanding orang tuanya.
Kakek itu pun hidup kesepian. Hidupnya nyaris tidak terurus. Ketika ia sakit-sakitan, anak-anaknya cuma mengirim uang untuk biaya perawatan. Jumlahnya banyak. Anak dan ayah itu tak hanya dipisahkan oleh jarak dan waktu, tapi juga oleh kesibukan putra-putranya untuk mencari uang.
“Dulu aku tak bisa mengurus hidup dan sekolah anak-anakku dengan baik, karena aku tak punya uang. Kini, ketika anak-anakku banyak uang, mereka tak punya waktu untuk mengurus hidupku,” kata hati kakek itu. “Kalau begitu, apa bedanya kaya dengan sedikit punya uang?”
Sunyi sepi sendiri sekian lama, setelah istrinya tiada, kakek itu meninggal dalam kesepian. Empat anak laki-laki itu pun berdatangan ke Bali. Mereka berembuk, kemudian sepakat, akan menyelenggarakan upacara ngaben yang megah.
Menurut mereka, begitulah cara terbaik untuk menghormati mendiang ayah mereka yang hidup ulet, teguh, kendati hanya sebatas sebagai petani. Mereka sepakat akan merawat kematian ayah mereka dengan serius, hati-hati, rinci, teliti, sebagai wujud penghormatan.
Ngaben besar, melibatkan banyak orang, pasti menghabiskan banyak uang. Jika saja ketika mati seseorang bisa bicara, si ayah, kakek itu, ingin ngomong, “Tak usahlah kalian menghamburkan banyak uang untuk kematianku. Mengapa kalian membiarkan aku hidup sunyi sendiri, tak terurus, tapi justru memberi perawatan ketika aku mati? Mengapa kalian menempatkan kematian lebih tinggi derajatnya tinimbang hidup?”
Lebih penting mana, hidup atau mati? Bagi orang Bali, kematian bisa berarti lebih bermakna tinimbang hidup. Di beberapa daerah di Gianyar (Bali Selatan, 25 km timur Denpasar), kematian kadang-kadang dirawat seperti seseorang atau sebuah keluarga mengurus hidup.
Seorang anggota keluarga yang mati, lalu dikubur, tetap diberi pelayanan seperti ketika ia hidup. Pelayanan itu misalnya dalam wujud otonan (manusa yadnya), memperingati hari lahir setiap 210 hari sekali. Upacara ngotonin diselenggarakan selama tiga kali. Setelah tiga kali otonan, biasanya diteruskan dengan ngaben.
Upacara ngotonin diselenggarakan di kuburan. Sesaji dihaturkan di atas pusara, dengan doa-doa. Kadang seseorang yang meninggal sudah uzur, dan karena selama hidup jarang menyelenggarakan otonan, hari otonan itu pun terlupakan. Untuk itu, otonan untuk merawat kematian pun diubah. Yang ditetapkan untuk ngotonin adalah hari ketika ia meninggal, bukan hari ketika ia lahir.
Tidakkah ini pertanda, orang Bali sangat teliti merawat kematian, jauh melebihi dibanding mereka mengurus seseorang itu semasa hidup? Perhatian kerabat, keluarga, terhadap seseorang memang lebih kentara justru ketika dia mati. Ketika mati seseorang menerima pelayanan istimewa dari sanak saudaranya.
Banyak yang memberi sumbangan kain bagus-bagus justru setelah ia mati. Yang lain memberi duit, dilemparkan ke liang lahat sebelum jazad ditimbun. Uang atau kain itu ikut dibakar jika jazadnya diaben. Semasa hidup, tak seorang pun memberinya duit, apalagi menghadiahinya kain atau baju. Untuk apa baju-baju, kain-kain, dan uang itu, bagi si mati?
Di Bali banyak bisa dijumpai orang miskin, orang sakit, mereka yang hidup terlunta-lunta. Krama desa adat jarang peduli pada masalah-masalah kemiskinan. Mereka tidak tertarik membahas tentang manusia-manusia miskin atau orang-orang sakit. Mereka lebih senang membahas persoalan-persoalan tentang berbagai kegiatan upacara atau sesaji yang patut diberikan kepada seseorang yang sudah mati.
Apakah berlebihan jika kemudian kita katakan, orang Bali lebih senang merawat kematian tinimbang mengurus hidup? Karena memang, mereka ogah diajak berdebat tentang pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi, namun senang sekali melontarkan filosofi tentang kematian berikut upacara-upacara suci yang patut menyertainya.
Pandangan orang Bali mengajarkan, hidup dan mati itu sama penting, karena keduanya merupakan mata rantai siklus perjalanan seseorang sebagai mahluk Tuhan. Karena itu, mengurus hidup sama pentingnya dengan merawat mati.
Entahlah, mengapa kemudian orang Bali acap kali mengabaikan mengurus hidup, dan lebih mementingkan merawat mati. Itu sebabnya, kita sering mendengar dan menyaksikan, ketika hidup seseorang tidak terurus, namun ketika mati menerima pelayanan ngaben luar biasa. (T)