JIKA benar harga rokok setinggi langit biru, dan jika benar harga tinggi itu bisa menghentikan orang merokok, dan (siapa tahu) nanti benar-benar tak ada yang merokok, bagaimana nasib wajah politik praktis, misalnya Pilkada dan Pemilu, di Buleleng? Bagaimana situasi politik di Bali Utara?
Saya memikirkan hal itu. Rokok dan situasi politik di Buleleng memiliki hubungan “emosional” yang tak serius. Namun saya memikirkannya dengan serius. Bukan karena saya merokok. Namun karena ini sebuah hubungan yang unik.
Sejak lama, sejak saya mengemban tugas menjadi wartawan di Buleleng, saya mengamati secara diam-diam hubungan antara rokok, cengkeh dan Pilkada atau Pemilu. Pengamatan saya mungkin tak selengkap para peneliti, dan analaisanya mungkin tak setajam konsultan politik. Tapi inilah temuan saya yang berkaitan dengan masalah rokok, cengkeh dan politik:
Pertama, banyak (untuk menyebut lebih dari sepuluh orang) pemain dan tokoh politik di Buleleng adalah pemilik kebun cengkeh yang luas. Mereka biasanya mengandalkan hasil panen cengkeh untuk memenuhi biaya politik, terutama dana kampanye dan pencitraan di depan publik.
Kedua, pada musim Pilkada atau Pemilu Legislatif, apalagi bertepatan dengan berakhirnya panen raya cengkeh, banyak petani cengkeh yang sebelumnya mukim jauh dari dunia politik tiba-tiba ngebet mencalonkan diri menjadi anggota Dewan dan masuk ke partai-partai politik.
Tentu ada yang lolos. Dan ada juga yang apes: kursi Dewan tak dapat, hasil cengkeh melayang. Yang tak lolos biasanya tak terceritakan lagi. Ada yang kembali ke kebun mengurus cengkeh, dan tak kembali lagi ke arena politik yang sudah dianggapnya jahanam. Ada juga yang secara diam-diam masih menunggu kesempatan untuk maju pada pemilu berikutnya, sembari tetap menabung hasil panen.
Yang lolos bisa langsung melesat jadi tokoh politik beken, bahkan hingga ke ranah nasional. Sudah banyak diketahui. sejumlah pimpinan dan pengurus partai politik asal Buleleng diketahui punya kebun cengkeh yang cukup luas di desanya sendiri atau di wilayah sekitarnya.
Ketiga, jika kampanye Pilkada atau kampanye Pemilu bertepatan dengan panen cengkeh, suasana kampanye (terutama kampanye umum yang melibatkan banyak massa) akan tampak sepi. Banyak warga lebih suka meburuh memetik cengkeh, atau ngorek cengkeh, ketimbang mengejar recehan dari ongkos kampanye.
Keempat, jika kampanye digelar bertepatan dengan musim paceklik, atau cengkeh sedang tak berbunga, kampanye akan tampak lebih ramai. Daripada tak ada kerjaan, banyak buruh petik cengkeh dan tukang ngorek dengan mudah diajak ikut kampanye, siapa pun calonnya.
***
BULELENG memiliki kebun cengkeh terluas di Bali. Data dari Dinas Kehutnan dan Perkebunan Buleleng menyebutkan luas tanaman dan produksi cengkeh tahun tahun 2013 mencapai 7.572,10 ha dengan produksi: 2.359,98 ton, tahun 2014 luasnya 7.857,32 ha dengan produksi 5.270,75 ton, tahun 2015 luasnya7.751,82 ha dengan produsi 4.907,39 ton.
Dengan luasan seperti itu, mungkin ada ratusan ribu warga yang mengandalkan hidupnya dari hasil cengkeh. Selain pemilik kebun, banyak warga yang tak punya kebun namun bisa menikmati gelimang hasil cengkeh dengan menjadi buruh petik dan tukang ngorek setelah panen.
Nah, jika misalnya benar harga rokok setinggi langit biru, dan jika benar harga tinggi itu bisa menghentikan orang merokok, atau benar-benar tak ada yang merokok, tentu akan berpengaruh terhadap permintaan cengkeh di Buleleng. Pabrik rokok bangkrut, permintaan cengkeh pun turun drastis. Atau mungkin tak ada permintaan sama sekali. Petani cengkeh pun bisa bangkrut.
Logika itu barangkali sangat sederhana dan sangat tidak intelek. Tapi lihat dulu penjelasan Ketua Umum Asosiasi Petani Cengkeh Indonesia (APCI), Dahlan Said, sebagaimana dikutip surya.co.id, sekitar April 2016. Menurut dia, kebutuhan cengkeh dalam negeri setiap tahun mencapai 110.000 ton. Dari jumlah itu, 93 persennya diserap pabrik rokok, dan sisanya untuk kebutuhan komestik dan rempah-rempah.
Dan ingat, produksi dalam negeri itu termasuk produksi cengkeh yang berasal dari Buleleng dan kabupaten lain di Bali. Jika pabrik rokok bangkrut, atau produksinya berkurang sehingga kebutuhan cengkeh juga berkurang, maka kebutuhan cengkeh dari Bali pun berkurang atau bisa saja dipotong sama sekali.
Pada saat itulah, cengkeh tak lagi “berkuasa” dalam pusaran politik di Buleleng. Di satu sisi, suasana kampanye umum akan selalu ramai, karena warga pengangguran meningkat sehingga banyak warga berharap bisa mendapatkan “uang transport” dan “uang makan” dari kegiatan politik.
Namun, di sisi lain, politikus dari kalangan petani cengkeh, tentu saja tak mau menghambur-hamburkan banyak uang karena penghasilan mereka menurun. Kemungkinan wajah politik berubah, bukan lagi “tokoh cengkeh” yang banyak muncul, namun tokoh-tokoh dari kalangan lain, bisa saja kalangan intelektual, pengangguran terselubung, atau dari petani sawah dan pemilik kebun kopi.
Selain hubungan sebab-akibat antara politik praktis, rokok dan cengkeh, hubungan lain tentu juga ada. Hubungan antara rokok, cengkeh dan politik pembangunan. Karena cengkeh, ratusan ribu warga di Buleleng tak memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap pemerintahnya. Warga sudah asyik dengan kegiatan dan penghasilan mereka. Jika perlu pemerintah, mereka hanya konsultasi masalah harga, pupuk, bibit tanaman dan hal-hal yang berkaitan dengan cengkeh.
Itu baru soal cengkeh. Saya belum bicara soal petani tembakau yang juga banyak terdapat di Buleleng. Petani tembakau ini juga kebanyakan asyik dengan kegiatan dan penghasilan mereka, tanpa banyak mengganggu pemerintah. Jika tak ada lagi yang merokok, maka berpengaruh besar terhadap penghasilan petani tembakau di Buleleng.
Meski banyak pejabat dan tokoh politik di Buleleng dan di Bali mengawali karirnya dari kebun cengkeh, namun tak banyak yang bicara ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan kampanye antirokok, termasuk ketika muncul wacana naiknya harga rokok hingga Rp 50 ribu.
Pun ketika Pemprov Bali mengeluarkan Perda Kawasan Tanpa Rokok (KTR) No 10 Tahun 2011 yang juga berlaku di Buleleng, para politisi beraroma cengkeh dan tembakau juga manut-manut saja. Padahal, jika sayang sama cengkeh, seharusnya mereka berontak, setidaknya secara politik mereka bisa melakukan wacana tandingan. Atau mengeluarkan kebijakan politik, seperti menolak kebijakan atau perda yang bisa merugikan petani cengkeh dan tembakau.
Namun, sebagai orang politik, mereka sepertinya punya hitung-hitungan lain. Mereka seakan takut menentang kebijakan pemerintah yang sudah telanjur dianggap luhur. Jika membela perokok, mereka seakan takut dianggap membela kejahatan. (T)