Cerpen: Putri Handayani
HAMPIR setiap hari Griya Siwa tidak pernah sepi dari orang-orang yang ngayah1. Mulai dari membuat sarana upakara sampai meracik tirta, semua dilakukan oleh parekan2dan penyeroan3 Ida Pedanda Sidhimantra.
Suasana hiruk-pikuk orang sibuk terlihat di sana-sini. Ada yang bekerja menyendiri di sudut merajan4, bergerombol di balai bengong, hingga memencar mencari bunga di Taman Yadnya milik griya. Mereka bergotong-royong dan sarat kekerabatan, anehnya pekerjaan itu dirasakan sangat nyaman bagi mereka walau digaji tak seberapa.
Ida Pedanda Shidimantra tengah melakukan puja rutin beliau. Suara genta mengalun membahana dari atas balai piyasan5 sampai ke sudut-sudut ruang yang sebisa mungkin dijangkau suara genta. Api dipa6 berkedip-kedip, sedikit bergoyang diterpa angin tipis. Lantunan mantra membungkus perpaduan khidmat itu.
Sang pendeta sendiri duduk tegak bersila sembari memejamkan mata, sepasang bibirnya sibuk berkomat-kamit merapal mantra-mantra dari sebuah kitab suci. Tak ada yang mengerti apa arti mantra-mantra itu karena bahasanya sangat aneh dan susah diartikan oleh orang awam. Kalau pun ada yang bisa dimengerti, itu pun hanya satu atau dua kata saja. Tapi meskipun begitu, tak ada yang protes. Semua sepakat bahwa mantra itu suci dan sakral tak peduli bagaimana pun bahasanya.
***
SEMBILAN tahun berlalu.
Kini dinasti Gryia Siwa telah digantikan oleh seorang pendeta baru yang tidak lain adalah putra dari Ida Pedanda Sidhimantra, Ida Pedanda Wedanta.
“Saya masih ingat bagaimana Ajik7 lenyap bersama Pemangku8 itu.” tutur Wedanta kepada salah satu parekan-nya.
Di bale bengong mereka bercakap bertemakan kicauan burung Jalak Bali Putih yang terkungkung dalam sangkar bambu di sudut balai bengong. Wedanta menerawang sambil bertutur dengan tempo teratur, kadang berhenti dengan jeda beberapa detik. Si parekan hanya mengangguk sembari mendengarkan dengan khidmat tutur sang pendeta.
“Maaf, Ratu. Jika boleh saya tahu, apa sebenarnya yang terjadi antara Ratu Pedanda Sidhimantra dan Pemangku itu?” Tanya parekan memberanikan diri.
Wedanta tersenyum. Mata jernihnya mulai menerawang ke sebuah pigura yang di dalamnya berada seorang pria tua dengan senyum mengembang dan sebuah kalung Genitri melingkar di lehernya.
***
DI antara parekan-parekan Ida Pedanda Sidhimantra ada satu parekan yang bisa dikatakan sangat rajin dan taat. Ia bernama Prama. Asalnya dari Desa Nangka. Setiap tangkil ke griya ia tidak pernah lupa membawa buah tangan seperti; nangka, klongkang dan keluih (buah timbul). Entah makanan kegemaran Ida Pedanda memang yang semacam itu atau tidak, yang jelas Prama hanya punya itu saja di kebunnya. Tidak hanya sekedar membawa, tapi juga mepersembahkan setulus hati kepada Ida Pedanda Sidhimantra.
“Kau membawa apa hari ini, Prama?” tanya Ida Pedanda.
“Seperti biasa, Ratu.” sahut Prama tersenyum sembari memperlihatkan bawaannya.
“Kau sangat rajin, aku melihat sebuah ambisi dalam sorot matamu. Bolehkan aku tahu apa itu?”
Prama tersentak. “Ah. Maaf Ratu, saya tidak mengerti.”
“Ayolah, jujur saja. Aku tahu, mungkin saja aku bisa membantu meluruskan ambisimu.” Desak Ida Pedanda seakan ia dapat membaca isi kepala Prama.
“Emm, Ratu benar. Sebetulnya saya mempunyai sebuah ambisi. Tapi saya malu mengungkapkannya, Ratu.”
“Apa itu?”
“Saya..saya ingin menjadi pemangku, Ratu.” jawab Prama dengan nada malu-malu.
“Oh.. hahaha, kau ini. Aku kira apa.”
Prama makin tersipu malu. Ia seperti telah membocorkan sebuah aib kepada orang yang tak ia kenal. Sangat malu dan tak pantas. Wajahnya bersemu merah.
“Ada yang salah dengan keinginan saya, Ratu? Aduh, saya minta maaf, saya tidak akan mengulanginya lagi. Maaf…” Prama salah tingkah.
“Tidak, tidak. Tidak ada yang salah untuk sebuah niat suci, Prama. Aku akan membantumu. Tapi, apa alasanmu ingin menjadi pemangku?”
“Begini, Ratu. Belakangan ini keluarga saya sering sakit-sakitan. Kalau tidak adik saya, pasti kakak saya, kalau tidak kakak saya pasti saya, terus berganti seperti itu tanpa kami tahu penyebabnya. Sakitnya pun lumayan parah. Pernah suatu ketika tubuh saya lemas dan susah digerakkan, sendi-sendi saya terasa remuk. Akhirnya kami sekeluarga memutuskan untuk menanyakan ke orang pintar tentang penyakit yang mewabah di keluarga kami. Kata orang itu, tanah pekarangan saya adalah tanah yang suci dan salah satu dari kami harus menjadi pemangku. Tentu saja kami kaget, tidak ada satu pun yang siap untuk mengemban tugas berat itu di keluarga kami, namun hati nurani saya terketuk. Jadi, saya ingin mengabdikan diri dan mengisi posisi itu untuk nganteb9 kalau-kalau sedang ada upacara di sanggah10 keluarga kami atau pun di pura-pura yang lain.”
“Wah, niatmu sangat mulia, Prama.”
“Tapi, apakah Ratu yakin akan sanggup mengajari saya?”
“Kenapa tidak?”
“Masalahnya, saya tidak bisa baca tulis, Ratu.”
Ida Pedanda Shidimantra tercengang. “Bagaimana mungkin? Dia ingin belajar jadi pemangku, tapi tak bisa baca tulis. Sementara untuk mengetahui mantra-mantra harus bisa membaca lontar dan menulisnya, atau paling tidak bisa membaca dulu.” Gumam Ida Pedanda dalam hati.
“Bagaimana, Ratu?” sahut Prama memastikan.
“Hmm, datanglah kembali besok pagi setelah aku selesai puja. Aku akan mengajarimu sesuai janjiku.”
“Suksma11, Ratu. Saya pamit dulu.”
Lelaki paruh baya itu pamit dengan perasaan gembira setelah permintaannya terkabulkan. Ia tak peduli lagi perkara ia tak bisa membaca atau menulis. Yang ia tahu Ida Pedanda Sidhimantra itu terkenal sakti. Mana mungkin hal sekecil itu tidak bisa beliau tangani. Hanya merubah orang biasa menjadi pemangku, pasti bukan hal yang begitu sulit bagi beliau.
***
KEESOKAN harinya, Prama kembali bersiap tangkil ke Griya Siwa. Kali ini bawaannya lebih banyak; dua buah nangka, dua tas plastik klongkang, dan tiga buah keluih. Semua diangkut menggunakan sepeda motor sederhana miliknya. Dengan sangat hati-hati Prama mengangkut bawaan itu agar tidak tercecer di jalanan. Begitu banyak rintangan yang harus ia hadapi sebelum sampai, diantaranya hampir anjing menabrak karena susah menarik rem, hingga nyaris kecelakaan akibat motor oleng karena jalan berlubang. Sungguh sangat menyiksa, tapi demi niat ia hadapi rintangan itu.
Akhirnya sampai juga Prama di Griya Siwa. Batinnya mendadak sejuk ketika berada di depan gerbang jati berukir ornamen bali itu. Begitu dibuka, sebuah patung Ganesha bercat emas menyambutnya. Patung itu duduk bersila dengan cantik di atas teratai raksasa. Sungguh gagah dan megah. Pemandangan ini memang tidak begitu asing bagi Prama karena sudah disaksikan setiap hari ketika tangkil ke griya. Tapi taksu12 yang dimiliki gria ini tidak akan pernah habis dinikmati dengan cara apa pun.
“Om swastyastu…”
Prama mengucap salam, namun tak ada yang menyahut. Lama ia celingukan di balai bengong, tempat Ida Pedanda sering duduk dan membaca lontar.
“Om swastyastu, Prama. Maaf, saya baru selesai puja. Penyeroan sedang saya liburkan hari ini jadi agak sepi. Apa kau sudah siap?
“Iya Ratu. Saya sangat siap. Oh iya, ini ada sedikit persembahan untuk Ratu. Sugra13.”
“Terimakasih, Prama. Tapi ini terlalu banyak.”
“Tak apa, Ratu. Hari ini saya sangat bersemangat. Ayo kita mulai.”
Sebenarnya Ida Pedanda belum menyiapkan strategi apa pun untuk mengajari Prama hari ini. Beliau bingung. Diliriknya terus buah tangan yang dibawa Prama. Tapi beliau masih berpikir. Akhirnya muncullah sebuah ide yang cukup aneh.
“Baiklah, Prama. Mengingat kau buta aksara, maka terimalah genta ini dulu.” Kata Pedanda sambil memberi Prama sebuah genta.
Suasana hening sejenak. Prama bergeming.
“Sekarang, rapalkan nama-nama barang yang sering kau berikan padaku. Rapalkan seperti mantra dan goyangkan genta ini senada dengan mantramu. Jangan lupa tambahkan kata “Om” di awal agar mantramu diberkati oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa.”
Giliran Prama yang tercengang. Ia masih belum mengerti. Bukankah yang diucapkan itu haruslah mantra-mantra seperti yang ia dengar dari pemangku-pemangku lain? Ini sangat ganjil, tapi ia tak berani protes.
“Kenapa diam? Ayo rapalkan. Kau ingin jadi pemangku kan?”
“Baik, Ratu. Saya rapalkan.”
“Om, nangka..klongkang…batun timbul.
Om, nangka…klongkang…batun timbul.
Om, nangka…klongkang…batun timbul.”
Terus seperti itu Prama merapal. Entah berapa ratus kali ia mengulang dan terus mengulang. Hingga suara gentanya semakin mantap dan berirama, ia tetap tidak berhenti. Merapal dan merapal. Tidak berhenti.
Hari telah beranjak senja, Prama masih betah merapal.
“Cukup.”
Prama berhenti. Genta senyap.
“Kau sudah resmi menjadi pemangku. Sekarang kau sudah boleh nganteb banten. Genta ini untukmu dan mantra yang kau pelajari ini akan kau rapalkan terus ketika nganteb.” kata Ida Pedanda.
“Benarkah, Ratu? Wah, terimakasih banyak, Ratu Pedanda. Saya sangat gembira, dengan apa saya harus membalas kebaikan Ratu?”
“Tidak, kau tidak perlu membalas kebaikanku. Abdikanlah ketulusanmu pada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Itu sudah cukup menunjukkan rasa terimakasihmu padaku. Sekarang pulanglah dan ingat selalu pesanku.”
“Baiklah, Ratu. Saya akan jalankan semua perintah Ratu. Sekali lagi terimakasih, saya pamit kalau begitu.”
Sejak saat itu Prama sudah resmi diangkat menjadi pemangku. Upacara peresmian pun digelar, Ekajati. Sebagian orang ada yang senang dan bangga, sebagian ada yang heran, dan sebagian besar menganggap ini suatu pelecehan terhadap Tuhan. Bagaimana mungkin orang yang buta aksara seperti Prama mampu menjadi pemangku? Apa dia mau main-main dengan mantra? Bah, kacau.
Tapi meskipun begitu, tak ada yang bisa protes. Mantra tetaplah sesuatu yang sakral.
“Om, nangka..klongkang…batun timbul.
Om, nangka…klongkang…batun timbul.
Om, nangka…klongkang…batun timbul.”
Upacara agama apa pun, jika sudah Jero Mangku Prama yang nganteb, mantranya pasti itu-itu saja. Nada dan ritmenya juga itu-itu pula.
“Om, nangka..klongkang…batun timbul.
Om, nangka…klongkang…batun timbul.
Om, nangka…klongkang…batun timbul.”
Banyak yang merasa ganjil dan mengernyitkan alis. Tapi tak ada yang protes. Akhirnya mantra aneh itu makin diterima oleh masyarakat, bahkan jadi keunikan tersendiri dalam dunia ke–pemangku–an karena belum ada pemangku yang pernah melakukannya kecuali Jero Mangku Prama.
Lama sudah Prama menggeluti pekerjaannya sebagai pemangku. Umurnya sudah semakin senja dan ia nyukla brahmacari14. Akibat tawaran nganteb yang cukup banyak, Prama semakin jarang tangkil ke Griya Siwa. Ida Pedanda Sidhimantra juga sudah semakin uzur. Belakangan terdengar kabar bahwa beliau sakit parah. Seminggu setelah kabar itu terdengar, Ida Pedanda Sidhimantra mendadak lebar. Kabar duka ini mengejutkan semua pihak yang mengenal beliau. Apa lagi sebagai pendeta yang terkenal sakti, beliau sangat dikenal banyak orang dan juga banyak pendeta dari seluruh penjuru di Bali bahkan di luar Bali. Jero Mangku Prama tentu saja menjadi orang yang paling terpukul. Bagaimana tidak, pendeta yang telah menjadikannya seorang pemangku telah meninggalkan dunia untuk selamanya.
Tiga hari kemudian sepeninggal Ida Pedanda Sidhimantra, upacara palebon pun dilaksanakan. Tujuh balai pawedaan ditata melingkar memagari jasad Ida Pedanda Sidhimantra yang akan dikremasi. Selanjutnya tujuh pendeta berseragam putih-putih duduk bersila di atas bale pawedaan yang telah disiapkan. Suara genta beradu membentuk sebuah harmonisasi spiritual yang anggun, mantra-mantra dirapalkan menjelma dengungan kidung suci. Asap dupa mengepul menbentuk simpul. Suasana begitu agung dan khidmat.
Tiba-tiba di tengah suasana khidmat itu.
“Om swastyastu, bolehkah saya ikut mendoakan Ida Pedanda Sidhimantra dengan mantra?”
Spontan para pendeta dan khalayak menoleh ke arah sumber suara. Ternyata Jero Mangku Prama yang sedang bersuara.
“Siapa kamu?” tanya salah seorang pendeta.
“Saya parekan sekaligus murid Ida Pedanda Sidhimantra. Saya merasa berhutang budi kepada beliau karena sudah mau mengajari dan menjadikan saya seorang pemangku. Jadi saya mohon, izinkanlah saya ikut.” Jelas Prama dengan raut wajah memelas.
Ketujuh pendeta itu saling berpandang untuk beberapa detik dan selanjutnya mengangguk.
“Baiklah, kau boleh ikut. Tapi tempatmu di bawah.”
“Terimakasih, Ratu. Terimakasih banyak.”
Prama mengambil posisi di bawah salah satu balai pawedaaan para pendeta. Lalu ia mulai merapal mantranya.
“Om, nangka..klongkang…batun timbul.
Om, nangka…klongkang…batun timbul.
Om, nangka…klongkang…batun timbul.”
Suasana mendadak hening, yang ada hanya Prama yang terus merapal. Ketujuh pendeta berhenti merapal, mereka malah memandangi Prama dengan heran.
“Apa yang ia lakukan?” Suasana ganjil kembali terjadi.
Sementara itu, mata Prama masih terpejam dengan bibir komat-kamit. Terlalu berkonsentrasi, hingga sesuatu yang aneh terjadi. Tubuh Prama memberkaskan cahaya, begitu juga jasad Ida Pedanda Sidhimantra. Semua tercengang. Di mana-mana terdengar decakan kagum, heran dan bola mata yang membelalak.
Perlahan tapi pasti. Tubuh Prama dan jasad Ida Pedanda Sidhimantra terangkat. Semakin tinggi semakin samar, samar dan lenyap seketika. Seperti garam yang lesap di telan air. Mereka hilang. Semua orang termasuk ketujuh pendeta yang menyaksikan keajaiban itu terperangah dan tidak dapat berucap apa-apa.
***
“SAYA juga turut terperangah menyaksikan kejadian itu. Mereka Parama Moksa.15” sambung Ida Pedanda Wedanta menutup ceritanya. (T)
Catatan:
- Aktivitas membantu
- Istilah pembantu pria
- Istilah pembantu wanita
- Tempat suci (pura)
- Tempat pendeta melaksanakan puja
- Api untuk puja
- Meninggal
- Orang suci
- Menghaturkan sesajen
- Tempat suci (pura)
- Terimakasih
- Daya magis
- Permisi
- Tidak menikah
- Seseorang yang telah mencapai moksa dengan tidak meninggalkan bekas apapun.