GARIS berliku itu menyerupai sungai. Lebar di hulu kemudian menyempit di hilir. Warnanya hijau, biru, dan jingga. Garis berliku serupa sungai itu membelah lukisan menjadi dua bagian. Satu sisi berwarna coklat, sisi lainnya berwarna hijau. Sementara wujud patung tak bernama, bertebaran. Sembilan buah jumlahnya. Semua berdiri di atas batu.
Gambaran itu ialah gambaran tentang lukisan berjudul “Kembali Menjadi Batu”, 200×200 cm, 2015, mixed media on canvas, karya perupa Nyoman Sujana Kenyem. Lukisan itu adalah satu dari total 21 karya lukisan dan dua karya instalasi yang dipamerkan oleh Nyoman Sujana Kenyem dalam pameran tunggalnya.
Kenyem menunjukkan karya-karyanya dalam pameran yang bertajuk “Coming Home, A Place Behind the House” yang dilangsungkan di Komaneka Fine Art Gallery, Ubud. Pameran itu adalah pameran tunggal ke-16 yang dijalani Kenyem, selama karirnya sebagai seorang perupa. Pameran itu akan berlangsung hingga 6 September 2016 nanti.
Karya “Kembali Menjadi Batu”, seolah mewakili Kenyem dengan pameran tunggalnya kali ini. Perupa kelahiran 1972 itu, menghadirkan ingatannya tentang Tukad Ayung atau Sungai Ayung, yang ada di belakang rumahnya. Sungai itu menjadi halaman belakang rumah Kenyem yang ada di Desa Sayan, Kecamatan Ubud, Bali. Kedekatan secara fisik dan emosional, turut mempengaruhi Kenyem dalam karyanya itu.
Baginya Sungai Ayung adalah kisah kehidupannya dulu, kehidupan kini, dan mungkin kehidupannya di masa yang akan datang. Kondisi alam di belakang rumah, nyaris tak berubah. Semuanya seperti sedia kala. Batu-batu yang biasa dilihat sang perupa ketika kecil, kini masih berada di tempatnya dulu. Nyaris tidak bergeser.
Kisah maca kecil itu juga yang mempengaruhi dua karya instalasinya. Karya instalasi pertama berjudul “Alam Belakang Rumah”. Instalasi ini menghadirkan 15 buah patung yang terbuat dari fiberglass. Tinggginya setara dengan tinggi orang dewasa. Seluruhnya berdiri di atas batu. Semuanya ditata sedemikian rupa di depan Komaneka Fine Art Gallery.
Karya instalasi lainnya berjudul “Coming Home”. Karya ini menghadirkan lima buah patung logam yang tingginya setara dengan pinggang orang dewasa. Patung-patung itu ditata sedemikian rupa di lantai dua galeri, seolah mereka berdiri di atas lembaran-lembaran daun.
“Ini tentang ingatan masa kecil saya di Tukad Ayung, dan juga tentang rumah. Ketika saya kecil, masih mandi di sana, main di sana, saya melihat banyak batu ada di sana. Sekarang pun batu-batu itu masih di sana. Batu itu mengingatkan agar saya senantiasa kuat. Punya spirit yang kuat seperti batu,” ucap Kenyem.
Tak mengherankan jika pada pameran tunggalnya kali ini, menghadirkan identitasnya yang baru. Identitasnya dalam pameran ini, bukan hanya sosok patung-patung tanpa nama yang selalu ia hadirkan pada karyanya. Namun juga batu. Batu-batu itu selalu menjadi pijakan patung tanpa nama, yang selama ini menjadi identitas dalam karya Kenyem.
Perjalanan Karir
Cerita tentang alam di belakang rumah, bukan satu-satunya kisah yang mempengaruhi karya-karya Kenyem dalam pameran kali ini. Kisah perjalanan karirnya selama menjadi perupa, juga turut memberikan pengaruh dalam karya.
Karya yang berjudul “Di Antara Pusaran”, 145×135 cm, 2016, mixed media on canvas, adalah salah satu karya yang mewakili hal tersebut. Lukisan ini menggambarkan sosok yang terhimpit di antara dua pusaran. Pusaran itu terus menghimpit, memaksa untuk dipilih salah satunya.
Kenyem sengaja menggambarkan hal itu sebagai sebuah lingkaran kehidupan. Dua pusaran itu merupakan lambang dari waktu dan pilihan. “Dalam kehidupan, terkadang ada pilihan yang harus diambil. Kita tidak bisa mengambil kedua-duanya. Itu sebabnya ada orang yang diam di tengah-tengah, sebagai gambaran kesulitan akan hal itu,” jelas Kenyem.
Karya lainnya ialah lukisan berjudul “Landscape”, 145×135 cm, 2016, mixed media on canvas. Lukisan itu merupakan kisah perjalanan Kenyem sebagai seorang perupa yang penuh liku-liku, mulai dari dasar hingga perbukitan. Bukit di kiri kanan jalan juga tak luput dari catatan serta tulisan. Semuanya merupakan simbol dari catatan-catatan perjalanan selama berproses. Semua catatan itu harus tetap dicatat, tetap diingat, dan tetap dipelajari. Meskipun catatan itu terasa pahit.
Pesan dari lukisan itu pula yang ingin disampaikan secara utuh melalui pameran tunggalnya. “Alam di belakang rumah. Kisah saya akan kenangan dari pinggir lembah Sungai Ayung. Tempat bermain masa kecil dengan batu-batu berdiri kokoh di hamparan aliran sungai. Seakan selalu mengantar kisah perjalanan saya,” kenangnya.
Tentang Patung Tanpa Nama
Kehadiran patung-patung tanpa nama dalam karya-karya Kenyem memang tak bisa dipisahkan. Namun dalam pameran kali ini, kehadiran patung-patung tanpa nama itu begitu dominan. Bagi yang sudah mengenal karya-karya Kenyem, mereka menganggapnya amat biasa. Namun banyak pula yang bertanya-tanya mengapa sosok serupa manusia itu terus hadir dalam karya, dan begitu dominan kemunculannya.
Kenyem menceritakan, patung-patung itu sebenarnya seperti daun. Bagi Kenyem daun seperti anak-anak kecil yang begitu bebas. Bergerak dihembus angin. Terbang mengikuti angin. Kadang terhempas begitu saja. Simbol-simbol tentang daun itu kemudian beralih menjadi sebuah patung.
Simbol itu kemudian masuk dalam pameran tunggal ketiganya bertajuk “Leafscape”, yang dilangsungkan di Danes Art Veranda, pada tahun 2004 silam.
Simbol itu lama kelamaan bukan hanya muncul dalam lukisan, namun juga menjadi wujud patung. Entah itu patung yang terbuat dari bubur kertas, logam, atau fiberglass. Patung itu juga selalu hadir dalam karya-karya instalasi Kenyem.
Meski sudah 12 tahun mengakrabi patung-patung itu, namun tak satu pun yang memiliki nama. Kenyem pun belum berpikir memberikan nama patung-patung itu. “Memang banyak yang tanya namanya apa atau namanya siapa. Tapi saya belum terpikir memberikan nama. Saya memang ingin mereka bebas, tanpa terikat nama,” jelas Kenyem soal patung-patung itu.
Hingga kini tak kurang dari 50 buah patung tanpa nama yang telah ia koleksi. Sebagian besar terbuat dari kertas bekas. Ukurannya bervariasi. Warnanya juga variatif. Saking eratnya hubungan Kenyem dengan patung-patung itu, ia tengah menyiapkan sebuah pameran yang khusus didedikasikan bagi mereka. Bagi Kenyem, patung-patung itu akan tetap menjadi teman sekaligus catatan perjalanannya dalam berkesenian. (T)