RIBUAN sekaa genjek dari pelbagai penjuru di tanah Karangasem, Bali, tumpah ruah di Taman Ujung, Karangasem, Rabu (10/8/2016) siang. Ada yang datang menggunakan truk, mobil pik-up, dan juga motor pribadi.
Para seniman genjek itu datang menggunakan seragam adat madya yang tak biasa. Tak biasa? Ya, karena mereka tidak datang dengan saput poleng (hitam putih) yang biasa digunakan saat pentas-pentas genjek. Semua peserta genjek kolosal itu diberikan seragam gratis berwarna biru. Birunya ambigu, antara biru dongker dengan biru langit.
Sekitar pukul 14.00 wita lebih sedikit, tamu yang ditunggu-tunggu pun datang. Bukan main, undangan yang hadir adalah Presiden ke-6 RI, Sosilo Bambang Yudoyono atau yang akrab disapa SBY. Ia selaku pemegang kendali partai berlambang biru langit. SBY datang dijamu oleh Bupati Karangsem, IGA Mas Sumatri, yang kini bermukim di partai biru dongker.
“Niki wastane genjek Demokrat rasa Nasdem, Pak. Hahahahaha,” celetuk seorang pria yang mengenakan udeng dan saput berwarna biru itu saat penulis menanyakan genjek apa yang tampil saat itu.
Undangan yang datang ke acara genjek kolosal itu memang rata-rata tamu VIP. Terlihat pula pimpinan Partai Golkar Setya Novanto. Ia duduk di sebelah Wakil Gubernur Bali I Ketut Sudikerta yang sama-sama berada di partai berlambang beringin yakni Golkar. Terlihat juga pejabat penting lain.
Dengan pementasan genjek kolosal itu Bupati Karangasem IGA Mas Sumatri ingin mempopulerkan Genjek Karangasem ke kancah nasional bahkan dunia. Dihitung dari sudut pandang niat, memang positif. Dalam sambutannya, Mas Sumatri bahkan mengatakan, dengan pergelaran genjek kolosal itu diharapkan harkat dan martabat masyarakat Karangasem semakin terangkat.
Namun, dalam pentas itu, kesan yang tampak justru malah merendahkan taksu dan harkat martabat budaya dan tradisi masyarakat sendiri. Sebab, genjek itu “dipaksakan” tampil dengan kostum serba biru yang justru membuat kesenian rakyat itu tampak kehilangan taksu.
Pentas genjek kolosal itu tak ubahnya seperti kampanye partai politik atau kampanye pilkada di lapangan umum. Para penggenjek seolah-olah berasal dari golongan biru. Mereka membawa bendera sambil kepanasan dan berteriak merdeka. Melihat riuh itu, tampak seperti masyarakat golongan biru sedang merayakan atau menyambut Hari Kemerdekaan RI. Yang menarik, bahkan patung di areal pentas itu pun menggunakan saput biru.
Informasi di sejumlah media cetak menyebutkan Pemerintah Kabupaten Karangasem tidak merogoh kotak APBD untuk membiayai pementasan genjek yang melibatkan 15 ribu lebih rakyat Karangasem itu. Dikutip dari salah satu media cetak di Bali, dana pergelaran genjek itu dipasok dari uluran duit sejumlah pihak dan tentu saja dari sejumlah politikus.
Politik Warna
Sumbangan dari politikus tentu saja tidak gratis. Ada kompensasi yang tak wajib namun disepakati sebagai suatu “keharusan” oleh pihak penyumbang dana maupun pihak penerima dana.
Buktinya genjek kolosal di Taman Ujung itu membiru. Biru adalah sebuah kompensasi. Warna itu tentu erat kaitannya dengan kedatangan SBY dan si penguasa wilayah Mas Sumatri yang kini duduk di partai berlambang biru juga.
Partai politik harusnya tak mendikte sebuah tradisi dan kebudayaan. Harusnya menjaga kebudayaan tanpa embel-embel timbal balik berupa keuntungan golongan. Entah disengaja atau tidak, itu urusan mata. Mata tetap keseleo melihat genjek tiba-tiba berwarna serba biru.
Memang spirit genjek tidaklah soal pakaian yang dikenakan, tapi soal paduan suara dari masing-masing peserta dengan diiringi tabuh. Namun, mata penonton tak bisa dibohongi. Harusnya pentas genjek kolosal untuk meraih penghargaan Muri itu dibiarkan apa adanya. Jika konsep genjek kolosal macam yang digelar 10 Agustus itu, sebetulnya tak perlu sumbangan saput dan udeng biru.
Masing-masing keluarga Bali pastinya punya saput poleng. Tinggal disuruh semua peserta membawa saput poleng dari rumah. Oke kalau udeng bolehlah berwarna biru. Tapi genjek itu hampir semua kostum dibuat biru. Alamak.
Persoalan mencari keuntungan politik dengan memberi untuk mendapatkan keuntungan golongan memang sudah lumrah. Tapi yang harus diperketat adalah soal dikte mendikte kebudayaan. Jangan sampai tradisi budaya Bali menjadi momen untuk meraih kekuasaan. Jangan budaya dan tradisi Bali hanya jadi ajang memplintir informasi ke publik.
Masyarakat Bali harus ketat terhadap kebudayaan dan tradisinya masing-masing. Biarkan kebudayaan itu mengalir tanpa diobrak abrik, tanpa didikte, dan lain sebagainya. Masyarakat Bali harus lebih berani melawan ancaman pengkerdilan taksu dan budaya Bali.
Tentunya persoalan serupa tak hanya dilakukan oleh golongan partai biru saja. Politik warna sepertinya menular ke semua partai politik. Jika PDIP berkuasa, warna merah seperti mendominasi dalam semua kegiatan, tak peduli apakah itu kegiatan formal, spiritual, maupun sekular. Dulu, di zaman Orde Baru saat Golkar berkuasa, warna kuning merajalela di mana-mana bahkan hingga ke Pura saat odalan. Begitu juga saat yang biru berkuasa.
Cemooh, sindiran dan ketidaksetujuan selalu ada. Namun “penyakit warna” dalam politik tak pernah hilang. Bahkan kadang dilakukan oleh pihak yang dulu kerap melontarkan cemooh. Saat partai kuning berkuasa, orang-orang dari partai merah mempertanyakan kenapa kaos PNS, ider-ider di Pura, atau cat trotoar melulu berwarna kuning. Tapi saat partai merah berkuasa, mereka tanpa malu-malu meniru mentah-mentah pihak yang dulu dicemooh.
Yang selalu jadi korban politik warna, selain kelompok-kelompok kesenian, biasanya juga dunia PNS. Di sebuah pemerintah daerah di Bali, setiap Jumat pegawainya mengenakan seragam merah untuk kegiatan bersih-bersih, jalan santai atau kegiatan lain. Tentu karena kepala daerah pegawai itu berasal dari partai dengan simbol warna merah. Masih banyak lagi contoh lainnya.
Memang banyak orang sadar bahwa politik warna sudah tak banyak manfaat, terutama pada zaman modern ini, ketika nalar dan logika manusia sudah mulai berkembang. Kini banyak simbol, termasuk simbol-simbol warna, sudah kehilangan tuah dan makna.
Apakah bisa dijamin ketika ribuan sekaa genjek menggunakan kostum serba biru, atau sekaa balaganjur menggunakan kostum serba merah, akan bisa membius orang untuk langsung memilih biru atau merah dalam politik? Tentu saja tidak. Namun kebiasaan buruk para politikus untuk memaksakan warna tertentu ke dalam ruang-ruang seni-budaya, atau bahkan ruang-ruang sakral tampaknya tak pernah hilang. Justru kebiasaan itu sepertinya makin dilombakan.
Salam Merdeka! (T)