Judul Buku : Badriyah # Pengarang : Ayu Weda # Penerbit : Gambang Buku Budaya # Tahun Terbit : Maret 2016 # Jumlah Halaman : xiv + 207 halaman # ISBN : 978-602-6776-15-0
PEREMPUAN adalah sosok yang paling sering dijadikan objek dalam banyak hal. Sosok perempuan bisa kita temui dengan mudah di dalam iklan-iklan, di dalam lukisan, atau di dalam cerita. Para pencipta iklan menampilkan sosok perempuan untuk menjual produk mereka. Para seniman menciptakan sosok perempuan dalam lukisannya untuk memberitahu orang banyak tentang keindahan, kekuatan, dan kelemahan perempuan.
Para sastrawan dan penyair menguraikan sosok perempuan dalam bahasa yang menakjubkan. Tidak ketinggalan juga, para pakar dan peneliti begitu seriusnya menjelajahi sosok perempuan dan kehidupannya.
Perempuan dan kehidupannya adalah sesuatu yang dianggap sangat menarik. Sosok perempuan dan kehidupannya adalah sesuatu yang begitu ditunggu-tunggu oleh banyak orang. Perempuan memiliki keindahan dalam dirinya. Keindahan yang hanya bisa diciptakan oleh Sang Maha Pencipta. Perempuan menyimpan banyak sekali misteri dalam dirinya. Semakin banyak misteri yang disimpannya, semakin menarik perempuan itu.
Hal itulah yang mungkin menginspirasi Ayu Weda, yang juga seorang perempuan, untuk menguraikan sosok perempuan dan kehidupannya yang sangat kompleks. Jalan yang dipilih oleh Ayu Weda untuk menguraikan sosok perempuan dan kehidupannya itu adalah cerita pendek yang kemudian disusunnya menjadi sebuah antologi cerpen berjudul Badriyah.
Dalam Badriyah terdapat dua belas cerpen yang hampir semuanya menempatkan perempuan sebagai tokoh utama atau menempatkan perempuan sebagai tokoh yang berpengaruh terhadap tokoh utama. Hal tersebut semakin didukung dengan judul antologi ini yang menggunakan nama seorang perempuan; Badriyah.
Sosok perempuan yang diuraikan dalam antologi ini adalah sosok perempuan masa kini dengan masalah dan kehidupannya yang sangat kompleks. Kisah perempuan dengan perjuangan dan pilihannya, kisah perempuan dengan perjalanannya, kisah perempuan dan dualismenya, serta kisah-kisah lain yang juga tidak luput dari campur tangan perempuan.
Kisah pertama, yaitu kisah perempuan dengan perjuangannya. Berada dalam sebuah negara yang merdeka ternyata tidak bisa membuat perempuan berhenti berjuang. Ada bagian-bagian dalam hidupnya yang harus selalu diperjuangkan, bahkan dimerdekakan. Perjuangan menentukan pilihan, salah satunya. Dalam Badriyah, hal tersebut dapat dengan mudah dilihat, seperti pada beberapa penggalan cerpen berikut.
Aku tidak mau seperti mereka. Aku tidak mau menjadi perempuan yang tidak berdaya sehingga memilih cara hidup seperti itu. Seringkali para isteri ini hanya menjadi ‘kanca wingking’ yang tidak memiliki peran banyak dalam pengambilan keputusan. Semua keputusan keluarga dipegang dan ditentukan sepenuhnya oleh suami (Badriyah, 11)
“Kamu! Suami kurang ajar! Jangan kamu pikiraku takut sama kamu! Ingat! Catat! Tanggal berapa, jam berapa sekarang. Semua kejadian ini akan aku pakai menggugat kamu di pengadilan!” Habis sudah kesabaran Ratna (Psikopat, 95)
Terkadang Nur merasa orang yang hidup di kota seolah-olah sudah menjadi orang penting semua. Dari kegiatan memencet tombol ponsel yang tiada henti hingga berkerumun menghadiri acara demi acara yang tak jelas gunanya untuk apa. Di desa waktu menjadi miliknya. Nur yang mengatur waktu, bukan sebaliknya. Dia merasa bagai orang kaya yang bisa mengatur dirinya sendiri. (Capsa, 103)
Sudah hampir setahun mereka bercerai. Dua anak kandung, lima anak asuh nekad dibawa meski belum jelas bagaimana kelak Rusmini menghidupi anak-anak itu. Dia belum punya pekerjaan tetap. Warung lesehan, usaha yang dirintis sejak perceraiannya dengan Zulkifli, tak cukup untuk membiayai tujuh anak yang kini menjadi tanggungannya. (Anak, 111)
Namun Renata bukanlah perempuan dengan keinginan sederhana. Dia terobsesi menjadi perempuan sukses, bukan sekedar sebagai istri yang hanya bergantung kepada harta suami. Ada impian yang ingin dicapainya; menjadi penari tango profesional. (Penari Tango, 172)
“You not fair! You mengeksploitasi kami untuk mendapat harga murah. I kick you from my country,” ucapnya bagai serdadu yang sedang mempertahankan wilayahnya yang terus dikuasai musuh. (Putu Laras, 154)
Kali ini yang ditaksirnya seorang pemuda pendiam asal luar daerah yang tengah merantau di Bali. Dengan tekun didekatinya pemuda pemalu itu. Dengan segala cara, Putu Laras mencoba menarik perhatian dan simpati. Usahanya berhasil. Pemuda itu mulai membuka diri setelah satu minggu berjuang. (Putu Laras, 156)
Beberapa penggalan cerpen tersebut menunjukkan betapa penulis ingin memberitahu pembaca tentang kompleksnya perjuangan perempuan. Bukan lagi perjuangan untuk sekadar menginginkan kesetaraan dengan laki-laki, melainkan perjuangan yang lebih kompleks, yakni perjuangan sebagai manusia yang dilahirkan dengan nama perempuan dan hidup pada zaman sekarang. Perempuan berjuang menolak dan memilih mengakhiri sesuatu yang membuatnya tidak nyaman, seperti pada penggalan cerpen ‘Badriyah’ dan ‘Psikopat’.
Perempuan memperjuangkan apa yang seharusnya menjadi miliknya, memperjuangkan waktu dan juga memperjuangkan anak, seperti pada cerpen ‘Capsa’ dan ‘Anak’. Perempuan memperjuangkan mimpinya, seperti pada penggalan cerpen ‘Penari Tango’. Perempuan memperjuangkan usaha miliknya dan memperjuangkan cintanya, seperti pada cerpen ‘Putu Laras’.
Kisah kedua, yaitu kisah perempuan dengan perjalanannya. Selain menceritakan tentang perjuangan perempuan, cerpen-cerpen dalam Badriyah juga menceritakan tentang perjalanan perempuan. Pergerakan perempuan dari satu titik ke titik lain dalam hidupnya hingga perempuan sampai pada suatu akhir yang tidak pernah diduganya, seperti yang terlihat pada penggalan-penggalan cerpen berikut.
Kini Ambra telah lepas dari rasa keterkungkungan. Ambra makin tahu dan yakin dengan langkah hidupnya. Setelah sekian lama menunggu, Ambra menemukan dia tidak perlu lagi merasa berada dalam sangkar, karena itulah sejatinya rumahnya. (Badanku Rumahku, 207)
“Saya sebenarnya sudah menemukan cinta sejati saya, tapi dia tak lebih seperti ‘Gunung Fujiyama’. Biar sajalah seperti itu. Percintaan kami yang tak pernah selesai, memacu saya untuk makin berprestasi mengukir kesuksesan.” (Putu Laras, 158)
We Mundri tahu persis bagaimana harus mengabdi. Dia berharap banyak pada keluarga kami untuk bisa menampung anak, menantu,bahkan keponakannya untuk bekerja di keluarga kami. Dia tidak ingin anak menantunya terbelit kemiskinan hidup di desa seperti dirinya. Di usia lanjut ini We Mundri masih harus sibuk mengurus perceraian anak perempuannya yang sering dihajar suami.(We Mundri, 140)
Tokoh-tokoh seperti Ambra, Putu Laras, atau We Mundri adalah cerminan perempuan dan perjalanannya pada saat ini. Masing-masing perempuan memiliki perjalanan yang berbeda dengan akhir yang berbeda pula. Ambra dengan akhir perjalanannya yang penuh dengan renungan. Putu Laras dengan akhir perjalanan yang penuh dengan kesadaran. Juga We Mundri, dengan akhir perjalanan yang tetap penuh dengan pengabdian.
Perjalanan-perjalanan tersebut seolah-olah terus mengingatkan pembaca bahwa kehidupan perempuan saat ini tidak lagi sebatas pada pencarian kesetaraan, tetapi tentang menjalani kehidupan sebagai manusia yang dilahirkan dengan nama perempuan.
Kisah ketiga, yaitu kisah perempuan dengan dualismenya. Karya apa pun yang menempatkan perempuan sebagai objek, umumnya menampilkan dualisme perempuan. Perempuan memiliki dua sisi dalam dirinya yang tidak bisa dipisahkan, seperti dua sisi mata uang. Hampir semua hal yang berlawanan bisa ditemukan sekaligus dalam diri seorang perempuan. Berjuang dan menyerah. Indah dan rapuh. Menawan dan menakutkan. Dualisme inilah yang selalu menarik untuk diceritakan, termasuk dalam Badriyah, seperti yang terlihat pada penggalan-penggalan cerpen berikut.
….Badriyah mengutarakan maksud kedatangannya padaku. “Ning, apa ndak enak hati sama saya? Apa tidak sebaiknya diterima saja nasib kita ini? Mungkin sudah nasib kita seperti ini.”(Badriyah, 12—13)
Rusmini memilih menyerah dan menerima pinangan menjadi istri kedua juragan tambak udang. Dia enggan hidup dalam kemiskinan. Tak bisa dipungkiri saat Zulkifli dan Rusmini bersama-sama berjuang memelihara anak-anak terlantar, Rusmini pernah merasakan hidup yang serba mentereng dan berkecukupan. (Anak, 125)
Sikap dan sifat perempuan memang aneh. Apa yang dipikirkan dan apa yang dilakukan seringkali berbeda; bahkan bertolak belakang. (Badriyah, 6)
Dualisme perempuan dalam cerpen-cerpen Badriyah ditampilkan dalam dialog tokoh dan narasi, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dualisme itu ditampilkan melalui sikap tokoh-tokohnya terhadap peristiwa yang dialaminya. Misalnya, dalam cerpen ‘Badriyah’, ketika tokoh Aku berusaha melupakan mantan suaminya, Gus Nukman, tokoh Badriyah justru mengajak tokoh Aku untuk rujuk kembali dengan Gus Nukman dan bersedia hidup bersama dengannya sebagai istri-istri Gus Nukman.
Begitu pula tokoh Rusmini pada cerpen ‘Anak’. Ia akhirnya menyerah pada perjuangannya dan menerima pinangan laki-laki kaya karena ia tidak ingin dirinya dan anak-anaknya hidup dalam kemiskinan. Perempuan bukannya tidak menyadari dualisme dalam diri mereka. Mereka sadar betul dengan hal itu, seperti yang disampaikan oleh tokoh Aku pada penggalan cerpen ‘Badriyah’ di atas.
Namun, mereka juga sadar bahwa dualisme itu tidak akan bisa dilepaskan dari diri seorang perempuan. Apa pun alasannya, perempuan akan selalu hidup dengan dualisme dan pertimbangan-pertimbangan dalam dirinya.
Ketiga kisah tentang perempuan itu diuraikan dengan bahasa yang baik oleh Ayu Weda di dalam cerpen-cerpennya. Bahasa yang digunakan dalam cerpen-cerpennya mudah dimengerti, meskipun di beberapa bagian terdapat kesalahan-kesalahan kecil berkaitan dengan ejaan.
Gaya Ayu Weda bercerita dalam Badriyah seperti seseorang yang bercerita kepada sahabat lamanya setelah ia melakukan perjalanan yang panjang dari satu tempat ke tempat lainnya. Kalimat-kalimat yang cukup panjang membuat narasinya begitu detail. Dengan kalimat-kalimat itu Ayu Weda mampu menceritakan dengan baik hal-hal kecil yang dialami tokoh-tokoh dalam cerpennya. Hanya saja dari satu narasi ke narasi berikutnya terkadang tidak saling berkaitan secara langsung sehingga menyebabkan pengulangan narasi di bagian lainnya.
Selain itu, terkadang fokus cerita dalam beberapa cerpen di antologi ini terlalu meluas sehingga tokoh yang seharusnya menjadi pusat cerita tertutup oleh cerita tokoh lainnya. Cerpen ‘Badriyah’, misalnya.
Pada cerpen ‘Badriyah’ terlihat bahwa yang lebih banyak diceritakan adalah kisah tokoh Aku, bukan tokoh Badriyah. Tokoh Aku menceritakan perasaannya ketika didatangi oleh Badriyah. Tokoh Aku menceritakan kekecewaannya ketika Badriyah mengatakan akan menikah dengan Gus Nukman, mantan suami tokoh Aku. Tidak dijelaskan alasan lebih dalam mengapa Badriyah akhirnya mau dinikahi oleh Gus Nukman atau bagaimana kehidupan Badriyah sebagai janda seorang kiai hingga akhirnya memutuskan menikah kembali dengan orang dari kalangan yang sama dengan almarhum suaminya.
Hal yang hampir sama terjadi pada cerpen ‘Kasto’. Cerita tentang tokoh Jeng Wilda hampir menyamai cerita tentang tokoh utama, Kasto.
Akan tetapi, hal tersebut bukanlah kendala untuk menikmati cerpen-cerpen dalam Badriyah. Secara umum, cerpen-cerpen dalam Badriyah tergolong mudah dipahami dan sangat berkaitan dengan kehidupan sehari-hari, terutama kehidupan perempuan. Di hampir semua ending cerpennya, Ayu Weda menyampaikan secara langsung pesan atau harapan yang terkandung dalam cerpen tersebut, seperti pada penggalan cerpen berikut.
Wilda hanya mampu menatap langit yang sedemikian luas dan menyediakan segala kemungkinan. Seperti halnya Kasto yang mampu menjadikan sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin. (Kasto, 34)
“Selamat mengemban tugas-tugas negara, Pak. Semoga engkau tak pernah kehilangan nurani, meski berada di sarang penipu dan penjarah negeri.” (Pak Menteri dan Rakyatnya, 78)
Nur menyimpulkan bahwa bermain ‘capsa’ merupakan sarana orang untuk menata hati. Dalam permainan ‘capsa’ terkandung unsur kalah dan menang yang bisa bermanfaat untuk menata hati….Wajah mereka Nampak sangat terang dan bahagia dalam hidupnya…. Nur mendapat pemahaman itu. Dalam hidup ini semuanya berpangkal pada soal rasa….Kalah menang itu biasa. Hadapilah semua masalah dengan tawa riang jika hendak mencapai ketenangan! (Capsa, 107—108)
Walaupun terkungkung dalam sangkar, jangan merasa sangkar itu membatasimu karena itu adalah rumahmu sendiri. Tidak perlu saling membandingkan kehidupan satu dengan kehidupan lainnya. Selamat bergerak Ambra. Kepakkan sayap bebasmu tanpa merasa ada di dalam sangkar. Badanmu adalah rumahmu! (Badanku Rumahku, 208)
Pada akhirnya, dapat dipahami bahwa Badriyah adalah kisah-kisah perjalanan perempuan masa kini dengan perjuangan dan dualisme-nya yang tidak dapat dipisahkan. Badriyah adalah kisah-kisah perjalanan perempuan yang ditulis oleh seorang perempuan yang juga sudah melewati begitu banyak perjalanan.
Badriyah layak dan patut dibaca tidak hanya oleh manusia yang lahir dengan nama perempuan, tetapi juga oleh siapa saja yang ingin mengetahui dan memahami perjuangan, perjalanan, dan dualisme ala perempuan masa kini. (T)
Kemenuh, Juni—Agustus 2016