PADA akhir hidup seorang manusia, dunia tidak mengenal orang yang setengah-setengah. Hitam ya hitam, putih ya putih. Pahlawan atau Penjahat. Tidak ada yang mengenal si abu-abu. Baik, ataukah buruk. Padahal ada titik hitam di dalam putih yang luas, ada titik putih di dalam hitam yang luas, bersinergi, membentuk sebuah kesatuan. Yin dan Yang.
Memang terasa tidak adil, ketika orang-orang hanya akan mengenangmu dari sebuah cuplikan peristiwa, dari sebait tulisan ataukah dari perlakuanmu terhadap mereka semasa hidup sehingga mereka bisa merasa. Tapi itulah dunia, bisa juga kau terlupakan begitu saja ketika tinggal namamu saja, sementara jiwa telah pergi ke alam sana.
Kita semua suka berkomentar, dari hal-hal besar sampai hal yang remeh-temeh. Dari menulis opini di koran sampai sekedar status di media sosial. Jika nanti kita mati, maka mungkin saja kita akan dikenal sebagai I Anu yang suka buat status anu di media anu. Jika nanti kata-kata yang disampaikan tidak terbukti, fitnah itu akan tetap abadi, bisa diakses tanpa bisa kita mengklarifikasi lagi. Betapa mengerikannya, tidakkah kau pikirkan?
Tulisan, adalah salah satu jalan menuju keabadian. Raga bisa tiada, tapi tulisan, selama masih ada media akan bisa terus terbaca. Turun temurun, dari anak ke cucu, dari cucu ke cucunya lagi, dari generasi ke generasi. Maka tidak heran bahwa banyak yang kita anggap kebenaran yang dituturkan oleh tetua kita yang dipertentangkan, membuat kita di dunia ini bermusuhan dan terasa membingungkan. Ketika sang penulis tiada, kita telah kehilangan jejak untuk sekedar menanyakan apakah kebenaran ataukah hanya sebuah kiasan dan angan saja. Siapakah lagi yang bisa menjawabnya?
Satu atau dua bait kalimat yang menurut kita tidak apa-apa, dibaca oleh jutaan pasang mata yang begitu banyaknya. Dikomentari dalam pikiran masing-masing mereka. Dirasa oleh masing-masing hati mereka. Ada yang gembira, ada yang nelangsa, ada yang biasa saja. Begitu kuatnya pengaruh tulisan dan kata-kata, terlebih semua bisa kita dapatkan dalam satu genggaman saja.
Satu hal yang lucu lagi, zaman kini salah kata saja bisa masuk penjara tapi sindir menyindir dianggap biasa. Suku, ras dan agama menjadi sebuah objek tulisan nyata yang gampang saja membakar ego hingga kita perang saudara. Fanatisme dikobarkan, aku benar dan kamu salah. Aku pahlawan dan kamu penjahatnya. Kita terlalu sering melihat ke luar tanpa ingat menoleh ke dalam, siapakah I Anu yang ada di diri ini?
Kita bisa membuat kekuatan besar tulisan untuk menyuarakan kebaikan, memberikan dukungan, memberikan kontribusi-kontribusi yang berarti, saran usulan atau lebih baik lagi pergerakan? Jangan mau hanya dikenang sebagai I Anu komentator (apalagi bayaran) yang senang menghakimi, karena siapa tahu esok hari kita sudah mati tanpa bisa meralatnya lagi.
Jangan mau menjadi korban “klik dan bagikan” hal-hal yang belum tentu adalah kebenaran. Siapa tahu itu hanyalah tunggangan bagi orang-orang yang berkepentingan. Saat ini kebenaran telah terdistorsi oleh berbagai sudut pandang si pembuat tulisan dan fulus-fulus yang bergentayangan.
Ya, tulisan ini memang untuk persuasi, namun jika memang menjadi tak berarti bagimu sendiri maka apa daya, dunia menjadi seru juga jika ada antagonisnya. Selama hitam dan putih masih seimbang, bumi akan tetap berputar dan tulisan-tulisan akan tetap bertebaran, membawa berita berbagai perihal.
Semoga kita semua bisa membawa kebaikan masing-masing yang kita inginkan. Semoga kita bisa menjadi I Anu yang kita impi-impikan. Karena esensi hidup hanyalah tentang bagaimana campur tangan pemikiran-pemikiran kita selama di dunia, karena semua ini hanyalah tentang bagaimana kita akan dikenang setelah pergi ke alam sana. (T)