(Tulisan ini dibuat dalam rangka menyongsong Serasehan Drama Gong yang rencananya digelar di Denpasar, 6 Agustus 2016)
DI Bali, sebelum lahirnya institusi pendidikan seni dan Pesta Kesenian Bali, banyak terdapat gaya kesenian yang berbeda padahal berasal dari satu genre kesenian yang sama. Misalnya, gong kebyar, gong kebyar di Bali utara secara fisik perangkatnya berbeda dengan gong kebyar di Bali selatan.
Kemudian wayang, wayang di Bali utara ukurannya lebih besar di bandingkan dengan wayang di Bali selatan. Seni ukir pun demikian. Coba perhatikan seni ukir yang ada di pura-pura tua di Buleleng, semisal di pura Meduwe Karang di Kubutambahan Buleleng, pasti bun-bunannya dan motif wajah Boma berbeda karakter dan detailnya dengan ukiran di Bali selatan. Perbedaan gaya ini disebabkan kreatifitas para seniman setempat mengkreasi karya seni dan kesenian sesuai nafas dan karakter masyarakat yang sudah tertanam secara turun temurun.
Kondisi Buleleng yang nyegara-gunung, serta lebih dahulu menerima pengaruh barat yang diawali dari kehancuran akibat peperangan dengan kolonial pada masa itu, dan dijadikannnya Buleleng oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai pusat pemerintahan dan pendidikan mengakibatkan Buleleng lebih terbuka dan dinamis dalam berkreasi.
Tak mengherankan kemudian, di Buleleng ditemukan ada pura yang salah satu relief ukirannya menyajikan seseorang sedang naik sepeda, juga ada relief yang menggambarkan sejumah orang naik mobil. Perbedaan gaya dalam karya seni dan kesenian ini, serupa dengan dialek setiap daerah di Bali ketika mengucapkan bahasa Bali. Perbedaan gaya ini sesungguhnya adalah berkah yang harus dijaga, tetapi kehadiran institusi pendidikan seni dan juga Pesta Kesenian Bali (PKB) yang menguasai diskursus seni dan kesenian di Bali justru melemahkan aneka gaya seni dan kesenian itu.
Peran seniman daerah yang melahirkan kreasi dari proses laboratorium di banjar atau desa-desa kalah pamor dengan seniman akademisi. Kreasi seni apa pun yang datang dari seniman akademisi langsung menjadi kiblat. Dalam fase ini, seorang teman mengungkapkan pernah ada kebijakan kesenian yang menstandarkan laras gong kebyar. Akibatnya kekayaan bunyi gong kebyar menjadi seragam. Namun seiring perjalanan waktu, para akademisi seni mulai menyadari pentingnya memelihara berbagai warisan gaya seni dan kesenian yang sangat kaya di Bali.
Salah satu kesenian di Bali, yang memiliki gaya berbeda tapi satu genre adalah drama gong. Dalam drama gong pun mengalami masalah, ancaman penyeragaman. Ancaman ini justru terjadi di perhelatan Pesta Kesenian Bali 2016.
Memang tidak secara lugas penyeragaman disampaikan oleh seseorang yang kebetulan dipercaya menjadi pembina dan juri drama gong, namun dalam tiga tahun atau tepatnya tiga kali saya mengamatinya pada tahun berbeda ketika memberi pembinaan drama gong di daerah Buleleng, jika tidak disikapi akan berdampak pada penyeragaman gaya drama gong dengan dalih pakem drama gong. Jika mengatasnamakan pakem drama gong, pertanyaannya apakah drama gong memiliki pakem?
Gaya Bali Selatan
Ketika sebutan drama gong dicetuskan oleh I Gusti Bagus Nyoman Panji selepas melihat pertunjukan drama klasik garapan AA Gede Raka Payadnya pada tahun 1966, sesungguhnya drama itu adalah produk yang gagal dari rencana menggarap kesenian sendratari.
Payadnya memaparkan, saat itu, dirinya bermaksud membuat sendratari untuk ditampilkan sebagai hiburan di pura di desanya Abianase Gianyar, namun karena waktu mepet dan para pemain tidak mahir menari, maka lahirlah suatu garapan drama klasik yang diiringi gong kebyar selayaknya sendratari. Kebetulan sebelumnya AA Payadnya sekolah di Kokar (sekarang menjadi SMKI) dan ikut pentas sendratari, selain itu Payadnya juga pernah terlibat sebagai penabuh dalam garapan drama klasik yang sudah ada sebelum ada drama gong.
Karena didesain membuat sendratari, maka sudah sewajarnya drama gong ini mendapat pengaruh yang besar dari sendratari. Hal ini bisa diamati dari iringan drama yang memakai gong kebyar lengkap secara penuh dari awal sampai akhir pertunjukan, artistik panggung bersifat minimalis di mana hiasan panggung hanya candi bentar di panggung, sedangkan hiasan wajah mengadopsi make up penari dengan ciri-ciri, antara lain para pemain menghias wajah yang menonjol diperan pria yang memakai pensil, eye shadow, eye liner, pewarna pipi, dan lipstik.
Sementara itu dalam hal dialog pemain, pada awal drama gong dibuat yang mengusung lakon “Jayaparan Layonsari” memakai bahasa campuran Indonesia dan Bali. Entah sampai berapa lama memakai bahasa campuran digunakan di atas panggung. Dari catatan, seorang peneliti Amerika, Fredrik de Boer dalam makalahnya “Two Modern Balinese Theatre Genres: Sendratari and Drama Gong” mengaku melihat drama garapan AA Payadnya yang mengusung novel AA Panji Tisna, “I Swastha Setahun di Bedahulu” memakai bahasa Bali.
Sedangkan Payadnya mengungkapkan bahwa pertunjukan tersebut digarapnya lima atau enam tahun sesudah ia menggarap drama gong pertama kalinya (Nyoman Darma Putra, 2009). Dengan demikain dapat diperkirakan pemakaian bahasa Bali dalam pertunjukan drama gong terjadi tahun 1972.
Pengaruh sendratari, juga terlihat di sejumlah grup drama gong, ketika menyajikan adegan sidang, dimana dua prajurit keluar mengangkat kursi dengan cara menari. Masih banyak varian kreasi lainnya dari sejumlah drama gong yang terus menjamur di banjar-banjar dan desa.
Selain dipengaruhi sendratari, perkembangan drama gong selanjutya dipengaruhi oleh kesenian bondres. Pengaruh bondres, bisa ditelusuri dari riasan wajah para tokoh parekan yang banyak mengadopsi wajah-wajah lucu dan kartun dari topeng bondres. Hal ini bisa dilihat pada sejumlah tokoh parekan atau pembantu seperti Petruk, Dolar, Dadab, Kiul, Cedil, dan Lolak.
Pengaruh bondres rupanya tidak hanya pada riasan wajah parekan, juga menyentuh pada kebebasan berakting yang menghancurkan batas-batas strata para pemain, semisal seorang parekan bisa memegang kepala raja muda buduh, dan memegang leher tokoh Patih Agung yang antagonis. Pada era yang sama, dalam garapan sendratari yang dipertunjukkan di PKB juga terjadi kebebasan menafsirkan tokoh antagonis yaitu tokoh Sekuni.
Dalam garapan sendratari itu tokoh Sekuni dibuat konyol dan lucu, padahal dalam kisah Mahabrata, Sekuni bukan tokoh lucu tetapi tokoh yang berpengaruh tetapi licik karena menggunakan segala cara untuk memenangkan kekuasaan para keponakannya. Penafsiran tokoh Sekuni yang dilucu-lucukan ini, saya masih ingat, ditentang keras oleh Prof.Murdowo, seorang dokter yang juga budayawan dan pelukis.
Tetapi karena para kreator seni panggung terus menafsirkan bahwa para penonton perlu hiburan yang lucu. Dan untuk menjaga kehadiran dan keajegan penonton harus ada yang lucu. Ini mengakibatkan masuknya pengaruh bondres dalam drama gong tidak bisa dihindarkan dan dikekang lagi.
Gaya Bali Utara
Jika di Bali selatan, drama gong dipengaruhi oleh sendratari (seni drama dan tari) maka di Buleleng, drama gong dipengaruhi oleh kesenian Stambul, suatu sandiwara yang hadir pada jaman pemerintahan kolonial Belanda. Darma Putra mengungkapkan Stambul sudah masuk ke Singaraja tahun 1895.
Pada tahun-tahun selanjutnya beberapa kali tercatat adanya pementasan Stambul, misalnya tanggal 25 Mei 1925. Kehadiran Stambul dalam catatan yang tertulis di kalawarta Bali Adnyana mendapat sambutan yang bagus karena penontonnnya penuh. Selain itu, AA Panji Tisna, raja Buleleng yang juga dikenal sebagai sastrawan mendirikan kelompok Stambul di tahun 1930.
Selain Stambul, tradisi berteater di Buleleng yang juga mempengaruhi drama gong adalah tonil dan sandiwara yang lahir pada masa pendudukan Jepang. Saya masih ingat, seorang nenek di desa saya Banyuning, Nini Sulit, mengisahkan ketika remaja ia sudah bermain sandiwara. Dialah yang menjadi penyanyi yang tugasnya tampil dalam pergantian babak cerita.
Kehadiran Stambul, tonil dan sandiwara sangat melekat di memori kolektif seniman Buleleng. Karenanya, ketika muncul genre drama gong dan sampai ke Buleleng, seniman Buleleng tidak gagap dan langsung membuat kreasi yang lebih dari drama gong yang digarap oleh Payadnya. Kreasi lebih itu adalah penggunaan tenda atau layar besar yang berisi lukisan lokasi peristiwa dari setiap adegan atau babak.
Sekelompok sekeha drama gong di Buleleng pada masa itu, minimal membawa lima sampai tujuh tenda dengan lukisan berbeda di setiap kali pentas. Kreasi tenda dalam drama gong adalah warisan kesenian Stambul. Selain pemakian tenda, pengaruh lainnya adalah adanya perkenalan pemain di awal pertunjukan. Ini misalnya pernah ditampilkan oleh drama gong Tamblang ketika menyuguhkan cerita Jayaprana-Loyonsari.
Pengaruh Stambul juga terlihat pada kreasi penajaman suasana dramatik pertunjukan drama gong. Untuk itu, kreator drama gong Buleleng membuat sejumlah trik artistik untuk membuat gelombang air seperti yang dikreasi oleh drama gong Sanggalangit. Lalu adanya kuburan yang meledak ketika adegan Ingtay berdoa di kuburan Sampik yang disajikan oleh drama gong Puspa Anom Banyuning.
Seorang teman, Adnyana Ole, mengaku ketika menonton drama gong Buleleng di desanya di Marga, Tabanan, ia selalu tertarik menonton kesibukan crew (kru) drama di belakang panggung, dan terkagum-kagum bagaimana para kru bersungguh-sungguh menjalankan perannya sebagai penata panggung agar pertunjukan itu sukes dan berkesan. Sehingga berbagai trik pertunjukan pun dari semburan asap, letusan, kupu-kupu terbang, kuburan terbuka, berhasil tampil sempurna.
Selain terpengruh di bidang artistik, pengaruh dalam gaya pendramaan juga tampak. Hal ini saya sadari ketika saya menonton drama gong Sampek Ingtay garapan asli Puspa Anom. Asli yang saya maksudkan, sejumlah pemain utamanya masih ada. Bintangnya adalah Sujana Jedur sebagai Sampek, dan Jero Sari sebagai Ingtay. Ini pertunjukan sekitar tahun 2002 di Sasana Budaya Singaraja.
Sebelumnya saya tinggal di Denpasar, dan hanya menonton drama gong seperti Bhara Budaya, DKD, BBT dan sejenisnya melalui televisi. Selama di Denpasar saya juga aktif berkreasi teater dalam berbagai jenis aliran teater barat sehingga sedikitnya saya tahu adanya seni sandiwara yang mengusung realisme.
Dan ketika menonton Sampik Ingtay, saya terkejut, drama ini sangat berbeda dengan drama gong Bali selatan, sangat realis layaknya pertunjukan sandiwara. Saya terpesona ketika Ingaty menerima Sampik di rumahnya, mereka duduk di masing-masing kursinya yang dibatasi sebuah meja. Setelah berbasa-basi, Ingtay memberi Sampik minuman botol, lalu lanjut menyorongkan sebatang rokok serta membantunya menyalakan korek api. Sungguh mesra adegan itu, dan seakan-akan adegan itu akan berakhir manis, namun kenyataannya itulah awal Sampik terluka hatinya, terpukul batinnya.
Dari sejumlah judul drama gong yang dikreasi oleh drama gong dari Buleleng, saya kira yang paling fenomenal adalah drama gong Puspa Anom melalui lakonnya yang berjudul Sampik Ingtay. Saya melihat dalam garapan ini, merupakan gaya drama gong Buleleng yang kreasi artistiknya sudah mengakar sejak diperkenalkan kesenian Stambul tahun 1895, lanjut diperkuat oleh pertunjukan tonil dan sandiwara di jaman penjajah Jepang.
Dalam hal berdialog pun, selayaknya sandiwara yang mengusung seni realis, tidak semua tokoh cerdas berbahasa karena berbahasa sesuai strata sosial, pendidikan dan karakter. Terkait ini, Nengah Wijana, salah seorang pemain senior di drama gong Puspa Anom, yang kini menjadi pimpinan Sanggar Kampung Seni Banyuning, pernah mengungkapkan bahwa salah satu perbedaan drama gong Bali selatan dan utara adalah pada peran patih. Patih di Bali selatan, dalam berbagai pementasan kerap beradu ucap yang panjang lebar dengan lawan perannya, seakan akan mereka sedang beradu ketrampilan bersilat lidah.
Hal ini beda dengan gaya drama gong Bali utara yang berdialog sesuai takaran karakternya, jika patih karena seorang kesatria dan berjiwa tegas maka permainan kata-kata diganti dengan tindakan layaknya seorang kesatria. Dengan bahasa gaya Buleleng, Nengah Wijana menilai patihnya bes lemes sing cocok penganggo patih keto. Tetapi itulah gaya yang beda tergantung aliran kesenian yang memengaruhinya.
Pakem Drama Gong
Sebelum ada lomba drama gong di PKB 2016, tidak ada klaim pakem drama gong. Ceritanya pun tidak bisa diklaim hanya mengusung cerita istana sentris. Karena kenyataannya di Buleleng sebelum drama gong pudar eksistensinya, ada drama gong Puspa Anom yang mengusung kisah Sampik Ingtay yang pementasannya menjadi primadona, sehingga dalam beberapa tahun terus dipentaskan di sejumlah pelosok desa di Bali bahkan sampai ke Lombok.
Jika dicermati secara detail, apa yang ditampilkan drama gong Bali selatan sangat berbeda dengan drama gong Bali utara. Jika kemudian ada yang mengklaim tentang pakem drama gong, perlu dipertanyakan apa yang dipakai mendasari pembuatan pakem drama gong. Ketika merumuskan pakem drama gong, pada perkembangan mana drama gong dipakemkan? Bukankah di awal dan sampai beberapa tahun pertunjukannya, drama gong masih memakai bahasa campuran Indonesia dan Bali.
Drama gong, dari awal kelahirannya sampai sekarang, pakemnya sederhanya saja yaitu kesenian drama yang diiringi gong kebyar secara lengkap dari awal pertunjukan sampai akhir pertunjukan. Sisanya adalah gaya drama gong yang berbeda-beda, dengan varian yang banyak dan terus berkembang sesuai kreasi kelompok drama gong itu. (T)