BANYAK dari kita geli melihat seorang biker begitu sayang pada sepeda motornya. Setiap pagi dilap, dielus, ditepuk-tepuk. Malam sebelum tidur dilihat lagi, dilap, dielus lagi. Seakan sepeda motor adalah istri keduanya. Bahkan ada yang menyebut, seorang biker kadang lebih sayang kepada motor ketimbang kepada istrinya. Ah, nggak-lah. Seorang biker hanya ingin menunjukkan bagaimana ia cinta kepada benda yang sehari-hari menjadi tempat untuk menunjukkan siapa dirinya di dunia ini.
Seorang biker bukan sekadar orang senang-senang naik motor. Dalam kegiatannya, baik konvoi, touring, atau balapan, mereka biasa belajar tentang kehidupan dirinya, dan kehidupan manusia lainnya. Kegiatan bermotor sama seperti seseorang sedang menjalani kehidupan di bidang lain. Di dalamnya ada renungan, ada falsafah, ada sesuatu yang membuat mereka terus belajar, bukan hanya belajar tentang motor dan cara mengendalikan motor, namun belajar tentang kehidupan itu sendiri. Misalnya bagaimana menjaga daya cengkeram rem tetap kuat ketika power motor ditingkatkan.
Makin Besar Power, Makin Kuat Daya Rem
Begitu power motormu meningkat maka engkau harus pula memperkuat daya cengkram remnya, agar bisa mengendalikannya dengan aman. Tanpa rem yang kuat, power besar akan sangat berbahaya untuk dirimu dan juga orang lain.
Kehidupun pun demikian. Saat kesuksesan menghampiri dirimu hendaknya engkau juga harus bisa mengontrol dirimu. Jangan lantas karena merasa powermu besar kemudian engkau merendahkan sahabatmu sendiri atau orang orang dekatmu yang tentu saja tidak baik untuk kehidupanmu selanjutnya. Karena seperti roda, kehidupan ini berputar.
Tahu kan ada seorang politisi yang karirnya meningkat tajam? Tak lama setelah masuk parpol, powernya melesat tajam ketika duduk di kursi anggota DPR di Senayan. Namun tampaknya rem untuk mengendalikan dirinya tidak terlalu kuat, sehingga ia mengalami “kecelakaan” terjerat kasus suap. Kini power yang besar tak bisa menolongnya. Power besar justru menjerumuskannya ke “jurang” yang dalam.
Dengan Melewati Gelap, Kita Tahu Kualitas Cahaya
Saat naik motor dan melewati malam gelap barulah kita bisa tahu kekuatan cahaya lampu kita dalam menembus gelapnya malam . Dalam gelap kita tahu apakah cahaya lampu motor kita sudah cukup terang atau sangat terang. Atau lampu kita sangat lemah cahayanya sampai-sampai kita tak bisa melewatinya.
Dalam kehidupan juga begitu. Kita juga baru bisa mengetahui kualitas kebijaksanaan dan kesabaran kita setelah pernah melalui dan berhasil melewati gelapnya kehidupan dengan berbagai cobaan.
Yang Dinilai Bukan Motor, Tapi Kemanusiaanmu
Saat engkau dipanggil atasanmu, seberapa hebat dan mewah pun motor yang engkau bawa, hanya bisa mengantarmu sampai di halaman parkir. Tidak bisa engkau bawa sampai masuk sampai ke dalam ruangan si bos. Yang dinilai oleh atasanmu di dalam nanti adalah raportmu selama engkau bekerja di perusahaannya. Bukan motormu.
Begitupun saat Yang Maha Kuasa memanggilmu. Seberapa hebat pun engkau selama hidupmu, entah itu dari kekayaan, kekuasaan, jabatan dan sejenisnya, itu semua hanya bisa mengantarmu sampai di liang kubur. Pengawal perjalananmu selanjutnya adalah amal baikmu selama hidup di dunia ini.
Yang Terlatih Lebih Kuat
Ada orang yang ngebut dengan kecepatan 300 km/jam , namun jantungnya masih berdetak normal . Namun ada juga yang hanya dengan kecepatan 60 km/jam jantungnya sudah berdetak kencang seperti genderang mau perang.
Bgitu juga dalam kehidupan. Bagi orang-orang yang terlatih, yang sudah terbiasa mengalami pahit , manis, asam, dan asin kehidupan, maka walaupun badai menerjang mereka masih memiliki ketenangan. Tapi bagi mereka yg tidak pernah mengalami kepahitan hidup, masalah kecil pun sudah cukup membuatnya tenggelam dalam kegelisahan dan kesedihan. (T)