Menjelang kick-off, sambil sesekali menatap langit-langit Stade de France, Antoine Griezmann khidmat menyanyikan La Marseillaise, ekspresi Christiano Ronaldo datar-datar saja melafalkan Aportuguesa. Yang tidak kita tahu, di balik kostum masing-masing, dada siapa yang berdegup lebih kencang.
Tetapi gelaran Euro 2016 bukan hanya itu. Pada final minggu malam lalu (Senin dini hari waktu Indonesia) para penggila bola di berbagai belahan dunia dibuat terkagum-kagum bukan hanya oleh kemegahan konstruksi Stade de France, stadion terbesar keenam di Eropa berkapasitas 80 ribuan itu, atau oleh kemeriahan pesta penutupan yang diawali pementasan David Guetta membawakan “This One’s for You” ciptaannya sebagai lagu tema. Bukan hanya itu.
Secara umum, kita kagum dan berterima kasih, pertama kepada para taipan media pertelevisian Indonesia atas pembelian hak siar seluruh pertandingan Euro 2016. Itu memungkinkan kita terhubung dengan tribun stadion-stadion di Prancis, dengan emosi segenap penggemar bola di seluruh dunia, memberi pembeda kepada keseharian kita selama sebulan penuh. Di depan televisi, kita leluasa nyinyir, bebas melempar sumpah serapah kepada seorang pemain yang gagal memanfaatkan peluang atau seorang gelandang yang keliru melakukan passing, misalnya. Dan kalau suka, menyepakati taruhan kecil-kecilan dengan sesama penyuka bola selingkar pertemanan.
Kedua dan terutama, kita berterima kasih kepada Prancis sebagai negara penyelenggara. Sepuluh stadion di sembilan kota yang digunakan sebagai venue pesta bola negara-negara Eropa itu sukses menggelar 51 pertandingan dengan tanpa cacat. Tidak gampang menjadi host ajang sebesar Euro di tengah ancaman mogok, boikot dan teror. Trauma teror Paris November lalu belum lenyap dari pintu-pintu masuk, area parkir dan bangku-bangku stadion.
Sepak Bola Sebagai Iman
Sebagai institusi, dan akhirnya industri, orang tak ragu memirip-miripkan sepak bola dengan agama. Di Argentina, para pemuja Maradona menyebut pemilik “tangan Tuhan” itu nabi. Membagi kosmologi penanggalan menjadi dua tarikh waktu : “Before Diego” dan “After Diego”.
Kegandrungan orang-orang terhadap kostum Wayne Rooney, Linel Messi, Eden Hazard atau Toni Kroos, misalnya, tak kalah dibanding antusiasme umat Kristiani mengenakan pernak-pernik Santo pada saat Natal. Andai kemudian banyak yang menyebut agama sebagai brand tersukses dalam konteks industri, barangkali tak lama lagi (atau sudah?) sepak bola layak menjadi kandidat pesaing yang amat serius.
Lapangan sepak bola adalah altar modern yang sanggup mentransformasikan nilai-nilai global yang pelan-pelan disepakati bersama. Mulai sistem manajerial, perekrutan sumber daya, jangkauan wilayah geografi, nilai-nilai persaudaraan, drama, tragedi, pesan-pesan kemanusiaan semisal ‘Respect’, ‘Kick Out Racism’, ‘Enjoy Your Responsibility’, dst.
Sepak bola menarik justeru karena ia memiliki kredonya sendiri, tidak melulu hitam putih. Di banyak kesempatan, jamak kita saksikan ia kerap berlaku sebagai antitesis ilmu-ilmu eksakta melalui kejutan dan hasil akhir yang menjadikan kepastian matematika mati kutu. Tak jarang pula ‘melanggar’ konsep paling lazim dalam olah raga yakni menang-kalah.
Maka ketika Leicester City, klub asuhan Claudio Ranieri itu menjuarai English Premiere League musim lalu, banyak analisis yang mendadak menjadi tumpul. Orang-orang ramai berseloroh, kemudian dengan setengah putus asa menyimpulkannya sebagai “keberuntungan” atau “campur tangan langit” atau “intervensi takdir”. Memang, secara tradisi, neraca keuangan klub, apalagi materi pemain, klub berlogo kepala rubah yang satu musim sebelumnya berkutat di zona degradasi itu jelas bukan apa-apa dibanding Manchester United, Arsenal, Chelsea, Liverpool atau Manchester City.
Sepakbola adalah Nemesis
Tidak lengkap rasanya menyebut sepak bola tanpa menyertakan sisi-sisinya yang menghukum. Klimaks kegagalan Argentina di final Copa America Centenario Juni lalu menyulut keputusan maha penting seorang Lionel Messi : mundur dari timnas Argentina. “Final ini bukan untuk saya,” katanya di ruang ganti beberapa menit selepas babak tos-tosan dan bola gagal ia lesakkan ke jala Claudio Bravo, kiper timnas Chili, kompatriotnya di Barcelona. Messi merasa sedang diadili oleh sosok Nemesis, dewi penghukum dalam mitologi Yunani itu dalam perjalanan karir yang bisa jadi paling ia kenang, untuk kesalahan yang tidak usah ia tahu.
Ujar-ujar lain mengatakan, sejarah sering tak adil. Kita tahu itu. Ia membuntuti kita ke celah-celah sempit, melalui ingatan yang bandel tanpa ampun, melalui lembaran teks-teks para pencatat. Kegagalan Roberto Baggio menendang penalti pada Piala Dunia 1994 diabadikan oleh setiap kepala yang menyaksikannya. Publik seakan tak percaya algojo berkuncir ikonik yang setahun sebelumnya dianugerahi gelar pemain terbaik dunia itu gagal oleh satu kesalahan ayunan kaki.
Demikian pun final Euro 2016 kali ini. Ia menarik, sekali lagi, justeru karena ketidaktentuannya. Sesuai data statistik, kemenangan Portugal di fase sebelumnya, 62,5 % disumbang oleh sosok vital Christiano Ronaldo. Apesnya, pada partai final di depan 81.000 pasang mata itu sang kapten harus berhadapan dengan sesuatu yang lebih menekan dari marking Matuidi dan Paul Pogba, yakni rasa sakit akibat cedera kaki setelah takel Dmitri Payet memaksanya keluar pada menit 25. Tetapi mereka masih punya Luis Nani, gelandang sayap yang seakan mendapat angin buat membuktikan bahwa malam itu dialah hantu Portugal sesungguhnya.
Dari sisi keikutsertaan, Format 24 tim gagasan Michel Platini, meski banyak ditentang, akhirnya disepakati sebagai format resmi kejuaraan berkat upaya keras sang legenda semasa menjabat Presiden UEFA. Gagasan yang akhirnya memakan anak bangsanya sendiri setelah kita tahu, pada partai final di tanah sendiri keok oleh tim besutan Fernando Santos, tim peringkat tiga di fase grup yang hanya menang sekali dalam waktu normal, tetapi yang nyawanya dipompa oleh luka yang mereka dapat 12 tahun lalu. Michel Platini seakan menuai karma di Stade de France.
Partai final terakhir yang melibatkan tuan rumah terjadi 12 tahun lalu. Portugal yang kala itu bertindak sebagai tuan rumah Piala Eropa 2004, kandas di tangan Yunani di partai puncak. Selecao harus menerima pil pahit usai Angelos Charisteas melesakkan satu-satunya gol di menit 57.
Bisa disebut, gelaran final Euro 2016 adalah mimesis sempurna fragmen Yunani dua belas tahun lalu. Bedanya, di Prancis kali ini sebutan pemenang harus mereka raih dalam jarak sejauh 109 menit, tepatnya sampai momen ketika Eder menghukum Hugo Lloris dengan sepakan keras kaki kanannya di babak kedua perpanjangan waktu. (T)