Apakah yang paling membanggakan dari makhluk yang bernama manusia? “Kreativitas.” Itulah jawabnya. Manusia menjadi “lebih” ketimbang binatang karena memiliki ruang yang sangat luas untuk mengolah kreativitas. Manusia tidak menjadi binatang —antara lain— karena ia pandai mengolah pilihan-pilihan menjadi sesuatu yang baru, sesuatu yang tidak linear. Itulah kreativitas. Tanpa kreativitas, sesungguhnya manusia tak beda dengan binatang.
Kreativitas menjadikan kita, manusia, tidak jemu. Kreativitas membuat kita menikmati hidup lebih dari sekadar sebuah perjalanan lurus. Kreativitas, terkadang, memang, membuat kita terbentur-bentur, jatuh-bangun, bahkan runtuh. Kreativitas memang bukan jalan aman. Tetapi, memilih hidup penuh warna dan keluar dari kekelaman memang memerlukan perjuangan: ada saat risiko harus dipikul. Tapi, paling tidak, kreativitas membuat kita bergerak, tidak beku dalam kehidupan yang sepi, kendatipun terasa aman.
Kreativitas hanya mungkin muncul dari pikiran merdeka, pikiran yang tak nyaman berada dalam belenggu “kebiasaan” dan “apa adanya”.
Hidup yang kita nikmati sekarang adalah buah kreativitas orang-orang yang merdeka, orang-orang yang terus bertanya, orang-orang yang terus mencari jawaban. Bagi pikiran merdeka, setiap jawaban selalu memunculkan pertanyaan baru dan pencarian baru. Karena itulah, manusia kreatif senantiasa bertanya dan tak pernah merasa telah sampai pada jawaban final.
Kreativitas, memang, senantiasa membuat orang gelisah ingin mengubah segala hal. Kita tahu, perubahan itulah yang membuat kehidupan berjalan, membuat hidup kita beranjak dari budaya berburu ke budaya agraris, dan kini sampai pada budaya industri. Kita menikmati perubahan itu, tetapi acap lupa bahwa ada orang-orang kreatif yang “menghidangkannya”. Kita pun lupa berterima kasih pada kreativitas.
Sungguh sedih mengakui, sebagai bangsa kita telah terlalu lama memberangus kreativitas. Kita memberangus pertanyaan-pertanyaan kritis, memberangus perubahan-perubahan, dan memberangus kemerdekaan berpikir. Kita, bangsa ini, lebih senang menjadi penindas kemerdekaan dengan cara “menghapus” penghargaan pada kreativitas itu. Kita lebih suka pada hal-hal biasa yang kasat mata. Kita lebih menghargai mesin pencetak ketimbang kreativitas di balik prosesnya.
Kita jauh lebih menghargai tenaga marketing yang menghasilkan uang ketimbang pendesain yang menghasilkan produk berkualitas. Kita jauh lebih menaruh perhatian kepada manusia gombal yang pandai bicara ketimbang kegelisahan para perenung. Kita bertepuk tangan kepada para penjual yang bisa membodohi konsumen dan menjual barang rongsokan dengan harga mahal, tetapi menyingkirkan para “pejuang” yang bersikukuh mengeksplorasi masa depan.
Sejarah mencatat, ada zaman manusia dikuasai oleh otot. Itulah masa ketika manusia berada dalam dunia serba liar, dunia yang dibangun di atas peradaban kebinatangan: siapa pun yang berotot dialah raja. Tapi kemudian kreativitas mengubah peta zaman. Manusia-manusia bertubuh rapuh seperti Einstein mampu mengubah dunia, mengubah arah kiblat manusia, dan mengubah pola pandang manusia sedunia. Kini pun dunia ditaklukkan oleh para perancang mode yang serba kemayu dan kenes.
Dunia ditaklukkan oleh sekumpulan orang yang dengan kreativitas luar biasa merancang arah perekonomian dan politik global. Dunia kini ditaklukkan oleh kreativitas para perancang pesawat terbang, perancang nuklir, dan perancang kampanye para presiden negara-negara besar. Dunia kini ditaklukkan oleh kreativitas, bukan oleh mesin. Mesin adalah alat. Aktor adalah alat. Tapi kita, sebagai bangsa, lebih memilih untuk hanya menghargai alat.
Terberangusnya kreativitaslah yang menjadikan kita, bangsa “besar” ini, dicibir orang sebagai bangsa pembajak, bangsa peniru, dan koruptor (karena kita hanya bisa membeli, tak pandai mencipta, maka kita merasa sangat penting mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya).
Kreativitas adalah perjuangan dan eksplorasi berbagai kemungkinan yang sangat melelahkan. Ketika ia tak dihargai sepantasnya, maka orang pun lebih baik tidur. Itulah yang terjadi di sini, di negeri ini, sehingga kalah oleh Mesir, Cina, India, Iran yang melahirkan manusia-manusia berprestasi nobel. Bahkan kita kalah oleh Malaysia dalam jumlah kepemilikan hak paten. Kita punya Borobudur, punya Bung Karno, punya gambelan yang dikagumi dunia, tetapi itu adalah kreativitas masa lalu. Kini kita hanya pandai berkoar dan membuat kerusuhan. (T)