Kaohsiung adalah kota terbesar kedua di Taiwan setelah Taipe. Di kota itulah saya berada, awal Juni 2016. Seperti sebuah mimpi, dari Singaraja – kota tempat tinggal saya – segalanya berjalan seperti film drama. Bukan sekadar menembus batas Negara, tapi rasanya seperti menembus nalar, hingga tubuh ini tiba di kota itu.
Tentu, setiap orang punya mimpi muluk-muluk. Saya juga. Dulu, beberapa kali saya berangan-angan sembari bertanya dalam diri, bagaimana kira-kira pengalaman pertama saya jalan-jalan ke luar negeri? Bersama keluargakah? Sulit membayangkan saya bisa pergi bersama keluarga. Biaya pasti sangat besar untuk menanggung lima sampai tujuh orang. Bersama teman-temankah? Mungkin bisa. Namun tetap saja harus memiliki tabungan dan persiapan dulu.
Artinya, tahapan harus saya lalui dengan panjang untuk menikmati mimpi muluk-muluk itu. Selesaikan kuliah, kemudian bekerja. Bila beruntung tabungan bisa disisihkan. Bila tidak, mungkin selama beberapa tahun lebih lama baru bisa keluar negeri. Namun nampaknya saya memiliki kelebihan kecil yang tanpa sengaja melekat dalam diri saya. Sehingga tahap pencapaian mimpi menjadi tidak teratur dan bisa lebih cepat dari harapan. Kelebihan kecil itu adalah “berani memutuskan untuk meletakkan diri di tempat yang tak biasa”.
Dampak kelebihan kecil itu tampak membawa perubahan sejak dua tahun lalu. Berawal dari iseng ikut Komunitas Anak Alam karena bosan dengan rutinitas harian sebagai mahasiswi Jurusan Pendidikan Matematika. Dari situ saya bertemu teman-teman baru yang memperkenalkan saya dengan organisasi Wirausaha Muda Singaraja. Yang kemudian membuat saya berkenalan dengan teman baru lainnya yang mengajak saya bergabung dengan organisasi kepemudaan internasional JCI (Junior Chamber International). JCI kemudian membawa diri saya berhadapan dengan banyak perubahan.
Saya mengalami banyak perbaikan dan menikmati momen pemaknaan hidup. Selain mengalami kepuasan pribadi karena banyak terlibat dalam kegiatan sosial untuk membantu sesama, saya juga mengalami peningkatan diri baik dari segi kemampuan berkomunikasi, perluasan jaringan pertemanan, dan yang terpenting adalah mengalami banyak perombakan pola pikir.
Perombakan pola pikir tidak hanya berdampak kepada hidup jadi lebih positif dan lebih asyik, tapi juga membawa banyak pengalaman baru yang gila dan tak terduga. Berlatarbelakang sebagai mahasiswa Pendidikan Matematika yang notabene dicap hanya berkutat dengan rumus-rumus, serta tidak pernah sekalipun ikut terlibat aktif dalam kegiatan apapun di luar rutintas belajar, tiba-tiba saya diterjang secara bertubi-tubi oleh pengalaman-pengalaman pertama yang mengesankan. Kali pertama menyanyi solo di depan umum. Merasa gemetar menjadi pembawa acara (MC) dadakan. Merasakan gregetnya menjadi perancang dan pelaksana kegiatan dalam jumlah tim yang minim. Yang terbaru, adalah pengalaman yang mewujud dari mimpi, yakni merasakan enaknya jalan-jalan keluar negeri.
Wah jalan-jalan ke luar negeri? Gratis? Enak dong!
Di bagian jalan-jalannya memang enak, namun sesungguhnya, yang betul-betul enak adalah perjuangannya. Seperti saya katakan, saya mengalami banyak perombakan pola pikir. Dulu, sekolah dan perguruan tinggi mengajarkan untuk berpikir runut, bertahap dan terstruktur, sehingga melahirkan manusia dengan pola pikir: Kaya dulu, baru bantu orang lain. Lulus dulu, baru kerja. Nabung dulu, baru jalan-jalan. dan seterusnya.
Sedangkan orang-orang di luar lingkungan normal mengajarkan berpikir kritis, praktis dan fleksibel. Sesuaikan gerakmu dengan situasi yang ada. Kamu memiliki kemampuan tak terbatas. Segalanya bisa terwujud. Tidak ada syarat apapun untuk boleh berbuat baik, kerjakan saja apa yang bisa kamu bantu untuk mereka! Jangan tunggu, mintalah sekarang, wujudkan sekarang! dan sejenisnya. Kemudian tumbuhlah saya dengan kehidupan baru lewat pemikiran-pemikiran itu. Lantas lahirlah kesempatan manis itu.
Penari Dadakan
Kesempatan untuk berangkat ke luar negeri datang dari JCI. JCI memiliki agenda rutin untuk melaksanakan pertemuan internasional. Pertama, tingkat antar negara satu rumpun, di mana Indonesia termasuk rumpun Asia-Pasific, dengan nama kegiatan Asia Pasific Conference (ASPAC), setiap Juni. Kedua, pertemuan tingkat dunia, World Congres, setiap November.
Setelah mendengar informasi dari Local President (sebutan untuk ketua organisasi JCI tingkat daerah), di awal tahun 2016 saya berniat ikut menikmati suasana ASPAC, 2 – 5 Juni 2016 di Kaohsiung – Taiwan. Saya pun menabung. Namun malangnya tabungan saya kemudian bocor, tak ada sisa, karena harus memenuhi keperluan mendadak.
Beruntung saya punya Local President yang memiliki jiwa yang murni tangguh sehingga semesta selalu memberikan jalan baik. Dua minggu sebelum hari keberangkatan, ia memberi saya kabar baik. Ia bercerita bahwa JCI telah membuat kontrak kerjasama dengan Kementerian Pariwisata untuk melaksanakan promosi pariwisata Indonesia di Kaohsiung. Dan saya dipilih dalam tim promosi. Tugas saya, salah satunya menari di Kaohsiung. Tarian Panyembrahma dan Cendrawasih.
Jeng jeng jeng! Waktu terasa berhenti. Masalahnya, terakhir kali saya menari ketika kelas 6 SD. Saya juga tak pernah menari Cendrawasih yang super lincah itu. Gugup memang. Tapi saya tidak takut. Mungkin segala ketakutan telah dikalahkan rasa senang karena akhirnya mendapat kesempatan menghirup hawa luar negeri. Atau mungkin, pikiran ini telah terbiasa dengan tantangan gila yang serba mendadak. Berbagai perasaan dan pertimbangan muncul dan tenggelam bagai sapuan ombak. Yang kemudian paling kuat muncul adalah bisikan dari dalam diri, “Aku akan menjadi wakil Bali, menampilkan budayaku di negeri orang. Membanggakan budayaku didepan negara lain”.
Bisikan itu menguatkanku untuk berkata ‘iya’ dan berkomitmen memenuhi tugas dengan baik.
Besok paginya, saya memulai latihan. Sendiri. Awalnya meniru gerakan kaki sang penari di video, kemudian gerakan tangan, dan setelah sedikit hafal, lantas baru diikuti gerak pinggul dan gerak seluruh badan. Saya berlatih pagi hari, istirahat sebentar untuk makan siang, kemudian menari lagi, istirahat beberapa saat, kemudian lanjut berlatih. Terkadang saat sore hari saya tidak bisa berlatih karena harus mengajar. sehingga saya berlatih sebentar malam hari. Selama tidur pun, saya memutar gong tari hingga bangun esok hari, berharap tiba-tiba secara ajaib saat bangun saya hafal seluruh gerakan tari, atau bila tidak bisa seajaib itu, setidaknya tubuh saya akrab dengan suara gongnya. Ini serius, saya tidak mengada-ada. Saya benar-benar melakukannya.
Badan saya selalu berpeluh sepanjang hari. Kering sesaat ketika istirahat, kemudian berpeluh lagi. Rambut lepek dan bau. Segalanya tidak terasa nyaman, namun inilah perjuangan. Saya sempat berpikir mencari guru tari, namun para guru dari sanggar profesional sedang mempersiapkan pertunjukan Pentas Kesenian Buleleng (PKB). Teman-teman jago tari yang saya kenal sedang sibuk mempersiapkan ulangan umum di sekolah. Momennya sangat tidak tepat.
Di hari keempat, saya tumbang. Suhu tubuh tinggi, badan terasa ngilu. Juga masuk angin. Seharian tak bisa mengangkat tubuh. Hanya meringkuk dalam selimut. Setelah dirawat intensif-instan oleh bapak, besok siangnya kondisi saya pulih. Saya berlatih lagi. Sehari sebelum keberangkatan, saya hafal Panyembrahma, namun masih meraba-raba gerak Tari Cendrawasih.
Senin sore 31 Mei kami pun berangkat ke Jakarta. Pagi sebelum berangkat, saya masih sempat latihan. Latihan tetap saya lanjutkan di malam hari ketika telah sampai di Jakarta. Saya tidak bisa memaksakan diri saya untuk tampil sempurna dengan keadaan yang genting seperti ini, karena saya bukan ahlinya. Namun setidaknya bila saya terus melakukannya dengan nikmat berulang-ulang, setidaknya tubuh saya akan terlihat meyatu dengan iringan gamelan.
Subuh, kami berangkat ke bandara pukul 03.00, transit selama empat jam di Bandar Udara Internasioal Hongkong, kemudian terbang ke Kaohsiung. Tiba di hotel jam 19.00.
Kaohsiung merupakan kota terbesar kedua di Taiwan setelah Taipe. Kota ini memiliki banyak gedung yang menjulang tinggi. Suasana kotanya asri, ada banyak taman rekreasi yang tersebar di sepanjang kota yang dilengkapi fasilitas untuk berolah raga dan arena bermain anak. Di sepanjang jalan raya, pohon tumbuh subur dan sangat hijau, namun angin di sana agak enggan bergerak. Selain taman, terdapat fasilitas penyewaan sepeda yang berada dibeberapa titik yang menjadi fasilitas umum.
Hotel tempat saya menginap juga memberikan fasilitas sepeda gratis untuk berkeliling kota. Hotel itu bernama Hotel Kindness di Jalan Sanduo I. Sesuai namanya, hotel ini sangat baik hati. Di samping memberi fasilitas sepeda gratis, hotel ini juga memberikan es krim gratis selama 24 jam, bakpao gratis setiap sore, serta laundry gratis, namun harus dikerjakan sendiri. Kaohsiung juga sangat peduli kepada masyarakatnya, sehingga mengeluarkan kebijakan tentang aktivitas merokok, yang hanya boleh dilakukan di area tertentu saja. Setelah menempati kamar dan beristirahat sebentar, perjuangan kembali saya lakukan sedikit lagi. Ya, saya berlatih menari lagi malam itu juga. Tanpa lelah.
Akhirnya, 2 Juni 2016 Tari Panyembrahma dipentaskan dalam acara VIP Luncheon di Hotel Grand Hi-Lai. Ini merupakan acara penyambutan tamu VIP dari seluruh negara yang hadir dalam ASPAC yang dikemas dalam acara makan siang. Dinginnya AC dan efek demam panggung seperti bersekutu untuk mengerjai saya sebelum tampil. Entah berapa kali saya yang telah berpakaian tari lengkap dibuatnya harus kembali ke toilet karena ingin buang air kecil terus. Sangat repot, namun lebih baik dari pada ngompol saat pentas. Selain Tari Panyembrahma juga dipentaskan Tari Kagandrung, seni memainkan Angklung dan juga beberapa lagu ringan sebagai teman untuk menikmati santapan.
Tari Panyembrahma tampil pertama. Denyut jantung sudah tidak karuan. Tariannya sudah hafal, tapi tetap saja takut bila tiba-tiba lupa segalanya saat dipanggung. Akhirnya saya panggil panggil kembali nama Tuhan untuk menenangkan diri sambil lompat-lompat kecil untuk mengalihkan pikiran. Saat pertunjukan dimulai, saya bergerak dengan gemetar. Namun sebisa mungkin untuk tetap menahan senyum. Detik demi detik seperti berjalan lambat, namun syukurnya senyum dan penghormatan dari para tamu VIP mampu membuat saya sedikit rileks. Ajaibnya, pentas yang dihujani grogi itu bisa berjalan dengan lancar. Ini pasti kerjaan Tuhan.
Bonus yang asyik, si penari menjadi artis sesaat. Seluruh mata yang melihat menawarkan diri untuk mengajak kami berfoto bersama, maklum mereka berasal dari negara lain. Menemukan orang dengan kostum Tari Bali pasti menjadi kemewahan tersendiri bagi mereka. Jangankan mereka, saya yang memakai pakaian itu saja bangga dan senang sekali. Euforia berfoto makin deras ketika saya menampilkan Tari Cendrawasih keesokan harinya. Kami pentas di International Convention Center Kaosiung (ICCK) di dalam Acara Wonderful Indonesia Night.
Bila di acara VIP Luncheon hanya mengundang para tamu VIP, di Wonderful Indonesia Night kami mengundang seluruh member JCI yang menghadiri ASPAC. Jumlahnya ribuan orang. Kami sibuk menjadi artis foto dan membantu memasangkan udeng kepada setiap member yang datang sedari belum tampil hingga acara selesai. Selain Tari Cendrawasih, Tari Kagandrung dan pementasan seni angklung juga kembali ditampilkan, ditambah dengan Tari Oleg, Tari Condong, Tari Kecak, Tari Topeng, serta Tari Barong – Rangda. Tidak seperti saat menampilkan Tari Panyembrahma, saya merasa lebih rileks ketika menarikan Tari Cendrawasih, mungkin karena telah berpengalaman sebelumnya.
Tersesat Cari Hotel
Tibalah saat jalan-jalan. Pengalaman pertama jalan-jalan adalah ketika kami menghadiri Taiwan Night, acara serupa dengan Wonderful Indonesia Night, yang diselenggarakan member JCI Taiwan. Kami pergi dengan taksi yang dipesankan pihak hotel. JCI Taiwan menyediakan beragam pemainan, dari modern hingga tradisional. Kami dibolehkan menyicipi makanan dan minuman secara gratis di setiap stand. Segalanya berjalan lancar. Namun karena saking asyiknya menikmati suasana Taiwan Night, kami tidak sadar ternyata teman-teman lain dari Indonesia sudah tidak ada di acara itu. Mereka pulang duluan. Akhirnya kami memutuskan pulang ke hotel berdua saja.
Muncul pengalaman baru. Masyarakat Taiwan umumnya hanya menggunakan Bahasa Mandarin untuk berkomunikasi, baik secara verbal maupun tertulis. Mereka sangat sedikit paham Bahasa Inggris, pula sangat jarang mereka bisa membaca tulisan latin. Untungnya saat keluar dari gedung, kami bertemu dengan volunteer yang memang bertugas menerjemahkan bahasa dan membantu kami memesan taksi.
Nama inggrisnya Bapak Emba. Kami bicara dengannya, meminta menunjukkan kepada supir taksi bahwa kami hendak ke Hotel Kindness. Ia pun melakukannya dengan baik. Kami duduk tenang di jok taksi. Begitu tiba di area Kindness, ternyata bentuk bangunan yang kami temukan berbeda. Kami salah masuk Hotel. Kami mencoba berkomunikasi dengan Bahasa Inggris ditambah dengan kode gerak. Serta mengucapkan alamat Jalan Sanduo Street. Ia tidak mengerti. Untuk membantu, saya menunjukkan beberapa foto yang sempat saya ambil di beberapa titik di hotel. Saya menyodorkan setiap foto yang memuat aksara mandarinnya, berharap di sana terselip alamat hotel. Celaka, dia menunjukkan ekspresi bahwa dia tahu.
Kami masuk hotel. Dan meminta bantuan petugas front office untuk menerjemahkan maksud kami kepada supir taksi. Menyebutkan bahwa sekali lagi, kami bermaksud ke Hotel Kindness yang berada di Jalan Sanduo I, tapi petugas itu juga tidak mengerti. Belakangan setelah mereka melakukan cross check dengan hotel pusat, kami menyadari kesalahan kami. Sanduo tidak dibaca dengan lafal sanduo, tapi santho. Untuk menyebut Jalan Sanduo, kami harus mengucapkan Santho Luo. Akhirnya setelah dua kali mendapat alamat palsu, kami tiba juga di hotel. Setelah pengalaman itu, jika keluar kami selalu membawa kartu nama hotel, atau ikut teman yang punya koneksi internet untuk GPS.
Kota Kaohsiung sangat romantis dimalam hari. Seluruh kota dipenuhi lampu warna warni. Bahkan kita bisa menikmati lampu-lampu tersebut sambil naik perahu menyala di Love River. Pengalaman yang indah untuk dinikmati. Bukan hanya karena kesmpatan jalan-jalan ke negeri orang, namun karena saya bisa jalan-jalan sembari menjadi penari mewakili negeri. Segalanya mungkin, bila kita mau bermimpi lebih jauh, menembus batas nalar. (T)