“KINI banyak pengarang muda yang bagus. Banyak sekali,” kata Seno Gumira Ajidarma saat ngobrol singkat pada suatu pagi dengan tatkala.co di Honeymoon Guest House, Ubud, 6 Juni lalu.
Saat itu Seno bersiap hendak bersidang untuk memutuskan penulis emerging Indonesia yang berhak tampil dalam Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) 2016. Seno adalah salah satu kurator dalam acara itu.
“Saya baca karya-karya pengarang muda, dan banyak sekali karya bagus,” katanya. “Tapi karya-karya mereka kebanyakan sama,” ujarnya.
Seno membandingkan dengan karya-karya pengarang pada zaman dia. Pada zaman dia, diakui pengarang bagus tidak sebanyak sekarang, namun mereka berbeda-beda. Karya-karya mereka tidak sama, masing-masing punya ciri, sehingga dari membaca karya-karyanya saja diketahui siapa pengarangnya. Putu Wijaya beda dengan Ahmad Tohari, beda juga dengan Danarto.
“Saya sendiri tak bisa (menulis) seperti Ahmad Tohari. Ahmad Tohari itu hapal nama-nama tanaman di desa. Saya tak hapal, dan tak bisa menulis seperti itu,” katanya.
Ahmad Tohari yang dimaksud Seno adalah pengarang kelahiran Banyumas,Jawa Tengah,13 Juni1948. Ahmad Tohari terkenal dengan novel triloginya Ronggeng Dukuh Paruk dan novel Bekisar Merah. Dalam novel-novelnya, Tohari memang tampak menguasai kehidupan di desa, terutama saat menggambarkan jenis-jenis tanaman, hewan, termasuk serangga. Cerpen Tohari, “Anak Ini Mau Mengencingi Jakarta?” tahun ini terpilih sebagai cerpen terbaik Kompas.
Kenapa pengarang-pengarang sekarang karyanya sama? “Karya mereka sama, karena mereka belajar dari orang lain, dari yang sudah ada. Belajar mengarang itu harusnya pada diri sendiri,” kata Seno.
Seno Gumira Ajidarma belakangan ini khusuk menggarap kisah silat Nagabumi yang lumayan panjang. Karya itu tentu melengkapi koleksi karya Seno sebelumnya yang hampir selalu ditunggu pembacanya. (T/ANA)