Buta paling buruk adalah buta politik. Dia yang buta politik adalah dia yang tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga harga komoditas, obat, tepung, makanan, tergantung pada keputusan politik. Orang buta politik begitu bodoh sehingga ia bangga dan membusungkan dadanya bahwa ia membenci politik. Si dungu tidak tahu bahwa dari kebodohan politiknya akan lahir pelacuran, anak terlantar, politisi busuk serta rusaknya perusahaan nasional dan multinasional.
Begitu kata Bertolt Brecht, seorang penyair dan dramawan Jerman.
Sejumlah anak muda, perempuan, bahkan juga orang tua, yang justru sebagian adalah intelektual dan terpelajar justru tak segan mengatakan, “Aahhh, jangan bicara politik. Kamu masih kecil. Politik itu kotor. Jangan ikut di dalamya. Politik itu menghalalkan segala cara. Lebih baik kamu hindari!” Itu satu frase yang sangat jamak terdengar dalam berbagai percakapan, bahkan malah kadang muncul dalam dialog-dialog kelompok terpelajar bahkan di sekolah. Bahkan pula di kampus ada ungkapan yang lumrah: “Mahasiswa jangan berpolitik praktis!” Dan itu bisa saja datang dari dosen pengajar ilmu politik.
Ironis, iya memang ironis. Karena sejatinya politik memiliki tujuan untuk mewujudkan kebaikan bersama begitu dalam pengertian klasik Aristoteles. Lalu mengapa sesuatu yang memiliki tujuan sangat baik mesti kita hindari? Di satu sisi banyak yang menuntut kemajuan pembangunan dan tercapainya kesejahteran rakyat, sementara di saat yang sama jalan mencapai tujuan bersama itu dihindari, diharamkan, dijauhi sejauh-jauhnya?
Tentu ada sesuatu yang salah kenapa hal itu bisa terjadi. Mungkin ada yang salah dalam proses transfer pendidikan politik, dalam lembaga formal maupun informal. Mungkin ada yang salah dalam realitas politik yang dipertunjukkan dalam pemilu, pilkada atau pilpres. Mungkin ada banyak kesalahan dalam banyak hal.
Tengok misalnya realitas politik dan partai politik di negeri kita sekarang ini, di mana partai politik menjadi semacam kartel, dipimpin dan dikendalikan sebagai layaknya perusahaan oleh para CEO dan pemiliknya. Sejatinya rakyat bisa menghukum bahkan menghancurkan kartel-kartel tersebut melalui proses elektoral atau kepemiluan yang memang ruangnya disediakan oleh negara, yakni dengan cara tidak memilih kartel-kartel semacam itu. Juga, bisa dilakukan melalui kekuatan civil society. Kekuatan kekuatan rakyat ini memang harus terkonsolidasi dengan padat, melalui pemahaman politik rakyat.
Jadi, tunggu apa lagi. Mulailah dari sekarang. Perubahan tidak akan terjadi apabila kita tidak pernah memulainya. (T)