Judul Buku: EKSPLO(RA)SI TUBUH – ESAI-ESAI KURATORIAL
SENI RUPA
Penulis: Hardiman
Penerbit: Mahima Institute Indonesia
Tebal : viii + 307 ISBN : 978-602-18311-7-5
Buku Eksplo(ra)si Tubuh: Esai-esai Kuratorial karya Hardiman, terdiri dari 55 artikel. Mayoritas artikel adalah naskah kuratorial dan beberapa naskah pengantar pendamping pameran seni rupa. Kuratorial merupakan tulisan mendalam tentang konsep, tema, analisis karya, dan juga hal-hal menyangkut alasan prinsip sebuah pameran seni rupa. Kurator sebelum menulis, terlebih dahulu melakukan kerja kurator seperti pemilihan tema/konsep, pemilihan perupa dan karya, termasuk menyiapkan tata display karya. Membaca buku Eksplo(ra)si Tubuh ini hendaknya pada konteks keberadaan pameran dan naskah kuratorial sebagai representasi mini dari pameran yang dimaksud. Naskah kuratorial ini mengiringi pameran seni rupa yang digelar dari 2005 hingga 2015. Artinya, tidaklah berlebihan jika dibaca bahwa artikel pada buku ini merupakan cerminan peta wacana dan praktik seni rupa Bali (Indonesia) dalam dasa warsa terakhir.
Sang penulis, Hardiman adalah dosen senior seni rupa Universitas Pendidikan Negeri Singaraja, sebelum memilih profesi kurator independen, dikenal sebagai pelukis, pemain teater, penulis puisi dan juga penulis kritik seni di berbagai media nasional. Posisi multi bakat ini sangat menunjang kerja kurator, hal mana, tidak saja dituntut memahami kredo seni rupa secara teoritik tetapi juga memiliki sensitivitas inderawi; ‘mencecap’ kualitas artistik dari suatu karya seni. Pemanggungan karya seni dalam sebuah term pameran, meniscayakan seorang kurator bekerja dengan ketegasan konsep, kecakapan sosial dalam memilih dan mengundang perupa untuk serta pameran, dan juga merancang tata display yang unik. Naskah kuratorial setidaknya menjelaskan ketegasan konsep pameran dan spesifikasi wacana yang diusung.
Hardiman dengan tegas, benderang dan genial menetapkan bingkai, bahwa perkara tubuh menjadi subject matter dominan pasca 1990-an, yang mana sebelumnya seni rupa Bali (Indonesia) didominasi abstrak-ekspresionisme, seperti yang dipopulerkan anggota Sanggar Dewata Indonesia di Yogyakarta. Ihwal Tubuh menjadi bingkai besar dalam praktik seni rupa (seni lukis) Bali dalam dasa warsa terakhir. Tubuh dalam berlapis wacana dan representasi visual dapat dengan mudah ditandai perkembangannya, jika dengan seksama membaca naskah kuratorial yang dihimpun dalam buku ini. Setidaknya ada 4 (empat) pokok bahasan tubuh dalam bingkai Hardiman, yakni tubuh sebagai kritisisme sosial, tubuh sebagai realitas intertekstual, tubuh dalam citra naratif dan tubuh domestik.
Ihwal tubuh sebagai jalan kritisisme sosial, diurai dalam tulisan (pameran) “Hibriditas Hitam Putih”, “Self Realization”, “Emosi dan Konstruksi Sosial”, dan lain-lain. Representasi tubuh, baik dalam pola respresentasi realis, distorsif, dan juga informal sangat berhubungan dengan hasrat kritisisme sosial. Karya seni menjadi media daya kritis, dan pribadi perupa sadar bahwa potensi emosi yang dimiliki adalah bagian yang dijamah sebagai medan konstruksi sosial (hal. 179), sehingga posisi ulang-alik antara subjek kritis dan objek konstruksi sosial mempengaruhi representasi visual.
Subjek tubuh, seperti karya Entang Wiharso atau Nyoman Erawan yang hadir dalam suasana traumatik dan acap menyandingkan dengan idiom jarum yang menusuk, nampak menggugat kesadaran betapa ruang sosial rapuh dan akrab dengan kekerasan. Emosi manusia bisa menjelma menjadi sosok pemarah dan pelaku kekerasan, karena itu dalam lukisan tidak aneh jika tubuh itu dihadirkan memanjang, meliuk dan menikam kepalanya sendiri. Kritisisme yang dimunculkan perupa tentu memiliki karakter jamak, sementara pemilihan subjek tubuh seperti menjadi kesadaran bersama dalam menyatakan sikap kritis.
Pokok bahasan kedua, tubuh sebagai realitas intertekstual. Pada bahasan ini, wacana tubuh menjadi inheren dengan piranti dan media kebudayaan, seperti perangkat kosmetik, benda konsumsi, dan juga penanda dunia iklan, seperti dalam tulisan “Kecantikan Fungsional”, “Budaya Kosmetik”, “Perempuan dan Kota”, “Wajah dan Topeng”, “Mitos Kecantikan” dan lain-lain. Wacana tentang kecantikan, kota, urban, dan kepopuleran merupakan entitas yang berhubungan dengan perangkat mitos modernisme.
Tubuh tidak hadir sendirian, namun menjadi seperangkat objek-objek kebudayaan. Bahkan, tubuh seringkali pada posisi teralenasi, menjadi media komodifikasi citra produk populer. Tubuh menjadi representasi merek-merek benda konsumsi. Intertekstualitas, sebagaimana hardiman merujuk pandangan Julia Kristeva, bahwa makna muncul karena keterhubungan antar teks. Keterhubungan memiliki makna plural, dapat bersifat sinergis, pertentangan, bahkan biner-oposisional. Wacana tubuh dalam konteks intertekstual, oleh Hardiman juga dibaca sebagai hubungan tubuh hari ini dengan mitos masa lalu, seperti penari legong dengan mimpi seorang raja, mengingatkan kita tentang kelahiran legong kraton (hal, 113).
Ketiga, tubuh dalam citra naratif memiliki pemahaman, bahwa tubuh sebagai makna direpresentasikan lewat subjek visual naratif, tubuh-tubuh yang berkisah. Pandangan ketiga ini sesungguhnya berhubungan dengan kondisi intertekstual, di mana subjek tubuh berhubungan dengan subjek visual yang lain, yang kemudian membangun makna naratif tertentu. Komposisi visual naratif memiliki kecenderungan lahir dari genre seni lukis tradisional, dan juga cerita rakyat masa lalu.
Tulisan berjudul “Rare”, “Mempertimbangkan Kosa Tradisi”, “Narasi”, dan “Nostalgia”, mengurai bagaimana subjek tubuh pada karya perupa berkehendak untuk mengisahkan peristiwa tertentu. Tubuh yang berhubungan dengan ruang, merefleksi keberadaan “bagaimana dia”. Tulisan “Narasi” mengurai karya beberapa pematung yang mengisahkan keberadaan tubuh yang dikurung oleh ruang, dan sebaliknya dibebaskan oleh ruang. Sementara bagaimana keyakinan pada pengetahuan masa lalu yang memiliki relevansi dengan keadaan masa kini saat pengetahuan itu ditransmisikan juga mengandung makna narasi (hal 318). Semisal, lukisan Wayan Sudarna Putra dalam pameran “Nostalgia” yang bersubjek Rangda, oleh Hardiman dibaca sebagai upaya untuk mengisahkan kembali mitos ‘janda Dirah’, dalam hubungannya dengan hasrat dan nafsu yang senantiasa terus bergerak.
Keempat, pokok bahasan tubuh domestik, tersirat dalam tulisan “Representasi Laksmi Shitaresmi”, “My Body”, “Tentang Diri” dan “Perkara Tubuh Perempuan”, yang menunjuk pada upaya mengungkap tubuh sebagai persoalan tubuh itu sendiri. Tubuh yang bersifat organis, sekaligus memiliki roh yang oleh karenanya bersifat spiritis. Pada artikel “Tentang Diri”, Hardiman mengurai bagaimana praktik seni pelukis Nisak secara mendalam menyelami tentang diri pribadinya, begitu juga “Representasi Laksmi Shitaresmi” mengurai sisi domestik dari tubuh Laksmi. Tubuh telanjang sebagai jalan refleksi diri. Tubuh sementara dibebaskan dari perangkat simbol-simbol sosial, dibaca dalam fungsi organis. Namun, tatkala sisi domestik tubuh berhubungan dengan persepsi keindahan, kembali kuasa pelihat menjadi perkara dominan.
Kesimpulannya, Hardiman sangat genial menunjukkan bagaimana ihwal tubuh dalam dasa warsa terakhir, menjadi wacana sentral dan representasi visual karya perupa Bali (Indonesia). Setidaknya ada empat wacana tubuh yang diusung, yakni tubuh sebagai kritisisme sosial, tubuh sebagai realitas intertekstual, tubuh dalam citra naratif dan tubuh domestik. Ihwal tubuh dalam praktik seni rupa mutakhir juga dapat dibaca sebagai upaya pembebasan praktik seni rupa dari dominasi modernisme; bahwa seni rupa modern (Barat) berjalan dari representasional ke nonrepresentasional, pemurnian elementer seni rupa, seperti riwayat subjek figuratif menjadi abstrak-suprematisme. Hal terpenting, wacana dan praktik seni rupa menjadi bagian dari realitas sosial makro, karena persoalan tubuh menjadi tema yang tidak pernah selesai.
Buku Eksplo(ra)si Tubuh: Esai-esai Kuratorial karya Hardiman, memiliki makna strategis dalam upaya membangun pemetaan seni rupa Bali mutakhir. Buku ini tentu menjadi bahan rujukan yang sangat penting dalam menuliskan historiografi seni rupa Indonesia yang lebih komprehensif, terutama dalam bentangan waktu 10 tahun terakhir. (T)