Tabu.Project penerima Hibah Seni Kelola 2019 mempresentasikan garapan kolaboratif mereka pada Diskusi dan Lokakarya Parade Teater Canasta 2019. Kelompok yang digawangi oleh kawan-kawan muda kreatif ini mencoba menggali ulang, mempertanyakan, lalu merekonstruksi narasi-narasi tabu yang berkembang di Bali. Narasi tersebut berasal dari wawancara, observasi, mengobrol dengan berbagai kalangan, terutama para tetua yang mendalami kebudayaan Bali.
Hari itu, Tabu.Project diwakili oleh Ninus (penari), Myra Juliarti (fashion design), Aga (musisi) dan Wayan Subudi (visual artis). Ninus menceritakan bagaimana kelompoknya berkembang untuk menyemai satu kesepakatan bersama, dalam hal tawar-menawar estetika berkesenian yang telah diamini masing-masiang orang sebagai seorang pekerja kreatif. Tawar-menawar ini pun menghasilkan satu bentuk pementasan yang disandingkan dengan pemutaran film. kisahnya tentang perjalanan seorang perempuan, dari lahir, menjalani kehidupan dalam batasan pranata-pranata sosial, lalu mati yang diartikan kembali pulang ke rumah.
Tabu.Project hendak menguraikan bagaimana kehidupan seorang perempuan Bali dalam sistem masyarakat di Bali yang dikenal menganut sistem patriarki. Simbol-simbol ini hadir dalam berbagai komponen artistik yang masih mengamini kebudayaan namun mengalami rekonstruksi pada tataran bentuk objek.
Semisal kelahiran dihadirkan dalam bentuk topi dari anyaman bambu yang cukup besar-dibalut kain, topi itu dipakai oleh sang aktor yang tengah menari dengan tempo perlahan. Anyaman bambu itu merupakan reinterpretasi guwungan yang dipakai untuk menutupi ari-ari bayi. Kemudian simbol wanita dewasa yang biasanya menggunakan bunga sandat emas, dengan rambut disanggul rapi ke belakang, tapi kebiasaan ini direkonstruksi dengan rambut yang digerai begitu saja.
Menstruasi dihadirkan berupa tarian sang aktor yang membaluri tubuhnya dengan semacam cairan ke seluruh tubuhnya, dalam kehidupan itu mereka menggali bagaimana manusia Bali berhubungan dengan alam, manusia dan Tuhan. Hingga ke dunia sekala niskala. Lalu mati dihadirkan sebagai tarian bertemunya sang perempuan dengan kanda empat, saudara-saudara manusia Bali yang tak kasat mata menemani kelahiran di dunia.
Ninus menjelaskan segala simbol dalam pementasan tersebut merupakan upaya antitesa dari sebuah kebiasaan seorang perempuan. Antitesa inilah sebagai bentuk ketabuan, penyimpangan dari suatu kebiasaan. yang kemudian menjadi satu bentuk atau narasi baru yang masih berkembang pada tataran makna.
“Saya mencoba mencari antitesa, misalnya ayam jago selalu identik dengan lelaki Bali, kemudian saya sandingkan ayam jago tersebut dalam adegan perempuan membawa kise dan ayam yang terbuat dari plastik” ujarnya dalam diskusi.
Lebih jauh ia menjelaskan narasi-narasi yang terkumpul dalam wacana tabu, ia tabulisasi dan dipilah-disisihkan-disatukan kembali dalam pecahan-pecahan fragmen perjalanan sang aktor. Sementara Myra Juliarti seorang fashion designer menjelaskan hasil temuannya saat wawancara ke daerah Buda Keling, Di sana ia berbincang dengan seorang keturunan Brahmana mengenai cara berpakaian seorang perempuan, bahwa seorang perempuan menjahit bajunya sendiri kemudian ia pakai untuk kebutuhan sehari-hari. Dari wacana itulah Mrya mencoba menggali potensi bentuk bajunya. Sementara Aga dan Wayan Subudi menggali praktek magis yang kerap mewarnai kehidupan seorang perempuan yang dianggap sering mempelajari ilmu pengeleakan dibanding dengan laki-laki.
Wayan menerjemahkan ulang endih-bola api ke dalam lukisan di kipas, endih adalah salah satu bentuk supranatural yang dipercaya sebagai perwujudan ilmu pengeleakan. Dari kesan mistis inilah ia menerjemahkan berbagai bentuk simbol-simbol berwarna emas. Aga sendiri menggali lebih dalam nada-nada musik daerah Bali dan mencari bunyi-bunyi karakteristik bali, kemudian diterjemahkan dalam bentuk musik elektornik, alih wahana ini adalah bagian rekontruksi pemikiran bagaimana Bali dalam wacana global hari ini.
Jika boleh saya berpendapat, wacana sajian Tabu.project terkesan tumpang tindih sana-sini, sebab terlalu banyaknya wacana yang ingin di hadirkan dalam satu pementasan, pencaharian antitesa yang menarik adalah upaya alternatif cara pandang baru yang bisa dimaksimalkan dari sisi wacana. Sebab jika antitesa hadir tanpa pemikiran, kehadirannya tidak akan langgeng, atau mungkin tidak bisa diterima dalam ranah pemikiran yang sudah mapan.
Di sisi lain kelompok kolaboratif semacam Tabu.Project 3 tahun terakhir begitu berkembang di Bali terutama di kalangan anak muda kreatif. Sebut saja band Cassadaga yang sering berkolaborasi dengan berbagai bidang ilmu di luar musik, kelompoknya Jonas Sestakresna yang sedari awal dengan semangat kolektif, kuma Jaum project yang menggodok ide bersama menghasilkan satu pementasan, kelompok musik Noise yang bermarkas di Tuck n Trap Badung, sering menghadirkan tatanan campur baur karya dalam acara-acara yang sering mereka adakan dan banyak lagi kelompok-kelompok kolaborasi lainnya.
Tabu.Project pun muncul sebagai ruang yang lampau sebenarnya, hanya saja dibarengi dengan riset dan penelitian yang cukup menarik, wacana ini kemudian dapat berkembang kepada kelompok lainnya untuk memantik semangat kolaboratif dan kolektif. Saya sendiri berharap agar Tabu.Project dapat bertahan dan berkelanjutan walaupun awalnya bentukan iseng-iseng berhadiah. [T]