- Judul : Out Of The Lunch Box; Esai-Esai Sosial, Politik, & Agama
- Penulis : Iqbal Aji Daryono
- Penerbit : Shira Media
- Cetakan : cetakan pertama, Juni 2018
- Tebal : xvi +244 halaman
- ISBN : 978-602-5868-16-0
—
Pada hakikatnya, tiap manusia memiliki kebebasan berekspresi. Wujudnya bisa dalam menyanyi lagu, bermain musik, menulis cerita, mencetak buku, berdebat, dan seabrek jenis kebebasan-kebebasan ekspresi lainnya. Namun banyak yang luput untuk menekuni kecenderungan ekspresinya. Sehingga tidak jarang ada manusia yang belum berhasil. Hanya karena kurang ketekunan.
Jika ditilik sejarah panjang negeri ini, memang ada satu momen yang kentara sekali upaya pengekangan terhadap kebebasan berekspresi. Iya, di masa orde baru. Tiap wujud kebebasan ekspresi yang mengkritik, atau malah menentang pemerintahan maka halal untuk ditangkap, dipenjarakan, disingkirkan, bahkan kalau perlu dilenyapkan nyawanya. Masa yang benar-benar memilukan.
Berbeda dengan hari ini, era milenial. Era yang memiliki kecenderungan akut pada dunia digital. Kebebasan ekspresi tiap manusia mendapatkan ruang gerak dan haknya. Meski pun kebebasan yang disediakan masih belum penuh dan utuh. Tapi setidaknya manusia sudah tidak takut lagi untuk menyuarakan kritik, dan menentang sesuatu yang mencederai akal sehat.
Salah satu wujud kebebasan berekspresi manusia adalah menulis. Seperti yang dilakukan oleh Iqbal Aji Daryono di bukunya‘Out of the Lunch Box; Esai-Esai Sosial, Politik, dan Agama’. Ia menuangkan kritik sekaligus ide-ide kreatifnya. Tulisannya dari media online dikumpulkan, kemudian dicetak menjadi buku. ‘Menulis adalah menjadi merdeka’, kira-kira begitu. Sesuai kata pembuka buku ini.
Konten buku ini beragam. Kebanyakan berasal dari topik sederhana yang mungkin menurut beberapa penulis lain tidak perlu disoroti lebih mendalam. Beberapa tulisannya ada juga yang mengulas topik hangat pada masanya dan ramai diperbincangkan oleh banyak pihak. Kepiawaiannya mengulasdengan gaya tulisan nyantai, topik apapun itu, selalu membuat pembacabetah berlama-lamamenikmati irama di tiap tulisannya.
Misalnya ketika ia mengulas pernyataan Buya Syafii, tentang ucapan Ahok di Kepulauan Seribu dan sikap kebanyakan masyarakat setelah kasus itu. Ternyata menurutnya yang lahir bukan malah kecerdasan untuk berfikir mengolah sekaligus menyikapi kasus, namun justru cara berfikir hitam putih yang merebak (hlm. 1-6) hampir di seluruh elemen masyarakat kala itu. Bahkan menjamur sampai hari ini. Siapapun orangnya yang tidak sepakat dengan kelompoknya, maka dianggap lawan dan halal untuk dihujat habis-habisan.
Kasus politik memang memiliki kecenderungan seperti itu. Memicu pro dan kontra, hitam putih. Di sisi lain juga memerlukan penalaran dan sikap yang tepat. Bahwa politik itu penuh intrik untuk menjatuhkan lawan, memang benar adanya. Namun itu berlaku bagi mereka-mereka yang memiliki kepentingan. Lantas bagaimana dengan manusia awam, yang menjadi korban, untuk mengambil sikap tanpa harus gontok-gontokan? Itu yang sulit dilakukan.
Cara berfikir hitam putih hari ini juga menjadi tren dalam kehidupan antar umat beragama. Ia mencontohkan kasus halal dan tidak halal dalam pelabelan produk tisu dan panci. Sederhana. Tapi jika dicermati, efek yang ditimbulkan cukup besar di masyarakat. Sebab tidak menutup kemungkinan bahwa produk-produk lain –selain makanan, obat-obatan- akan meminta label halal dan tidak halal.Bisa jadi ada bus halal, helm halal, baju halal, dan produk semacamnya dihalalkan.
Selain itu, akses pelabelan halal mudah dilakukan oleh industri menengah ke atas. Namun lumayan sulit bagi industri kecil. Padahal label halal dan tidak halal kadangkala tidak berkaitan dengan kualitas produk, namun hanya upaya marketing di pasaran. Sehingga industri kecil bisa tersingkir hanya karena tidak mencantumkan label halal di produknya (hlm.126-131).
Mengingat negara ini terdiri dari beragam bahasa, agama, budaya, dan semacamnya. Sekaligus banyaknya jumlah penduduk, dan letak geografis berpulau-pulau. Maka saya rasa perlu untuk merubah cara berfikir hitam putih ini. Berbeda pendapat bukan berati lawan. Mengikuti mayoritas belum tentu benar. Minoritas belum pasti salah. Begitupun berlaku sebaliknya.
Lantas bagaimana caranya?
Caranya melalui baca buku. Memang pengalaman itu penting. Jalinan pertemanan yang banyak juga perlu. Namun membaca buku itu menjadi gerbang awal bagi manusia untuk mencerna segala pengalaman dan memuliakan pertemanan. Di samping itu, buku juga menjadi jantungnya peradaban.
Namun saya –mudah-mudahan sudah berubah- pernah membaca hasil riset bahwa daya baca masyarakat di negeri ini rendah. Urutan 61 dari 62 negara. Bahkan kalah dengan negara tetangga, Malaysia. Bagaimana mungkin, negara ini yang mayoritas umat beragama Islam dengan wahyu pertama iqra’ (bacalah), tapi daya bacanya rendah? Tidak perlu terlalu menggerutu, mungkin benar seperti itu.
Buku masih belum menjadi kebutuhan primer. Buku dibeli jika ada perlu untuk menyeleseikan tugas kuliah. Membeli dan membaca buku hanya diperuntukkan bagi mereka-mereka yang sekolah, di kampus, dan di tempat-tempat pendidikan formal. Bahkan hiburan, fashion, dan konsumsi yang harganya selangit rela dan ikhlas untuk dibeli. Sedangkan harga buku yang kisaran 40-80 ribu, membelinya masih dipikir-pikir ulang (hlm.173).
Padahal dengan memperbanyak bacaan buku, referensi, daya kritis, dan koleksi pengetahuan manusia jadi lebih banyak. Sehingga memandang problem, kasus, fenomena yang sedang, maupun telah terjadi di masyarakat tidak melulu dengan kacamata hitam putih, benar salah. Karena ada perspektif lain, ada alternatif solusi, sekaligus ada cara menyikapi dengan bentuk lebih baik.
Buku ini tidak memuat bahasa formal, ejaan yang terlalu rumit, dan tata cara kepenulisan dengan standar baku. Judul di tiap-tiap tulisan pun suka-suka si penulis. Tapi justru karena itulah, pembaca jadi penasaran untuk merampungkan tiap tulisan di buku ini. Pembaca dimanjakan oleh penulisnya dengan tidak mewajibkan membaca urut dari halaman awal sampai akhir.Tanpa harus khawatir kehilangan konten dan pesannya.
Jawaban semua tantangan, problem, fenomena, dan keingintahuan yang mendalam mungkin tidak bisa hanya dengan buku ini. Sebab adanya kertebatasan pengetahuan dari si penulis. Oleh karena itu, silahkan membeli, membuka, dan membaca buku-buku lain. Karena perbuatan demikian menjadi bagian dari kebebasan berekspresi. Orientasinya agar tidak terjebak pada kacamata hitam putih. Maka perbanyaklah membaca buku yang berkualitas. [T]