Sejak kemunculan RUU Permusikan, saya menjadi rajin memantau perkembangan berita-berita di media, baik cetak, elektronik, dan daring. Terutama berita terkait RUU tersebut.
Mungkin sebagian orang abai terhadap berita ini, mungkin juga tidak merasa memiliki kepentingan sebab bukan merupakan musisi atau orang-orang yang terlibat aktif di blantika musik lokal atau nasional. Tetapi menurut saya, sebagai seorang penikmat musik, saya harus tahu dan memiliki sikap terkait RUU ini.
Nah, akhirnya saya pun ikut menandatangani petisi menolak RUU Permusikan ini. Petisi ini muncul di kotak masuk email saya, tertera nama Danilla Riyadi, solois perempuan Indonesia terpanas saat ini, yang mengajak melalui akun Change.org. Change.org setahu saya adalah situs web petisi yang dioperasikan oleh perusahaan Amerika, Change.org, Inc. Sebelumnya saya memang telah beberapa kali ikut menandatangani petisi semacam ini.
Kembali ke RUU Permusikan. RUU ini bagi saya tidak sekadar seteru antara Jrx SID dengan Anang. Lebih luas lagi, keberadaan RUU ini sangat mengkhawatirkan bagi saya, secara pribadi, sebagai penikmat musik. Saya sempat cek beberapa pasal kontroversial pada RUU yang dikatakan prioritas DPR tahun ini. Benar saja, ada Pasal 5, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 32, dan Pasal 42 yang menurut saya memang begitu mencemaskan. Apalagi Pasal 50 yang seakan membuat dunia musik nasional lebih dekat dengan kiamat.
Untuk secara detail, Anda bisa cari tahu sendiri redaksi pasal-pasal kontroversial tersebut. Yang pasti, semua pasal itu sangat mungkin membatasi kebebasan berekspresi para musisi, menghambat pertunjukkan musik indpenden, terlalu memaksa, dan parahnya semua hal tampak dengan gampang dibawa ke ranah hukum pidana.
Seperti bunyi Pasal 50, “Mengatur hukuman penjara dan denda bagi yang melanggar Pasal 5”.
Begini bunyi Pasal 5, “Musisi dilarang mendorong khalayak melakukan kekerasan, serta melawan hukum, membuat konten pornografi, memprovokasi pertentangan antarkelompok, menodai agama, membawa pengaruh negatif budaya asing dan merendahkan harkat serta martabat manusia”. Pasal ini cukup membelenggu kebebasan berekspresi musisi.
Sebagai penikmat musik, saya tentu tidak setuju jika semua menjadi seragam, misalnya semua lagu dari band dan penyanyi nasional seperti lagu-lagunya Mas Anang. Saya tergelitik dengan tweet Rudolf Dethu, yang mentranskrip kalimat yang dilontarkan Indra Lesmana. Begini tweet penggerak Rumah Sanur itu:
“Masa saya ikut uji kompetensi dan pengujinya Anang?” kata Indra Lesmana kemarin siang saat dialog RUU Permusikan di ISI Denpasar.
Saya kira kalimat yang dilontarkan pentolan Karakatau Band ini tentu tidak diniatkan untuk merendahkan siapa pun. Namun tentu saja aturan semacam itu tidaklah ideal diterapkan dan terlalu mengada-ada.
Sebagai penikmat musik, saya mendengarkan Dangdut hingga Progresif Rock. Sesekali saya mendengarkan juga metal dan jaz, meskipun saya tidak mengerti musik. Sebagai penikmat musik, saya menyukainya, saya menikmatinya. Bukankah musik tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia?
Saya menyukai lagu Timang-timang yang dinyanyikan Anang dan Krisdayanti. Lagu ini bagus. Saya juga mendengarkan lagu-lagunya Navicula, sejak album Alkemis. Lagu-lagu mereka juga bagus. Selanjutnya apa mesti mereka mengikuti uji kompetensi untuk bisa diakui sebagai pelaku musik? Sedangkan para musisi pun tahu tidak pernah ada rumus khusus dalam membuat sebuah lagu bagus. Sebab setiap lagu punya pendengarnya masing-masing.
Sebagai pendengar musik, saya tidak mau Gede Robi Navicula membikin lagu cinta-cintaan macam Anang Krisdayanti. Begitu pula saya tak ingin mas Anang tiba-tiba membuat lagu seperti Navicula. Kalau mereka kolaborasi, tentu sebuah ide yang sangat bagus. Itu pun kalau Navicula mau. Ya tidak bisa dipaksakan dong! Seperti mewajibkan Katty Peri ketika konser di Jakarta dengan opener musisi lokal. Ya tidak bisa dipaksakan begitu! Belum tentu Katty Peri mau.
Sebagai penikmat musik, saya senang ada lagu-lagu dengan tema bermacam-macam, dengan jenis yang berbeda-beda, dan perform yang variatif. Sesekali tontonlah Youtube, sebab di sana menawarkan beragam musik bagus. Akhirnya mengapa radio semakin ditinggalkan, tampaknya karena musik seragam yang diperdengarkan.
Di stasiun radio musik diputar sesuai tren saat itu. Jadi dalam satu massa, semua stasiun radio akan memutar lagu yang sama, dari artis yang sama. Ditambah lagi para penyiar yang tidak lagi enak untuk didengarkan. Pelan-pelan pendengar musik beralih ke Spotify atau layanan musik digital yang lain.
Saya kawatir, keasykan memilih musik bagus di Spotify juga akan terkena aturan RUU Permusikan. Sebab mungkin saja musik-musik di Spotify dianggap menyajikan konten pornografi, memprovokasi pertentangan antarkelompok, menodai agama, membawa pengaruh negatif budaya asing.
Sebab, ukurannya sangat tidak jelas bukan? Seperti berlakuan sensor di televisi swasta, yang memburamkan tokoh Sizuka dalam kartun Doraemon atau memblurkan tetek sapi yang sedang diperah petani susu. Semakin ruet jadinya.
Kadang, seseorang mendengarkan radio tidak untuk mendengarkan lagu-lagu yang diputar, tetapi obroan para penyiarnya. Misalnya ketika sendiri di rumah atau menyetir mobil melewati kemacetan Denpasar-Singaraja. Sayang sekali, saat ini di radio lokal tidak saya temukan penyiar radio yang obrolannya asyik untuk didengar.
Untunglah mulai muncul Podcast, pengganti radio dengan penyiar dan konten yang lebih menarik. Tentu saja dengan pilihan lagu yang lebih variatif. Kemunculan podcast menjadi penyelamat, sama dengan kemunculan Youtube yang sudah menggantikan peran televisi.
Sebagai penikmat musik, kehadiran RUU Permusikan tentu sebuah kerugian bagi saya. Jadi biarlah berjalan seperti yang sudah-sudah, DPR tidak usah mengatur terlalu jauh. Lebih baik yang menjadi fokus yaitu tentang penerapan UU tentang Hak Cipta. Keberadaan UU ini lebih diperlukan. (T)