ADA kisah puncak Merapi lenyap.
R.W. van Bemmelen, dalam bukunya The Geology of Indonesia’ (1949), menyebutkan super-volcano Merapi ini pernah meletus dasyat sampai pucaknya jadi berkeping-keping, berhamburan ke angkasa. Saking dasyat, letusan ini bahkan disebutkan telah menyebabkan terjadi pergeseran lapisan tanah ke arah barat daya, dan terbentuk lipatan lain, yang membentuk Gunung Gendol.
Maha dasyat letusan diawali dengan dentum tabuh kawah, goyang gempa bumi, banjir lahar, longsor tebing dan luapan sungai-sungai, taburan hujan abu, matahari berbulan tidak tampak, digantikan hamburan batu-batuan api yang tiada henti memerciki langit. Berbulan, bahkan bertahun, terjadi tiada henti. Penduduk diliputi ketakutan sangat mendalam.
Seperti mendapat murka sang gunung, korban tiada terhitung, wabah menyebar dan kesengsaraan melanda. Tumbuh-tumbuhan tertutup abu sampai layu. Binatang gunung terbakar dalam pelariannya, ikan-ikan terkubur di aliran sungai yang telah menjadi jalur lahar panas, burung yang bermigrasi tewas di angkasa disambar pijar bebatuan, persawahan lenyap, candi-candi dan kota terkubur dari muka bumi.
Bencana tersebut diperkirakan menyebabkan penduduk Mĕdang bermigrasi ke timur, menjauh dari Merapi. Menurut Boechari—seorang arkeolog yang mendalami bidang epigrafi—diperkirakan letusan tersebut meluluh lantak dan mengubur ibu kota Mĕdang dan banyak daerah permukiman di Jawa Tengah. Bencana hebat itu diperkirakan melanda Mataram pada abad ke 9—10.
Prasasti Rukam (829 Śaka atau 907 Masehi) menyebutkan sebuah peristiwa “peresmian”, mungkin saja “ruwat”, Desa Rukam oleh Nini Haji Rakryan Sanjiwana karena desa tersebut telah dilanda bencana letusan gunungapi. Para ahli efigrafi menebak kemungkinan besar gunungapi dimaksud tak lain Merapi. Prasasti Rukam ditemukan di daerah Temanggung, Jawa Tengah. Mungkin saja prasasti ini tentang ruwat dan pembukaan pemukiman baru bagi gelombang migrasi tersebut.
Belasan kilometer dari Merapi, terdapat Candi Sambisari, dibangun abad ke-8, tertimbun letusan sampai 7 meter. Candi ini tidak jauh dari Bandara Adisucipto dan beberapa kilometer dari Candi Prambanan, ketika ditemukan terkubur dalam kedalaman 7 meter di bawah permukaan hamparan lahan pertanian. Puncak Candi tidak sengaja ditemukan oleh petani. Saat digali hampir keseluruhan bentuknya relatif utuh, tertimbun berkubik-kubik material gunungapi yang menutupinya.
Sekarang untuk mencapai ke dalam komplek terdalam candi ini kita harus menuruni tangga, yang mana pada masa didirikan diperkirakan lahan perkebunan atau hamparan tanah di sekitar candi sejajar dengan candi ini.
Prof Mundarjito ketika menulis disertasinya, “Pertimbangan Ekologi dalam Penempatan Situs Masa Hindu-Buda di Daerah Yogyakarta: Kajian Arkeologi-Ruang Skala Makro”, tahun 1993, mengkaji dengan rinci sebanyak 218 situs di daerah Sleman terletak di lahan dataran fluvio vulkanik, lereng kaki fluvio gunungapi, dan lereng bawah gunungapi. Ketika terjadi letusan Merapi, bisa dipastikan semua situs tersebut terdampak letusan sesuai ketinggian dan letak atau persebarannya.
Data arkeologi Jawa Tengah dan Yogyakarta menyebutkan terhitung candi-candi di Kabupaten Magelang yang pernah terkubur oleh letusan Merapi diantaranya Candi Pendem, Candi Kajangkoso, Candi Asu, dan lain-lain. Terletak di sekitar lereng tengah berjarak sekitar 5 – 10 kilometer dari puncak Merapi, jaraknya yang sangat dekat dengan puncak Merapi. Candi-candi di Kabupaten Sleman yang juga pernah terkubur oleh letusan Gunungapi Merapi diantaranya Candi Sambisari, Candi Kedungan, Candi Kedulan, Candi Kadisoka, Candi Kaliworo, Candi Ijo dan lain-lain berjarak antara 15–30 kilometer dari puncak Merapi.
Peristiwa lenyapnya pucak Merapi dan terkuburnya kawasan peradaban serta percandian Sleman, Yogyakarta dan Magelang, dan berdampak pada seluruh tanah Jawa ini dikenal dengan nama Pralaya Jawa.
Candi Barong yang tadi pagi kami kunjungi, yang terletak di Dusun Sumberwatu, Desa Sambirejo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, berdiri di perbukitan sebelah selatan kawasan Candi Prambanan, dengan ketinggian 189 meter di atas permukaan laut. Sekalipun relatif tinggi, tampaknya bisa dipastikan sempat tertimbun debu letusan Merapi. Mengingat berada di perbukitan yang berteras-teras kemungkinan bekas debu letusan hanyut terkikis ketika terjadi hujan lebat, lalu candi menyebul lagi ke permukaan.
Peneliti Belanda tampaknya menamai candi ini sebagai Candi Sari Sorogedung, karena dekat perkebunan Sorogedung, tapi penduduk setempat menamainya Candi Barong karena ada setidaknya ada 8 relief patra Boma yang mengelilingi 2 bangunan candi, yang orang setempat sebut sebagai Barong.
Dari titik ini terlihat jelas puncak Merapi. Ada beberapa petak sawah sedang menghijau yang relatif subur, mendapat air dari rembesan air sekitar candi. Kemungkinan rembesan di musim hujan, dan kering di musim kemarau. Dari tangga masuk matahari pagi menyembul persis di belakang candi. Situs itu membentang arah timur-barat mengikuti bentang perbukitan. Candi Ratu Boko terletak sekitar 1 kilometer di sebelah barat laut candi ini. Sisi selatan bawah perbukitan ini membentang persawahan dengan Candi Banyunibo (Jawa : “Air Menetes Jatuh”) berada di tengah-tengahnya.
Candi Banyunibo masuk wilayah dusun dan desa seberang, Dusun Cepit, Desa Bokoharjo, masuk kecamatan yang sama, Prambanan. Dari Banyunibo mencapai Candi Barong harus mendaki terjal perbukitan yang sebenarnya tidak jauh, sekitar 1,5 kilometer. Ada beberapa situs lain tidak jauh dari sini, seperti situs Arca Ganeśa, sekitar 250 meter dari Barong.
Candi Barong diperkirakan dibangun sekitar abad ke 9, peninggalan Kerajaan Mĕdang, atau kadang disebut candi dari periode Mataram. Dari temuan di komplek candi diperkirakan candi ini adalah candi pemujaan Dewa Wisnu dan Laksmi, yang dikenal juga sebagai Dewi Sri (Dewi Kemakmuran Pertanian). Candi ini, dengan demikian, termasuk kompleks pemujaan Dewa Wisnu yang sedikit ditemukan keberadaanya dibanding banyaknya candi pemujaan Dewa Śiwa yang sangat banyak ditemukan di Jawa.
Candi ini arsitektur istimewa, mengingatkan tri mandala atau tri angga seperti diterapkan dalam pendirian Pura-Pura di Bali, terbagi menjadi 3 bagian: Mandala Utama, Madya, Bawah (Jero, Jaba Tengah, Jabaan). Candi Ijo yang berada 2,5 kilometer di tenggara Candi Barong juga punya pembagian Tri Angga atau Tri Mandala seperti ini. Di Jawa Timur, Candi Penataran atau Rambut Palah, juga memiliki pembagian mandala yang sama.
Pembagian tri mandala atau tri angga ini seakan menjadi jejak tua percandian yang kemungkinan menjadi “template awal” atau model awal dari konsep tri mandala parahyangan (bangunan suci) di Bali. Apakah arsitektur berkonsep Tri Angga dan Tri Mandala parahyangan (Pura) di Bali dibawa dari sini? Bisa jadi, saya pikir demikian, dan tentunya perlu lebih mendalam diteliti secara ilmiah sebelum berkesimpulan bahwa cikal-bakal arsitektur parahyangan berkonsep ‘tri mandala’ di Jawa Timur dan Bali berasal dari sini.
Pagi dan senja hari, puncak Merapi tampak sangat indah dari Candi Barong. Sekaligus, dari candi ini, bisa dibayangkan bagaimana mencekamnya suasana api bersemburan dan puncak Merapi terlempar berkeping-keping melayang ke angkasa ketika terjadi ‘Pralaya Jawa’. Bisa dibayangkan kesedihan dan duka mendalam yang dialami telah mendorong paksa penduduk Mĕdang bermigrasi ke timur pulau Jawa dan mungkin ke Bali.
Teori umum tentang istana Medang di Mataram (yang diperkirakan sekitar Yogyakarta-Prambanan-Ratu Boko) hancur akibat letusan Gunung Merapi, namun sejauh penelusuran saya, belum ada yang berani final mengatakan bencana itu terjadi di era pemerintahan Dyah Wawa atau Mpu Sindok.
Perkiraan atau pendapat umum mengatakan Rakai Pikatan memindahkan pusat pemerintahan ke Mamrati (sekarang termasuk daerah Kedu), Dyah Balitung dikabarkan memindahkannya lagi masih diseputar Kedu, bernama kawasan Poh Pitu. Konon ada juga perpindahan kembali ke Mataram, pada zaman Dyah Wawa. Bolak-balik pindah ini tentu ada faktor penyebab, biasanya kalau tidak perang, paling umum bencana alam.
Mpu Sindok yang memerintah di Jawa bagian timur disebutkan sebagai penguasa yang tak lain dari kelanjutan dari Medang yang ada di Jawa Tengah. Teori itu berdasar adanya sebuah kalimat pada prasasti yang merujuk dikeluarkan oleh Mpu Sindok: “Kita prasiddha mangraksa kadatwan rahyangta i Bhumi Mataram i Watugaluh” (Prasasti Anjukladang, tahun 937). Sebelumnya, dalam Prasasti Turyan (tahun 929), disebutkan Mpu Sindok membangun ibu kota baru, di sekitar daerah Tamwlang.
Mĕdang, dari beberapa sumber lontar wariga dan palintihan di Bali, disebutkan sebagai asal-mula atau Mĕdangkĕmulan. Kĕmulan berarti “muasal” dan “pemujaan leluhur” dalam bahasa Bali. Dari Mĕdangkĕmulan konon dibawa ke Bali pengetahuan wariga dan berbagai pelintangan, juga pengetahuan ritual dan puja. Jika kita telisik dalam lontar, seperti ‘Lĕlintih Mĕdang Kĕmulan’ dan Wariga Mĕdang Kĕmulan, dalam bingkai mitos dan pembabaran wariga, disebutkan bahwa Mĕdang sebagai muasal dan salah satu akar pokok yang penting dalam pembentuk kalender kebudayaan dan konsepsi kosmologi manusia Bali.
Masyarakat Desa Julah adalah salah satunya yang mengamini hal ini. Di desa Bali Kuno, yang terletak di pesisir timur Buleleng, yang telah ada di abad ke 10, sebagaimana ditulis dalam Prasasti Sembiran (yang kini sebagian disimpan di parahyangan di Desa Sembiran dan sebagian di Julah), memiliki sejarah lisan bahwa leluhur mereka datang langsung dari Mĕdang. Raja Mĕdang (ada yang menyebutkan putra mahkotanya) telah meninggalkan mahkotanya sebagai kenangan di desa Julah. (Kini replikanya masih dikeramatkan di Pura Desa Julah, aslinya mahkota emas kuno itu beberapa tahun lalu lenyap digondol maling).
Selain masyarakat Bali Aga di Julah, masyarakat Bali Aga di Desa Trunyan, yang terletak di Danau Batur, legendanya bertutur tentang kedatangan leluhur masyarakat yang berasal dari Solo. Bukan dari Kediri atau Majapahit. Mereka mengklaim bahwa leluhur mereka terbang dari langit dan berasal dari garis Dalĕm Solo, jauh berabad-abad sebelum Kerajaan Kediri dan Majapahit berdiri.
Di beberapa tempat di Bali juga ada parahyangan khusus untuk Dalĕm Solo dan juga pelinggih atau altar pemujaan Bhatara Solo juga ada di banyak tempat di Bali. Demikian juga pengakuan dalam sejarah lisan Bali Aga di Desa Goblég dan sekitarnya yang mengatakan bahwa Dalĕm Solo menurunkan anak cucu di sana. Solo itu samakah dengan Mĕdang? Atau migrasi mereka dalam kurun atau periode letusan Merapi?
Bisa jadi sebagian leluhur Bali Aga berasal langsung dari Mĕdang ke Bali, seperti dikatakan dalam sejarah lisan desa Julah, tapi Mĕdang periode pemerintahan dan berpusat dimana ketika itu belum jelas. Atau migrasi Dalĕm Solo? Bisa jadi keduanya masyarakat dari periode yang sama yang membentuk Bali Kuno (?). Jika mitos dan sejarah lisan tentang Mĕdang ini benar adanya, artinya migrasi penduduk Mědang turut membentuk dan mewarnai kebudayaan Bali Kuno, terlepas dari Mĕdang era yang mana.
Di satu sisi, dipercaya melalui pejalanan waktu, dari Pralaya Jawa dan lenyapnya Mĕdang di Jawa Tengah, berselang kemudian muncul peradaban di Jawa Timur dalam prasasti Gajayana, yang bisa jadi tidak lain dari bagian dari lalu Kerajaan Medang garis silsilah Mpu Sindok (?), yang bersambung dengan periode rajakula Isana dan Dharmawangsa, yang besan dengan rajakula Warmadewa, lalu sambung-menyambung menjadi Kerajaan Kediri, Singosari, Majapahit, kesemuannya di Jawa Timur, dan bersambung ke Kerajaan Gelgel di Bali, yang dipercaya tak terpisah telah membentuk kebudayaan Bali sampai Bali terkini.
Puncak Merapi boleh lenyap. Kerajaan Mĕdang boleh bubar. Tapi ia tidak benar-benar lenyap. Ia masih terjaga dalam ingatan, dalam sebentuk mitos dan dongeng, dalam cara menghitung kalender dan rumus mencari hari baik, yang mengaliri lontar-lontar dan kisah-kisah leluhur Bali. Ia masih hadir dalam puja dan doa-doa untuk para leluhur. (T)
Catatan Harian 16 Pebruari 2018.