SETIAP Minggu pagi, Taman Kota Singaraja menjelma menjadi panggung kecil bagi berbagai aktivitas. Ada anak-anak berlarian, ibu-ibu berbincang sambil menemani putra-putrinya, hingga para penjual yang menjajakan dagangan mereka.
Tapi, di salah satu sudut jalan, ada sesuatu yang berbeda, jejeran lukisan yang seolah memanggil para pengunjung untuk berhenti sejenak, mengamati, bahkan mengagumi. Di sinilah saya bertemu dengan Yan Mintaraga, seorang seniman pinggir jalan yang menyebut tempat itu sebagai “kedai lukis” miliknya.
Yan tidak seperti bayangan umum tentang seniman. Rambutnya tidak gondrong, tubuhnya tidak dihiasi tato. Ia hanya mengenakan topi newsboy yang sudah lusuh, kacamata bulat bertengger di atas kepala, dan senyumnya yang ramah. Di belakangnya, mobil antik berwarna abu-abu mengalunkan lagu Ratih Purwasih, menambah suasana nostalgia. Dengan segala kesederhanaan itu, Yan memancarkan sesuatu yang sulit dijelaskan—mungkin semangat, mungkin cinta, atau mungkin keduanya.
Setiap acara Car Free Day di Jalan Ngurah Rai Singaraja, di Taman Kota itu, Yan dan anaknya datang ke Taman Kota sejak subuh. Mereka membawa lukisan-lukisan di atas sterofoam yang dipesan khusus dari Mojokerto. Lukisan itu belum berwarna, hanya sketsa hitam putih yang menanti sentuhan imajinasi anak-anak.

Karya-karya Yan Mintaraga di Taman Kota Singaraja | Foto: tatkala.co/Arix
Bagi Yan, tempat ini bukan sekadar tempat mencari nafkah. Di sini, ia menciptakan ruang kecil bagi anak-anak untuk melampiaskan kreativitas mereka. “Kalau mereka belum selesai melukis, saya kasih cat tembok untuk dibawa pulang,” ceritanya sambil tersenyum. Baginya, seni bukan hanya tentang hasil, tapi juga proses yang membuat seseorang merasa bebas.
Berbeda dengan banyak penjual lukisan anak-anak yang hanya menyediakan cetakan sablon, Yan mengerjakan semuanya dengan tangan. “Saya nggak mau pakai yang sablon. Ini semua hasil tangan saya sendiri,” katanya, menunjukkan beberapa lukisan yang dipajangnya. Ada Bung Karno, Albert Einstein, Ki Hajar Dewantara, hingga Benyamin S. Lukisan Benyamin itulah yang pernah dibeli oleh Bapak Supriatna, kini Wakil Bupati Buleleng. Tapi, Yan tidak mengambil sepeserpun uang dari transaksi itu. “Buat saya, bukan uangnya yang penting, tapi bagaimana orang menghargai karya saya,” ucapnya tegas.

Yan Mintaraga dan karya-karyanya | Foto: tatkala.co/Arix
Harga lukisan Yan berkisar antara lima ribu hingga lima belas ribu rupiah. Saat saya bertanya apakah itu tidak membuatnya rugi, ia hanya tertawa kecil. “Kadang ada orang tua yang bawa dua anak. Satu bisa melukis, yang satu lagi belum bisa. Kalau saya kasih harga murah, mereka tetap bisa ikut melukis. Yang penting, anak itu senang. Walaupun cuma coret-coret, itu tetap karya mereka,” tuturnya. Filosofi Yan sederhana, seni adalah tentang menyalurkan isi hati, bukan tentang hasil yang sempurna.
Yan berusia 45 tahun, seorang seniman otodidak yang pernah berkuliah di jurusan Seni Rupa Undiksha pada tahun 1998. Meski tidak menyelesaikan pendidikannya, Yan tidak pernah berhenti berkarya. Dari SMP hingga SMA, ia sering menjuarai lomba melukis, bahkan pernah masuk sepuluh besar di ajang kompetisi tiga provinsi: Bali, NTB, dan Jawa Timur. Tapi, piala-piala itu kini entah di mana. “Mungkin sudah berdebu di sekolah Lab Undiksha, hahaha,” candanya, sambil mengenang masa mudanya.
Selain melukis, Yan juga kreatif mengolah barang bekas. Dari limbah kaleng, ia pernah membuat miniatur vespa yang detailnya luar biasa. Dari limbah kayu, ia menciptakan karya seni yang tak kalah indah. Atas inisiatifnya itu, ia pernah mendapatkan penghargaan dari Dinas Lingkungan Hidup pada tahun 2018. Semua karyanya diberi nama “Sahabat Kreatif”, sebuah nama yang mencerminkan semangat Yan untuk menjadikan seni sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari.

Miniatur Vespa hasil karya Yan Mintaraga yang dibuat dari kaleng-kaleng bekas | Foto: tatkala.co/Arix
Namun, seni tidak selalu dihargai dengan cara yang semestinya. Yan sering mendapati orang-orang yang menawar lukisannya dengan harga tidak masuk akal. Tapi, ia tidak pernah marah. “Kalau mereka nggak bisa menghargai makna di balik lukisan saya, lebih baik nggak usah dibeli. Saya lebih senang melihat lukisan itu setiap hari daripada dijual murah tanpa penghargaan,” katanya dengan nada mantap.
Di tangan Yan, sterofoam yang biasanya dianggap sebagai limbah, menjadi media seni yang bisa meghidupunya. Cat yang digunakan adalah cat tembok, pilihan yang sederhana tapi fungsional. Dulu, ia sering melukis langsung di tempat, menunjukkan proses kreatifnya kepada pengunjung. Namun, belakangan ia lebih memilih membawa sketsa yang sudah jadi dari rumah. “Biar nggak terlalu repot. Tapi kalau ada yang minta lukisan khusus, saya tetap buatkan,” tambahnya.
Yan adalah bukti bahwa seni tidak membutuhkan panggung besar atau galeri megah. Di pinggir jalan Taman Kota Singaraja, ia mencurahkan isi hatinya di atas sterofoam. Dengan harga yang terjangkau, ia membuka ruang bagi anak-anak untuk berimajinasi, bagi orang dewasa untuk menghargai keindahan sederhana, dan bagi dirinya sendiri untuk terus berkarya tanpa beban.


Pengunjung menonton karya-karya Yan Mintaraga di Taman Kota Singaraja | Foto: tatkala.co/Arix
Ketika saya bertanya apa yang membuatnya tetap semangat meski kadang kedainya sepi, ia hanya menjawab singkat, “Karena saya nggak pernah merasa bekerja. Ini semua saya lakukan dengan hati.” Kata-katanya mengingatkan saya pada sesuatu yang sering terlupakan, bahwa kelebihan seseorang terletak pada apa yang ia lakukan dengan cinta dan tanpa tekanan.
Setiap kali melintas di Taman Kota Singaraja, mungkin kita akan melihat Yan duduk di sana, ditemani alunan lagu-lagu lama dari mobil antiknya, dengan senyum yang tidak pernah hilang. Di balik kesederhanaannya, Yan Mintaraga, seniman pinggir jalan yang mengajarkan kita bahwa seni sejati adalah tentang bagaimana kita mencurahkan hati, tanpa peduli di mana kita berada. [T]
Penulis: Arix Wahyudhi Jana Putra
Editor: Adnyana Ole
Penulis adalah mahasiswa prodi Ilmu Komunikasi STAHN Mpu Kuturan Singaraja yang sedang menjalani Praktik Kerja Lapangan (PKL) di tatkala.co.
- BACA JUGA: