SERATUS tahun yang lalu, pelukis Jerman kelahiran Moskow, Walter Spies, mengunjungi Bali untuk pertama kalinya. Tak lama kemudian, Bali menjadi rumah barunya hingga ia meninggal secara tragis selama pendudukan Jepang, yakni pada tahun 1942 saat usianya 47 tahun. Di Bali, banyak orang masih mengingatnya hingga saat ini.
Sebut saja Michael Schindhelm, seorang penulis, pembuat film dan aktif sebagai konsultan budaya asal Swiss-Jerma berkolaborasi dengan perupa Made Bayak dan Gus Dark mengelar pameran seni rupa untuk memperingati seratus tahun kepergian Walter Spies. Pameran seni rupa bertajuk “Root” tak hanya menawarkan keindahan, tetapi juga syarat dengan kritik sosial. Salah satunya, gambaran lingkungan Bali kini, sangat berbeda dengan dulu, ketika Walter Spies menginjakan kaki di Bali.
Pameran yang telah dimulai pada Sabtu, 24 Mei hingga 14 Juni 2025 dikuratori oleh Chiara Turconi dan Yudha Bantono. Michael Schindhelm menampilkan karya seni instalasi, karya grafis, serta cuplikan film dokumenter fiksi ROOTS yang menggambarkan sosok Walter Spies sebagai figur metaforis yang menjelajahi Bali setelah kunjungan pertamanya, dan gambaran Bali kini.

Pameran ROOTS memperingati Seratus Tahun Walter Spies | Foto: tatkala.co/Bud
Sementara Made Bayak dan Gus Dark menampilkan karya kontemporer yang mengangkat perjuangan masyarakat Bali dalam melestarikan budaya lokal di tengah tantangan modern. Kedua perupa ini menampilkan karya-karya yang sarat kritik terjadap lingkungan, seperti masalah sumber air, sawah dan lainnya. Karya yang dipamerkan lebih dari 100 karya yang menawarkan pesan yang untuk menjaga lingkungan.
Pameran ini dibagi menjadi beberapa ruang, dan setiap ruang menyajikan karya yang berbeda, lengkap dengan pesan moral yang disampaikan. Pada awalnya memasuki ruang pameran biasa yang menyajikan karya-karya menarik, lengkap dengan karya film yang layar dipasang di tengah-tengah pameran itu. Kemudian memasuki ruang helat yang dibatasi dengan kain hitam tebal. Dalam ruang itu hanya ada layar yang menampilkan karya-karya budaya dulu dan kini.
Di ruang berikutnya seluruh dinding di gambar, sehingga antara karya dan dinding sama-sama penuh karya. Objek lulisan itu lenbih banyak binatang dan manusia dalam bentuk yang berbeda, ada bertubuh besar. Ada karya manusia yang bertubuh tambun membawa tulisan “ajeg aku save bali, ada berbahasa Inggris, seperti hotel cheap, pub open, club open, club open 24 jam, transport cheaf. Di dinding sebelahnya ada gambar wayang kontemporer, berbagai gambar binatang dengan kepala, seperti kepala raksasa.
Michael Schindhelm mengatakan, seratus tahun yang lalu, pelukis Jerman kelahiran Moskow, Walter Spies, mengunjungi Bali untuk pertama kalinya, dan tak lama kemudian Bali menjadi rumah barunya hingga ia meninggal secara tragis selama pendudukan Jepang, yakni pada 1942 saat usianya 47 tahun.

Pameran ROOTS memperingati Seratus Tahun Walter Spies | Foto: tatkala.co/Bud
Spies telah berteman dengan banyak seniman penting di Jerman, ia pernah mengadakan pameran di Berlin dan Amsterdam, dan terlibat dalam pembuatan film horor pertama di dunia yaitu Nosferatu, pada kenyataannya ia hampir terlupakan dalam sejarah seni Barat. Namun, di Bali, banyak orang masih mengingatnya hingga saat ini. Para seniman menjadikan gaya realisme magisnya sebagai model, sebagai penari dan koreografer Spies berperan dalam pengembangan tari lokal yang mungkin paling populer yakni kecak.
Khusus bagi para kolektor, serta pemilik galeri menghormati dirinya atas inisiatif terbentuknya Pita Maha, yaitu pendirian koperasi seniman independen untuk mengekang pengaruh komersial pedagang seni Barat pada tahun 1930-an dan 1940-an. “Ketika sebuah karya Walter Spies masuk ke pasar – seperti yang terjadi baru-baru ini, di sebuah lelang di Singapura – harganya sangat mengejutkan sampai bisa mencapai tujuh digit,” papar Michael Schindhelm saat konferensi pers di Arma Museum Ubud, Jumat 23 Mei 2025.


Pameran ROOTS memperingati Seratus Tahun Walter Spies | Foto: tatkala.co/Bud
Jadi kenyataanya, bahkan hingga abad ke-21, ada seniman yang karyanya bisa sangat berharga, namun sekaligus kurang begitu dikenal. Dapat diasumsikan bahwa saat ini karya Spies pastinya akan ditampilkan di museum dan koleksi Jerman seandainya ia tidak meninggalkan Eropa untuk selamanya pada usia 28 tahun. “Spies sebuah anomali Modernisme. Jika saja membandingkan karya-karya dari periode sebelum kedatangannya di Bali dengan karya-karya setelahnya, maka orang hampir tidak akan menyadari bahwa karya-karya tersebut dibuat oleh seniman yang sama,” paparnya.
Michael Schindhelm mengatakan, ia biasanya menjual karyanya segera setelah selesai, nyaris tidak ada koleksi publik. Spies cukup terkenal selama hidupnya, Charlie Chaplin mengunjunginya di daerah tropis, seperti halnya Barbara Hutton, seorang wanita terkaya di Amerika saat itu. Penulis Vicky Baum tinggal bersamanya, dan antropolog Margaret Mead dapat melanjutkan studinya di pulau itu bersama suaminya Gregory Bateson juga berkat bantuan Spies.
Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa Spies juga terlibat dalam proyek pariwisata pertama di Bali pada tahun 1920-an dan 1930-an. Kemudian, di banyak bagian belahan dunia, warisan budaya lokal dihadirkan sebagai daya tarik bagi para pelancong dari negeri-negeri jauh. Selama krisis ekonomi global, ketika koloni-koloni Hindia Belanda juga mengalami kesulitan, pariwisata ditemukan sebagai sumber pendapatan baru. “Saat ini, Bali menjadi penerima manfaat sekaligus korban dari pariwisata massal global,” paparnya.
Ketika Spies datang ke Bali, kehidupan sosial penduduk setempat sepenuhnya merupakan produk budaya mereka. Budaya dan kehidupan pada dasarnya adalah satu dan sama. Seperti halnya, setiap orang adalah seniman. Spies kemudian bertemu dengan bakat-bakat luar biasa seperti seniman I Gusti Nyoman Lempad dan penari sekaligus koreografer Wayan Limbak.
Bersama mereka dan masih banyak yang lainnya, Spies mengupayakan modernisasi seni Bali dan menyadari pula pada saat yang sama bahwa seni tersebut harus dilindungi dari amukan imperialisme Barat. “Ketika saya mulai meneliti Spies tentang Bali sekitar enam tahun lalu, saya menyadari akan membutuhkan bantuan seniman Bali untuk memahami dan menceritakan kisah tersebut,” ucapnya.
Berkat saran dan dukungan Horst Jordt di Jerman, ia kemudian bertemu dengan Agung Rai, yang mengetuai Walter Spies Society di Bali. Agung Rai memperkenalkan dan memfasilitasi dengan jaringan orang-orang yang berkecimpung di sektor budaya di Ubud dan tempat-tempat lain di Bali. “Saya mengenal I Wayan Dibia, salah satu siswa terakhir Limbak, yang dianggap sebagai salah satu peneliti budaya, penari, dan koreografer terpenting di Bali, dan yang menciptakan tari topeng tentang Walter Spies sepuluh tahun lalu,” ungkapnya.
Dalam karya Dibia, orang Bali menarikan karakter Spies, Chaplin, dan Margaret Mead, yakni orang Barat, dihadirkan dalam bentuk fisik dan komunikasi gestur mereka, sebagaimana terlihat melalui lensa orang Bali. Bahkan seniman muda di Bali pun sangat akrab dengan sosok dan kisah Walter Spies. “Bersama etnografer dan penari Dewa Ayu Eka Putri, musisi Tutangkas Hranmayena Putu, seniman Made Bayak dan Gus Dark, serta Agung Rai dan I Wayan Dibia, kami telah berupaya untuk mengeksplorasi kisah Spies dan dampaknya terhadap masyarakat Bali saat ini,” sebutnya.

Pameran ROOTS memperingati Seratus Tahun Walter Spies | Foto: tatkala.co/Bud
Sedangkan Made Bayak dan Gus Dark dalam pameran ini mengangkat tema-tema utama masyarakat Bali saat ini, seperti pengkhianatan negara, ketahanan budaya spiritualnya sendiri dalam menghadapi masyarakat konsumen global, bentang alam yang terancam, dan genosida 1965/66.
Made Bayak menghadirkan Bali yang sedang menghadapi persoalan politik, budaya, lingkungan dan kondisi Bali hari ini. Karya penuh kritik itu bukan untuk menghakimi, tetapi lebih pada akar yang merepleksikan melalui karya seni. Intinya, memperagakan ulang sistemik yang dibuat bersama dari kisah Walter Spies di Bali. “Melalui karya ini, kami ingin mengembalikan Bali pada rel yang sesungguhnya. Saat ini, Bali dihadapkan pada persoalan subak, sumber air bersih yang sudah tercemari dan mulai menipis, juga lainnya,” imbuhnya.
Founder Arma Museum Ubud, Agung Rai mengatakan, pameran ini menampilkan karya-karya yang lebih pada berbagi, tak hanya di Bali, bahkan dunia. Kehadiran Walter Spies di Bali, mengajarkan orang Bali untuk merasakan keindahan, baik dari lanskip, tradisi, sehingga Bali menjadi living tradisi tak ada yang lain. “Saya berterima kasih ada penawaran untuk menterjemahkan dan merumuskan Bali ke depan. Budaya orang Bali yang memuliakan air dan lingkungan itu sudah diletakkan oleh Walter Spies, namun sekarang itu hilang, dan kini lukisan dalam pameran ini mengunggahnya kembali,” jelasnya. [T]
Reporter/Penulis: Nyoman Budarsana
Editor: Adnyana Ole
- BACA JUGA: