“Nu medagang godoh?”
KETIKA awal-awal pindah ke Denpasar, setiap pulang kampung, pertanyaan bernada mengejek itu kerap dilontarkan orang-orang kepada I Made Adnyana. Ringan terdengar, tapi lelucon semacam itu membekas kuat dalam ingatannya.
Di kampung halamannya, Pupuan, Tabanan, godoh (pisang goreng) adalah bagian dari hidupnya. Sejak kelas 2 SD hingga kelas 3 SMP, Adnyana menjual pisang goreng. Bukan karena paksaan, melainkan karena ia menyukai prosesnya: berjualan, bertemu orang, dan belajar mandiri.
Tapi hari itu, di usianya yang ke 54 tahun, Made Adnyana membuktikan bahwa dagang godoh bukan lagi sekadar kenangan masa kecil yang patut dipermalukan.
“Dagang godoh itu bukan lagi dagang godoh, kini sudah menjadi Doktor,” ucapnya lantang, tapi tampak gemetar, seperti hendak menahan tangis haru.


Sidang terbuka promosi doktor ‘I Made Adnyana’ | Foto: Canda Yuda
Senin, 19 Mei 2025, di Aula Fakultas Hukum Universitas Udayana, Made Adnyana resmi menyandang gelar akademik tertinggi sebagai Doktor Hukum Pers. Gelar itu diraihnya setelah menyelesaikan disertasi berjudul “Pengaturan Perlindungan Hukum Jurnalisme Warga dalam Penguatan Demokrasi Indonesia”. Disertasi tersebut bukan sekadar hasil penelitian ilmiah, tapi juga bentuk kepedulian terhadap dunia jurnalistik yang telah menjadi bagian dari perjalanan kariernya.
Setelah menempuh perjalanan panjang, Made Adnyana berhasil meraih gelar doktornya dengan membanggakan. Ia lulus dengan IPK 3,92 dan tercatat sebagai lulusan doktor ke-149 di Fakultas Hukum, Universitas Udayana. Kini, nama lengkapnya adalah, Dr. I Made Adnyana, S.H., M.H.

Penyematan almamater oleh Koordinator Prodi S3 (Doktor) Ilmu Hukum FH Unud (Prof. Dr. I Putu Sudarma Sumadi, S.H., S.U) | Foto: Canda Yuda
Di akhir sidang terbuka, ia sempat melontarkan celetukan:
“Saya mengundang wartawan untuk antisipasi. Besok-besok kalau ada yang meragukan ijazah atau disertasi saya, sudah ada buktinya,” celetuknya disambut tawa hangat dari hadirin–termasuk para wartawan yang diundangnya secara khusus.
Tak bisa dipungkiri, Made Adnyana adalah jurnalis sejati. Meski kini menjadi dosen di Universitas PGRI Mahadewa Indonesia (UPMI Bali), insting jurnalis dalam dirinya tak pernah padam.
“Waktu awal-awal jadi mahasiswa, saya aktif di koran kampus. Lalu di Wiyata Mandala. Sering juga keliling ke sekolah-sekolah, mengisi pelatihan jurnalistik,” kenangnya.
Menurutnya, kebiasaan mengajar itulah yang membuatnya direkrut menjadi dosen konsentrasi jurnalistik dan kewarganegaraan di UPMI Bali, dan terus bertahan sampai hari ini.
Serbuk Kopi dan Cangkir Kehidupan
Satu waktu, seorang sahabatnya, IGA Sri Rwa Jayantini (Guru besar di Universitas Mahasaraswati Denpasar), memberikan puisi sederhana saat hari ulang tahunnya. Begini pesannya: “Tetap tuangkan serbuk kopi ke dalam cangkirmu, Ko.”
Kalimat itu membekas. “Kalau kehidupan ini adalah cangkir, maka perbuatan kita–baik dan buruk–adalah serbuk kopinya. Selama kita hidup, terus isi cangkir itu,” tafsir Adnyana.
Baginya, filosofi itu sangat tepat menggambarkan perjalanan panjangnya: dari dagang godoh hingga doktor hukum. Tidak ada yang instan. Semua dicapai lewat proses panjang, pengorbanan, dan konsistensi.
“Pernah ada yang nyeletuk: ape bin kel alih be tua? Tapi saya tidak pantang menyerah,” ujarnya, mengenang cibiran yang diterima saat memilih kembali ke bangku kuliah di usia yang tak lagi muda.

Dr. I Made Adnyana, S.H., M.H bersama promotor, ko-promotor, dan penguji | Foto: Canda Yuda
Menurutnya, sukses tak bisa dipisahkan dari pengorbanan, dan pengorbanan mustahil dilakukan sendiri. Karena itu, dalam pidatonya ia tidak lupa mengucapkan terima kasih pada banyak pihak yang menyokong langkahnya–keluarga, kolega, sahabat, dan tentu saja, rekan-rekan media.
Disertasinya lahir dari kegelisahan: maraknya jurnalisme warga di media sosial, namun belum diimbangi perlindungan hukum yang jelas. Padahal, di era digital, siapa pun bisa menjadi penyebar informasi–dan juga bisa terjerat hukum karenanya.
“Jurnalisme warga harus diberi ruang, tapi juga perlu pengaturan agar tak berujung kriminalisasi,” katanya.
Di sela kesibukan sebagai dosen, Made Adnyana juga aktif mengelola podcast–Oke Made, mengelola media daring–musikbali.com, serta kerap diundang menjadi pembicara tentang musik dan jurnalistik di berbagai forum. Baginya, belajar adalah proses seumur hidup. Selagi ada niat untuk belajar, maka tidak akan ada habisnya hal-hal yang bisa dipelajari.
“Selama cangkir itu masih kosong, saya akan terus menuangkan kopi ke dalamnya,” ucap pemilik slogan ‘Salam Secangkir Kopi Hangat’ itu.
Dan kini, kopi itu terasa makin pekat, dan makin bermakna–karena dituangkan dari tangan seorang doktor yang dulunya… dagang godoh. [T]
Reporter/Penulis: Dede Putra Wiguna
Editor: Adnyana Ole
- BACA JUGA: