SELANJUTNYA, adalah lukisan “Dunia Ikan”karya Made Gunawan, dengan penggayaan ekspresionisme figurative menarik untuk dinikmati. Ia, menggabungkan teknik seni rupa tradisi dan kontemporer. Perpaduan teknik tradisional (nyawi) dan modern ini memberikan tekstur visual yang kompleks. Ini bisa didefinisikan dialog antara warisan tradisional Bali dan pengaruh seni kontemporer global. Hal ini dapat dihubungkan dengan teori estetika Edmund Burke tentang “sublime,” di mana karya ini memanfaatkan intensitas visual untuk menggugah perasaan.
Edmund Burke mengembangkan teori estetika tentang “sublime” dalam karyanya yang berjudul A Philosophical Enquiry into the Origin of Our Ideas of the Sublime and Beautiful (1757). Dalam teori ini, Burke membedakan antara “sublime” dan “beautiful” sebagai dua pengalaman estetika yang berbeda. Sublime adalah pengalaman yang memicu rasa kagum, dahsyat, atau terpesona karena menghadapi sesuatu yang sangat besar, kuat, atau tak terjangkau oleh pemahaman manusia. Sublime sering kali melibatkan elemen ‘daya’ yang besar, tetapi dalam konteks yang aman, sehingga menghasilkan rasa nikmat yang paradoksal. Kalau beautiful lebih berkaitan dengan hal-hal yang menyenangkan, harmonis, enteng, dan menenangkan, seperti bunga, musik lembut, atau karya seni yang indah.
Tentang ikan, Made Gunawan memang sejak kecil suka pada ikan. Ia dan teman-temannya, acap mencari ikan di parit-parit, yang ada di desanya. Terkadang di kolam milik tetangga. Sedikit pengalaman masa kecil nya di kampung, sewaktu masih duduk di bangku Sekolah Dasar , sekitar th 1980 an. Sepulang sekolah, ia sering bersama kawan sepermainan ke selokan di pamatang sawah mencari ikan kolen dengan kukusan yg sudah rusak. Ikan keci-kecill yang Gunawan dapatkan hanya untuk mainan bersama kawan-kawan, tidak untuk dikonsumsi.
“Saya masih ingat, ketika itu saya bersama kawan bermain di tengah sawah yg ada kolam ikan karper yg besar-besar. Karena besar ikan nya, atau saya yang masih kecil, ketika saya pegang ikan itu, saya justru di tarik oleh ikan itu. Lalu kami dimarah sama yang empunya kolam, serentak larilah kami”, cerita Gunawan. Begitulah pengalaman masa kecil Gunawan, yang tertanam di ingatannya.

Made Gunawan, “Study Komposisi”, acrylic on canvas
Pada perkembangan selanjutnya, Made Gunawan senantiasa tak lupa menorehkan memori itu lewat kemampuan melukis di atas kertas, atau media apapun. Salah satu obyek yang ia gemari adalah figur ikan. Karya-karya sketsa maupun drawing figur-figur ikan nya mengingatkan saya pada pelukis Prancis kelahiran Tiongkok, Zao Wou-Kie. Ini bisa kita simak dari karya Zao yang berjudul “Untitled” dan karya Made Gunawan yang bertajuk “Penguasa Laut 1” yang bertahun 1996.
Pemadan yang saya maksud ini, bukan bentuk visualnya – tapi spirit, teknik, dan proses penciptaannya. Karya “Untitled” memberikan pada penikmat sekilas tentang bagaimana Zao menggunakan kaligrafi dan teknik melukis Tiongkok dengan cat air, dengan berani dan cekatan, dengan sempurna memamerkan estetika unik “difusi berlapis” dan denyar warna “monokrom” dalam lukisan sapuan tinta Tiongkok tradisional. Tak jauh berbeda dengan Made Gunawan yang acap menggabungkan teknik melukis tradisional Bali dan teknik modern.
Karya Zao tersebut mengandalkan warna primernya – beberapa corak warna– untuk mengatur nada dan ritme keseluruhan, kemudian sentuhan hitam dan biru digunakan untuk menambah kedalaman dan lapisan pada lukisannya. Efek dari difusi tersebut adalah kesan suram kuno serta fluiditas, mengingatkan pada keindahan karya lukis klasik Cina. Ini sepenuhnya menunjukkan kendali Zao atas kuas dan keterampilan dengan teknik kaligrafi Tiongkok.
Kesan lapisan tanpa batas yang diciptakan dengan warna-warna sederhana ini mengingatkan kita pada Lausanne From the West karya Joseph Turner, yang menggunakan cat air sederhana untuk membangun lanskap yang damai. Teknik yang dipergunakan Zao, tak jauh berbeda dengan teknik Made Gunawan. Baik karya-karya lamanya, maupun karya terbarunya kini. Sama dengan Zao, Gunawan, juga tak pernah berhenti mengembangkan teknik melukisnya.

Made Gunawan, “Diburu”, acrylic on canvas
Kembali ke karya “Dunia Ikan” Made Gunawan, Dalam karya ini, Made Gunawan menyampaikan pengalaman emosionalnya dengan memadukan beberapa warna. Ia juga mendistorsi figure-figur untuk menciptakan komunikasi langsung dengan penikmat. Ini membangkitkan rasa nostalgia dan kepekaan terhadap tema bahari. Karya Made Gunawan ini menonjolkan elemen visual seperti warna cerah, pola mosaik, dan komposisi yang padat. Teknik nyawi, yang menggunakan alat tradisional seperti bambu, ia pergunakan untuk menciptakan garis tegas, memberikan detail yang sangat halus pada setiap figur ikan.
Bentuk ikan yang beragam dan pola yang kompleks menciptakan harmoni visual, meskipun komposisinya penuh dan dinamis. Dalam karya ini, ikan mungkin melambangkan kehidupan laut yang kaya di Nusantara, sekaligus menjadi metafora tentang hubungan manusia dengan fauna. Warna-warna cerah seperti merah, biru, dan kuning mungkin saja bisa memengaruhi emosi penikmat, menciptakan rasa kegembiraan dan energi. Saya selaku penikmat, seperti sedang menikmati suatu karya sastra, ‘prosa liris’.
Secara konseptual, karya ini dapat diinterpretasikan sebagai simbol harmoni dan kehidupan bawah laut yang kaya, atau mungkin sebagai refleksi hubungan manusia dengan alam. Teknik yang digunakan Gunawan, yang sering memadukan seni tradisional dan modern, memberikan kedalaman pada karya ini, menjadikannya lebih dari sekadar lukisan—ia adalah cerita yang hidup. Karya Made Gunawan ini, “dunia ikan” dan “diburu”, digelar di Neka Art Museum Ubud – pada perayaan ke 29 Komunitas Seni Galang Kangin (KSGK) 18 April hingga 18 Mei 2025.
Pada lukisan ini, Gunawan menggunakan media akrilik di ataskanvas dengan detail halus, terutama pada garis dan tekstur tubuh ikan. Gaya lukisan ini bisa dikategorikan dalam neo-tradisional kontemporer – menggabungkan elemen budaya lokal (ikan sebagai simbol) dengan pendekatan abstrak-naratif. Penggunaan outline hitam yang kuat dan pola repetitif memberikan kesan keramaian dan keteraturan sekaligus. Made Gunawan yang saya kenal, memang menggunakan gaya tradisional Bali yang dipadukan dengan sentuhan modern, seperti penggunaan warna-warna cerah, garis-garis tegas, dan pengisian bidang yang padat sebagai ciri karya lukis tradisional Bali (mirip gaya lukisan Kamasan atau Batuan).

Made Gunawan, “Dunia Ikan”, acrylic on canvas
Warna yang digunakan Gunawan sangat beragam, mulai dari merah, biru, hijau, kuning, oranye hingga coklat tanah. Kombinasi ini menciptakan suasana dinamis dan hidup. Meskipun terkesan acak, susunan ikan sebenarnya membentuk pola grid yang rapi dan sistematis, memperkuat nuansa keteraturan dalam keramaian. Latar belakang tampak seperti jalinan tekstur halus yang mungkin menggambarkan arus atau dunia bawah laut. Karya “Dunia Ikan” ini secara literal menggambarkan ekosistem laut, tetapi secara simbolis bisa dimaknai sebagai miniatur kehidupan sosial manusia. Setiap ikan berbeda warna dan ekspresi → bisa mencerminkan keanekaragaman karakter manusia dalam satu komunitas.
Dari pengamatan saya, karya Made Gunawan yang bertajuk “Dunia Ikan” ini, ada beberapa pendekatan visual dan konseptual yang bisa dibandingkan dengan perupa manca negara tertentu – bukan karena meniru, tapi karena resonansi gaya dan ide. Yang pertama, menurut tafsir saya, adalah pengaruh art brut nya Jean Dubuffet (Prancis), terutama gaya visual “penuh”, penggunaan garis hitam tebal, bentuk-bentuk seperti coretan anak-anak atau primitif yang diulang dalam grid.
Coba bandingkan figur-figur primitif Dubuffet dengan figur ikan-ikan Made Gunawan, ada kemiripan secara teknis, bukan secara visual. Dubuffet menciptakan dunia visual yang kacau namun terstruktur – mirip dengan padatnya dunia ikan Made Gunawan. Keduanya menunjukkan minat pada keragaman karakter dalam ruang yang padat.
Disisi lain, menurut pengamatan saya – bentuk-bentuk simbolik yang sederhana, berwarna cerah, repetitif, dan penuh ritme pada karya Made Gunawan, bisa saya padankan juga dengan perupa Amerika, Keith Haring. Jika Haring banyak melukis figur manusia, sedangkan Made Gunawan melukis figur ikan — tapi keduanya sama-sama menghidupkan makhluk sebagai ikon sosial. Karya keduanya juga bisa dibaca sebagai komentar sosial, dengan gaya naratif yang atraktif secara visual. Sebab, menurut interpretasi saya – Made Gunawan menciptakan ‘dunia ikan’ yang imajinatif namun menyimpan makna social. Sekali lagi saya tekankan, pemadanan bukan secara visual, tapi teknik, konten dan spirit penciptaannya.
Pembahasan saya selanjutnya adalah karya Made Gunawan yang bertajuk ; “Diburu” karya Ini adalah sebuah karya yang penuh eksplorasi visual, menggambarkan hubungan antara makhluk laut – dalam suasana yang dinamis dan hidup. Ikan-ikan yang terlukis dalam karya ini memiliki warna-warna mencolok seperti merah, kuning, dan oranye, serta ornamen yang kaya, menciptakan kesan energi dan kerumitan.

Made Gunawan, “Penguasa Laut 1”, cat air di atas canvas
Melalui teknik distorsi pada figur ikan – seperti mata besar dan bentuk-bentuk ekspresif – Gunawan menyampaikan keunikan tiap anggota dalam “keluarga ikan”. Selain itu, pola berputar di latar belakang memperkaya estetika karya, sekaligus memberikan rasa harmoni dalam kompleksitas. Kemudian, melalui pendekatan semiotika – setiap elemen dalam karya ini dapat dipandang sebagai tanda. Maksudnya, bagaimana simbol ikan digunakan sebagai representasi hubungan keluarga, ekosistem, atau bahkan refleksi kehidupan masyarakat.
Sementara itu, distorsi figur adalah representasi makna tersirat dari pengalaman subjektif seniman terhadap tema ikan pada perjalanan hidupnya. Warna-warna yang digunakan memberikan pesan simbolis tentang dinamika emosi yang terkait. Karya ini dapat dikaitkan dengan isu ekologi, khususnya tentang pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem laut. Seni rupa, memang acap digunakan sebagai medium untuk menyuarakan kepedulian terhadap lingkungan, dan “Diburu” menyampaikan pesan ini melalui visual yang dinamis.
Karya Made Gunawan ini merupakan pertemuan harmonis antara tradisi Bali dan estetika kontemporer. Di dalam lukisan tersebut, seniman menampilkan motif-motif dekoratif yang rumit dan dinamis, menggabungkan unsur alam dan mitologi. Elemen-elemen seperti makhluk-makhluk bermuka besar dengan ekspresi yang kuat dan detail ornamen yang teliti menyiratkan narasi tentang keterikatan manusia dengan alam serta kekuatan spiritual yang mendasari kehidupan. Ini, menurut saya, sebuah cerminan dari filosofi Tri Hita Karana yang menekankan keharmonisan antara manusia, alam, dan roh
Dari segi komposisi, penggunaan palet warna yang kuat, misalnya perpaduan merah, kuning, dan oranye, menghadirkan energi dan vitalitas yang dominan. Latar belakang yang bergradasi dari pola bersisik merah menuju corak bergelombang biru menciptakan kontras visual sekaligus memberikan ruang bagi imajinasi penikmat untuk merenungi dualitas antara kekuatan dan ketenangan.

Zao Wou Kie, Untitled, 1950, paper
, “Detail pada setiap bentuk, dari garis tegas hingga lekukan halus, menunjukkan keahlian teknik dan imajinasi yang tinggi, membuat setiap bagian dari karya ini bercerita tentang siklus kehidupan dan transformasi alam . Oleh karenanya karya Diburu yang memiliki kekayaan komposisi dan penggunaan palet warna yang sangat intens – menurut saya, beberapa aspek‑nya memang bisa disandingkan dengan karya perupa seperti Dubuffet, meskipun dengan nuansa yang agak berbeda secara kultural dan konseptual.
Seperti kita ketahui, Dubuffet dikenal karena pendekatan “Art Brut”-nya yang mengutamakan kekasaran, spontanitas, dan penggunaan tekstur yang tampak mentah. Gaya ini, menekankan ekspresi yang bebas tanpa banyak aturan formal dan sering kali mengungkapkan emosi dalam bentuk yang sangat langsung.
Dalam karya Diburu, meskipun penggunaan palet merah, kuning, dan oranye menciptakan energi dan vitalitas yang sejalan dengan intensitas emosional yang mungkin ditemukan dalam karya Dubuffet – namun, Made Gunawan mengintegrasikan elemen-elemen simbolis dan teknis yang kental dengan tradisi Bali. Misalnya, gradasi latar belakang yang berubah dari pola sisik merah ke corak bergelombang biru tidak hanya menyampaikan kontras visual – namun juga mengajak penikmat merenungi dualitas kekuatan dan ketenangan yang merupakan bagian dari filosofi alam dan kehidupan. Dalam konteks inilah, perbandingan dengan Dubuffet ada pada sisi penggunaan warna dan dinamika visual, namun pendekatan Gunawan lebih terikat pada makna simbolis dan kearifan lokal.

Wassily Kandinsky, ” Study for Composition II”, oil on canvas
Selain Dubuffet, karya dengan dinamika warna yang kuat dan komposisi ekspresif juga dapat mengingatkan pada perupa ekspresionis seperti Wassily Kandinsky. Kandinsky kerap mengeksplorasi hubungan antara bentuk, warna, dan irama yang diartikulasikan melalui bentuk-bentuk abstrak. Ini, menghadirkan energi sekaligus spiritualitas melalui komposisi yang harmonis namun penuh getar. Sementara itu, Made Gunawan dengan sapuan kuas yang tegas dan palet warna yang emosional menggambarkan alam dan suasana batin dengan intensitas yang mendalam. Itu perbedaannya.
Kunci perbedaan lainnya, terletak pada akar budaya dan teknik tradisional yang digunakan Gunawan, yang dengan cemerlang memadukan warisan lokal dengan teknik modern untuk menarasikan siklus kehidupan dan transformasi alam. Selain itu, keunikan teknik melukis tradisional Bali pada karya Diburu, ini bisa kita telisik dari penggunaan garis tegas dan detail tekstur yang dihasilkan oleh teknik Nyawi. Disisi lain, bisa kita amati kepiawaian Gunawan dalam memaparkan simbolisme yang merujuk pada kekuatan alam, siklus kehidupan, dan filosofi lokal. Dengan demikian, meski secara visual terdapat persamaan dalam hal penggunaan warna dan komposisi ekspresif, konteks kultural dan cara penyampaian narasi dalam karya Gunawan memberikan identitas yang berbeda dan unik. Oleh karenanya, perkenankan saya memberikan istilah ‘prosa liris visual’ pada karya rupa Made Gunawan. [T]
- Sejumlah referensi diambil dari sejumlah sumber
Penulis: Hartanto
Editor: Adnyana Ole
- BACA JUGA