SALAH satu karya yang cukup mendapat perhatian beberapa teman perupa pada pameran senirupa dalam rangka Ulang Tahun ke 29 Galang Kangin adalah karya Agus Murdika yang berjudul “Golden Field”. Pameran yang mengambil tema “Metastomata : Metamorphosis Manifesto Galang Kangin” ini berlangsung di Neka Art Museum, Ubud – 18 April hingga 18 Mei 2025.
Lebih lanjut, mari kita simak karya Agus Murdika. Konsep “Golden Field (ladang mas)” karya Agus ini sungguh menggugah hati. Pesannya tentang pelestarian alam di tengah pembangunan, membawa refleksi yang mendalam. Kolase yang memadukan kertas prada dan karung goni sebagai simbol alam adalah pilihan yang kuat secara visual dan filosofis, menggabungkan kemewahan dengan elemen alami yang sederhana.
Agus tengah menampilkan narasi tentang proses kreatif atau inspirasi dari pengalaman nya di lapangan, sehingga karya ini tak hanya terlihat namun ada hal yang bisa dirasakan. Judul “Golden Field” sudah sangat kuat, dengan makna yang bisa diasosiasikan pada kecantikan alam yang tengah menghadapi ancaman. Simbolisme ini, tentu menciptakan dialog antara pembangunan dan pelestarian alam.
Karya ini adalah ekspresi dari keprihatinan seniman terhadap perlakuan manusia yang tidak bijak terhadap alam. Seni sebagai medium ekspresi memungkinkan seniman untuk menyampaikan pesan emosional dan moral kepada audiens. Ia tidak hanya berdiri sendiri, tetapi juga berakar pada konteks sosial dan lingkungan di mana pembangunan sering mengorbankan alam. Dengan pendekatan seni kontekstual , membantu memahami bagaimana karya ini berinteraksi dengan isu-isu yang relevan di masyarakat.

Agus Murdika, Hamparan Hijau, 2018
Dalam beberapa pemahaman, karya ini dapat dilihat sebagai kritik terhadap homogenisasi pembangunan yang mengabaikan nilai-nilai lokal dan ekologis. Sekaligus kritik terhadap pola pemikiran ‘developmentalis’. Kolase sebagai medium juga mencerminkan pluralitas dan keberagaman, yang menjadi ciri khas seni kontemporer. Jadi, menurut saya, karya ini tidak hanya indah secara visual, tetapi juga mengandung pesan mendalam yang mengajak audiens untuk merenungkan dampak pembangunan terhadap alam. Terutama, dampak negatip.
Kalo misalnya hendak bersandar pada pendekatan pemikiran Edvard Munch, tentu karya Agus ini sangat terkait dengan penggayaan ekspresionisme, di mana emosi dan pengalaman pribadi menjadi inti dari karya seni. Munch percaya bahwa seni harus mampu menangkap perasaan manusia yang mendalam – sering kali melalui warna yang dramatis dan komposisi yang menggugah.
Jika kita hendak menerapkan pendekatan ini pada karya “Golden Field” oleh Agus Murdika, kita bisa melihat bagaimana penggunaan material seperti kertas prada dan karung goni menciptakan kontras atas realita yang terjadi di alam semesta. Seperti Munch yang menggunakan warna untuk mengekspresikan ketegangan psikologis, Agus menggunakan tekstur dan material untuk menyampaikan konflik antara modernitas lewat pembangunan dan pelestarian alam.

Agus Murdika, Lembah Menguning, 2018
Dalam konteks ekspresionisme, karya ini bisa dianggap sebagai manifestasi kegelisahan terhadap perubahan lingkungan. Munch sering menggambarkan ketakutan dan kecemasan dalam karyanya. Sementara itu, dalam “Golden Field,” ada ketegangan antara keindahan alam dan ancaman pembangunan yang bisa dirasakan oleh audiens. Pendekatan ini juga bisa memperkuat interpretasi bahwa karya Agus bukan hanya sekadar kritik sosial, tetapi juga ekspresi emosional dari pengalaman langsungnya di lapangan. Seperti Munch yang menuangkan perasaan pribadinya ke dalam lukisan, Agus menghadirkan refleksi yang lebih dalam tentang hubungan manusia dengan alam.
Mengutip dari buku “Hermeneutika, Estetika, dan Religiusitas : Esai-Esai Sastra Sufistik dan Seni Rupa”, karya Abdul Hadi W.M (Yogyakarta : Matahari, 2004). Sejarah perkembangan seni abstrak diawali abad 19. Pada abad 20, seni ini berkembang pesat ke beberapa benua, termasuk benua Amerika. Pada awal kemunculannya, seni abstrak berhasil memunculkan aliran seni baru di Barat, yang mana sebelumnya selalu berkutat pada aliran rasionalisme, empirisme, materialisme serta realisme.

Agus Murdika, Tebing Batu, 100 x 100, Acrylik dan Kolase Goni di Kanvas
Seperti kita ketahui seni abstrak ekspresionisme tidak hanya terbatas menjadi aliran pada senirupa saja. Abstrak ekspresionisme memiliki pengaruh yang luas di berbagai bidang seni selain seni rupa. Gerakan ini, yang berkembang di Amerika Serikat setelah Perang Dunia II, menekankan ekspresi emosional dan kebebasan artistik, yang kemudian memengaruhi seni pertunjukan, musik, sastra, dan bahkan arsitektur.
Pada seni pertunjukan, konsep ekspresi spontan dan gestur dramatis dari abstrak ekspresionisme menginspirasi teater eksperimental dan tari kontemporer. Seniman seperti Jackson Pollock, yang terkenal dengan teknik “drip painting,” memengaruhi koreografi yang lebih bebas dan ekspresif dalam dunia tari. Sementara itu, abstrak ekspresionisme juga berkontribusi pada perkembangan jazz bebas dan avant-garde, di mana improvisasi menjadi elemen utama. Musisi seperti Ornette Coleman dan John Coltrane mengadopsi pendekatan yang mirip dengan pelukis ekspresionis abstrak—mengutamakan spontanitas dan ekspresi emosional.
Dalam sastra, gerakan ini memengaruhi penulisan puisi dan prosa yang lebih eksperimental, seperti karya Beat Generation yang menolak struktur konvensional dan lebih menekankan ekspresi pribadi serta spontanitas. Ekspresionisme dalam sastra muncul sebagai reaksi terhadap materialisme, kemakmuran borjuis yang berpuas diri, mekanisasi dan urbanisasi yang cepat, dan dominasi keluarga dalam masyarakat Eropa pra-Perang Dunia I. Itu adalah gerakan sastra yang dominan di Jerman selama dan segera setelah Perang Dunia I.

Agus Murdika, Lembah Hijau, 200 x 150, Acrylic dan Kolase Goni di Kanvas, 2023
Begitulah perkembangan seni abstrak ekspresionis yang mempengaruhi bidang seni lainnya, tidak hanya seni rupa. Selanjutnya, saya ingin menganalisa karya Agus Murdika yang bertajuk “Golden Field” ini dengan pendekatan susastra. Menurut interpretasi saya lukisan “Golden Field” karya Agus Murdika, memiliki kesamaan dengan beberapa karya sastra yang mengangkat tema alam, pembangunan, dan kritik sosial. Jika kita mencari padanan dalam sastra Indonesia, karya ini bisa disejajarkan dengan Sapardi Djoko Damono, terutama dalam dalam karyanya yang berisi kritik sosial terhadap perubahan lingkungan dan pembangunan.
Menurut saya, salah satu karya Sapardi yang parallel dengan lukisan “Golden Field” adalah puisi berjudul “Dalam Setiap Diri Kita” . Karya Sapardi ini adalah sebuah puisi yang menyoroti ancaman pada diri manusia atas perubahan sosial yang mendestruksi lingkungan dan budaya. Melalui metafora serigala dan aneka pertanyaan, puisi ini menggambarkan pergeseran budaya. Simak petikan awal sajaknya ; Dalam setiap diri kita, berjaga-jaga//segerombolan serigala//Di ujung kampung, lewat pengeras suara,//….. Manusia seperti kehilangan esensi kehidupan tradisional, dan muncul tindakan destruktif dalam masyarakat yang mempengaruhi harmoni dengan alam.
Sapardi menandaskan di baris 10 hingga 14 ini //Gamelan jadi langka. Di keramaian kota//kita mencari burung-burung//yang diusir dari perbukitan//dan suka bertengger sepanjang kabel listrik//yang mendadak lenyap begitu saja//. Ini merupakan refleksi kritis penyairnya, akan perubahan dan ancaman di dalam masyarakat. Hal ini bisa kita simak kreatifitas Agus yang menggunakan kolase sebagai medium, bisa kita padankan dengan penggunakan simbol-simbol bahasa oleh Sapardi untuk menyampaikan pesan tentang pentingnya kita memiliki kepekaan terhadap lingkungan dan perubahan sosial.

Agus Murdika, Golden Field, Mix Media on Canvas, 200 x 150
Lebih lanjut, saya ingin memberikan komentar pada beberapa karyanya yang bagi saya amat menarik. Saya cukup tertarik pada karya Agus yang bertajuk “Dimensi Rasa”. Karya ini, menurut saya merupakan sebuah eksplorasi visual yang memadukan berbagai elemen abstrak dengan tekstur dan warna yang dinamis. Karya yang berukuran 100 x 320 cm, dan terdiri dari 4 panel ini menggunakan media campuran di kanvas. Dibuat pada tahun 2017.
Bagian atas karya ini menampilkan material logam tembaga, kuningan, dan almunium yang tampak kusut, memberikan efek tiga dimensi yang kuat. Sementara itu, bagian bawahnya dipenuhi dengan bentuk-bentuk abstrak dalam warna hijau, oranye, dan hitam, menciptakan kontras yang menarik antara struktur dan fluiditas. Secara konseptual, karya ini bisa diinterpretasikan sebagai refleksi terhadap emosi dan pengalaman manusia, di mana tekstur kasar dan warna-warna yang bertabrakan – mungkin melambangkan kompleksitas perasaan.
Dalam lukisan ini, ia tidak menyoroti keindahan alam yang terlihat, seperti gunung, sawah, dan lanskap lainnya, tetapi mengangkat isu eksploitasi terhadap sumber daya yang tidak tampak oleh mata. Penggunaan material logam juga bisa merepresentasikan kegelisahan dan kegusaran Agus akan tindakan sewenang-wenang manusia terhadap kekayaan alam di bawah tanah (tambang). Karya ini menjadi bentuk kritik terhadap eksploitasi sumber daya alam yang tak bisa diperbaharui secara besar-besaran. Ini, dilakukan demi keuntungan segelintir orang, tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjangnya. Sementara itu, warna-warna yang lebih lembut di bagian bawah bisa menunjukkan kerinduan Agus akan harmoni keindahan alam.

Agus Murdika, Dimensi Rasa, 100 x 320, Mix Media di Kanvas, 2017
Secara keseluruhan, Agus Murdika memang acap mengangkat tema yang berkisar pada hubungan manusia dengan alam. Ini merupakan keprihatinannya pada perilaku manusia hingga menghadapi konsekuensi dari kerusakan alam yang terjadi – baik akibat bencana alam maupun ulah manusia. Melalui seni, ia menyampaikan pesan tentang pentingnya kepedulian dan empati terhadap lingkungan. Karya ini memiliki daya tarik visual yang kuat sekaligus menyampaikan pesan sosial yang mendalam. Dengan pendekatan artistiknya yang unik dan eksploratif.
Kepedulian Agus pada alam juga bisa kita simak dari karyanya yang bertajuk “Lembah Menguning”. Karya bertahun 2018 oleh Agus Murdika ini adalah sebuah lukisan abstrak yang kaya warna, dengan dominasi kuning serta aksen merah, biru, dan hijau. Komposisi ini menciptakan kesan lanskap yang dinamis, penuh gerakan dan dinamika. Jika memakai pendekatan semiotika, warna dan bentuk dalam lukisan ini dapat dilihat sebagai tanda yang memiliki makna. Kuning yang melimpah mungkin merepresentasikan alam yang meranggas, bisa juga menjadi metafora untuk eksploitasi atau perubahan ekologi yang terjadi di lembah tersebut.
Gaya ekspresif dalam karya ini menunjukkan bagaimana seniman menuangkan emosi dan pemikirannya tentang alam. Teknik yang digunakan menciptakan kesan spontanitas dan kebebasan, yang sering kali menjadi ciri khas seni ekspresionis. Jika dikaitkan dengan pernyataan Agus Murdika yang acap prihatin pada tindak eksploitasi alam, “Lembah Menguning” bisa diinterpretasikan sebagai refleksi atas perubahan lanskap akibat campur tangan manusia. Warna kuning yang dominan bisa menjadi simbol dari tanah yang mulai kehilangan kesuburannya akibat eksploitasi. Jika kita punya kepekaan lebih manakala menikmati karya-karya Agus, mungkin bisa kita rasakan ‘tangis alam’. [T]
- Sejumlah referensi diambil dari sejumlah sumber
Penulis: Hartanto
Editor: Adnyana Ole
- BACA JUGA