Sayang Saja
Sayangnya karena belum punya kertas halus ijazah,
Pernah kita tutup mata bersama—kita berangan,
Katanya ingin, katanya hendak, katanya sesudah,
Coba bayangkan suatu sore dan suatu pernikahan,
Airmata, bunga melati, kita, hujan perlahan nan indah,
Akankah kita diri bersama di sana atau duduk terpisah?
Sayangnya kucucikan jaket hitam milikku,
Gosokkan lengan dan buangkan kekurangannya,
Bahkan setitik noda atau busuknya bau,
Kutahu apa yang pernah putih takkan kembalinya,
Sayangnya mencuci jaket dilekat sayang kekasihku.
Sayangnya, ia pernah/akan merupakan sayangku,
Berdekatan saja tapi tanganku malas, hatiku penat,
Kujadikan setiap kemarin sebagai esok yang baru,
Entah, mungkin saja aku duduk di sini dan tobat,
Tapi buat sementara ini, aku tunggunya, kekasihku.
Pernah Aku Menjadi Remaja
Cinta remaja itu berakhir bersamamu, dikuburkan
Sudah asmara yang hanya bisa wujud di mata Bumi,
Apakah kamu masih membaca puisiku, mengenangkan
Segala yang akan datang dan bakal berlalu–kamu pergi,
Namun dibawa bersamamu cinta buta dan kesadaran.
Dan sesungguhnya ingin aku melangkah laju ke arah
Belantara yang telah kamu bangunkan, biarkan aku
Sesat, biarkan kamu datang mencariku, biar lagi saja
Satu alasan di antara kita, pohon ditebang akan kamu
Tumbuhkan lagi, mengelola harapan buat sedetik makna.
Kembalikanlah, kulit yang tidak belum pernah kerut,
Dan mata yang masih cerah tanpa lampu dan cita-cita,
Apakah kamu balik, membawa balik apa yang hanyut,
Tanggalkan kaca mata, tinggalkan tatapan itu di sana,
Kita bersama menikmati masa yang kabur untuk kabut.
Surat Daripada Laki Itu
Sarung batiknya yang pernah merupakan sarang buat kita berdua–
Perempuanku pernah wujud di abad ini, bersamanya dia membawa
Ghairah yang hanya milik anak remaja, dan kesucian seakan sedewa,
Resah untuk masalah kecil-kecilan, dan ketawa yang keterlaluan,
Pernah dia datang untuk singgah, tapi dihiraukan dan dihalaukan,
Aku duduk bersama kesunyian yang pemergiannya membawa.
Sekarang, masih aku memegang nomor teleponnya, perempuan itu,
Mundar-mandir di jalan pikiranku, merenung, menunggu, dan meragu,
Ingin sekali ku bisa mendengarkan suara perempuanku,
Di balik sambungan itu, mendengarkan obrolan kosong seharian,
Mungkin salah harapanku, salahnya panggilan, salahnya keputusan,
Ku masih mohon kembali–kembalikanlah segalanya tambah jiwaku.
Dan apakah perempuanku sudah bisa berbahagia tanpaku,
Sudah lama kini dia tak lagi memakai nama perempuanku,
Apakah dia masih mengingati, atau sudah membuangkanku?
Bagaimana dia bisa membiarkan laki-laki lain mengagumi
Sepasang mata yang pernah milikku, bibir yang tetap di imajinasi,
Dan tawa yang pernah aku seorang hasilkan–aku ingin bertanya,
Mengapa perempuanku dihancurkan hati merusak lagi sedunia?
Doa
Selamat pagi, Tuhan.
Aku ingin keluargaku sehat selalu,
Tuhan, tolong mengamati ayahku,
Pastikan dia tidak menyetir terlalu laju,
Pastikan segala akan berlalu,
Tuhan, tolong memberi kebahagiaan kepada ibuku,
Supaya dia akan lupakan kekalutan kamarku,
Supaya dia akan tidur tanpa rasa ragu—
Tuhan, pandukanku kepada ajaran yang betul, pastikan kami sekeluarga dalam pandangan-Mu.
Selamat sore, Tuhan.
Aku ingin kawan-kawanku dapatkan apa
Yang mereka maukan, tidak mengira berapa
Atau kapan, sekarang aku memberikan nama
Mereka kepada-Mu, Tuhan, walau berbeda surga,
Aku ingin mengejarkan khawatir mereka keluar,
Aku ingin bersama mereka sementara ini ada masa,
Aku ingin melihat senyuman murni mereka—
Tuhan, oh, Tuhan, perhatikan kami yang masih muda semua.
Selamat malam, Tuhan.
Sebelum aku tidur, aku cuma mau ulangkan:
Jagalah tubuhku agar keluargaku tidak bimbang,
Ajarlahku supaya jalan persis menuju ke kebebasan,
Jadi aku bisa lahir dan kembali, atau jadi ciptaan,
Biar panas kekeringan atau dingin kejutan,
Aku tidak mau apa lagi, Tuhan,
Aku cuma mau rok baru dan seorang pacaran.
Ada ini luar kerja-Mu, Tuhan?
*
Penulis: Leya Kuan
Editor: Adnyana Ole
[][] Klik untuk BACA puisi-puisi lain